Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Sampai Kapan Pengungsian Menjadi Tempat Sekolah Anak-Anak Sampang?

Dunia perburuhan baru saja usai gelar hajatan tahunan, sebagai simbol perjuangan menuntut pemenuhan hak-hak mereka. Hari Buruh yang dikenal dengan sebutan Mayday ini diperingati setahun sekali setiap tanggal 1 Mei. Sehari setelah itu, tepatnya tanggal 2 Mei, menyusul peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Sebagaimana buruh, dunia pendidikan juga sama, memiliki problem-problem terkait di dalamnya. Ada hak-hak yang tercerabut, sehingga jutaan anak bangsa tak mampu mengenyam pendidikan sebagaimana layaknya.

Bedanya, para buruh turun ke jalan-jalan menggelar aksi menyuarakan tuntutannya. Sementara yang tak terdengar dan tak tampak di layar kaca, ada aksi-aksi yang menyuarakan hak anak-anak putus sekolah. Mungkinkah hal ini terjadi akibat dunia pendidikan belum membentuk serikat anak putus sekolah, serikat anak jalanan dan sebagainya, sementara di kalangan buruh telah menjamur serikat buruh yang mampu mengorganisir aksi-aksi mereka?

Padahal, kalangan pekerja seperti buruh dan sebagainya itu terbentuk melalui ‘anak tangga’ pendidikan. Kualitas pendidikan yang rendah tentunya akan menghasilkan SDM yang rendah pula. Dengan pendidikan tinggi, kualitas pendidikan yang lebih baik, pun akan menghasilkan SDM unggulan, yang nantinya dapat menekan lahirnya ‘kuli’ atau setidaknya, jika menjadi buruh pun akan memiliki daya tawar tinggi. Syukur-syukur menempati posisi penting dalam setiap lini, agar tidak melulu menjadi ‘kuli’.

Anak-anak pengungsi Sampang merupakan salah satu korban ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Setelah rumahnya dibakar dan diusir dari kampong halamannya, mereka pun terpaksa sekolah di Rusunawa Sidoarjo, tempat mereka dijadikan pengungsi.

“Saat ini terdapat lebih dari 50 anak terpaksa belajar dengan status ‘sekolah darurat’ dengan rincian, 27 anak SD, 15 anak TK, dan 10 anak PAUD,” papar Iklil, menyampaikan laporan dari pengungsian.

Selain itu, hanya terdapat 3 guru pengajar dengan waktu mengajar yang sangat pendek.

“Paling lama 2 jam,” kata Nurkholis yang juga mendampingi anak-anak di pengungsian. “Karena mereka tidak ditugaskan khusus mengajar di rusun (tugas pokoknya mengajar di tempat lain), dan katanya nggak mendapat gaji tambahan. Jadi kami nggak mungkin menyalahkan gurunya,” tambah Nurkholis.

Nurkholis menilai, kondisi pendidikan anak-anak pengungsi pun masih tidak layak.

“Kelasnya cuma ada 3 ruangan. Kelas 1 sampai kelas 3 jadi satu ruangan. Kelas 4 dan 5 jadi satu ruangan. Paud dan TK jadi satu ruangan,” ungkap Nurkholis.

Untuk kelas 6, mereka kemudian gabung dengan sekolah SDN terdekat. Begitu juga dengan jenjang selanjutnya, yang tidak mendapat fasilitas pendidikan formal, kemudian menempuh pendidikan non formal seperti di pesantren-pesantren, atau mengikuti ujian Kejar Paket B dan seterusnya.

Pengungsi Muslim Syiah Sampang di Rusunawa Sidoarjo ini hanyalah satu kisah dari sekian juta anak bangsa yang sulit mendapatkan akses pendidikan layak. Jika pendidikan layak hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya saja, apa bedanya dengan masa penjajahan dahulu. Padahal Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan, telah memperjuangkan hak-hak anak bangsa untuk dapat menempuh pendidikan tanpa melihat miskin dan kaya.

Dengan slogan, Ing ngarso sung tulodo. Ing madyo mangun karso. Tut wuri handayani yang artinya, “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan” Ki Hajar mengingatkan kita semua agar sadar dan peduli, khususnya terhadap dunia pendidikan, dengan menyediakan sarana-prasarana pendidikan yang layak bagi segenap anak-anak bangsa. (Malik/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *