Berita
Membangun Mindset dan Sinergi antara Buruh, Pengusaha dan Pemerintah
Nasib buruh berbagai belahan dunia di hadapan ideologi kapitalisme yang mengeksploitasinya membuat mereka terus berjuang. Ketidakadilan pemenuhan hak-hak yang sering menimpa buruh pun tak hanya dari korporasi, tapi celakanya juga dari regulasi pemerintah.
Bisakah ketiga komponen ekonomi ini, buruh, pengusaha dan pemerintah bersinergi dan menciptakan win-win solution? Berikut wawancara ABI Press dengan Direktur UNI Global Union Asia dan Pasifik, Dr. Kun Wardana Abyoto.
Bagaimana Anda melihat kondisi buruh saat ini?
“Saat ini banyak sekali buruh atau pekerja yang tidak dianggap sebagai mitra di perusahaan. Dan juga masih kuat mindset bahwa kalau buruh membuat serikat kerja lebih dianggap sebagai problem maker daripada problem solver.”
“Kalau kita lihat konteks yang ada di Indonesia saat ini, terutama di Jakarta, jumlah pekerja yang ada sangat tinggi, tapi jumlah serikat pekerja sangat minim. Kalau yang ada saat ini kita mengenal sebagai lembaga perusahaan yang seluruhnya didominasi oleh perusahaan. Jadi perusahaan yang mengatur semua term and condition, tanpa mendengar apa yang diinginkan oleh pekerja. Tak ada keseimbangan, sehingga keadilan juga tak terjadi dalam lingkungan kerja tersebut.”
Bagaimana mengubah mindset yang salah ini?
“Dari soal gaji dan hal-hal yang berpengaruh pada ketenagakerjaan memang kita lihat bahwa image atau citra buruh, pekerja itu masih dianggap sebagai komoditi, bukan sebagai mitra. Padahal semua keuntungan tak bisa dihasilkan tanpa kontribusi dari pekerja.”
“Karena tak bisa berdiskusi satu meja atau setara dengan pengusaha, maka banyak sekali kebijakan perusahaan yang menekan sehingga menimbulkan ketidakadilan, yang menimbulkan kemiskinan yang ada di Indonesia, khususnya di Jakarta.”
“Ide dari bakal cagub DKI, Ahmad Taufik yang menyuarakan minimal 20% keuntungan untuk pekerja itu adalah terobosan. Minimal 20% keuntungan untuk pekerja itu memang bisa diupayakan dan didiskusikan antara serikat kerja dan pengusaha. Bukan cuma yang sifatnya upah, tapi juga strategi perusahaan ke depan. Yang biasanya sangat berpengaruh pada hal-hal ketenagakerjaan.”
“Ini saya pikir sangat penting ya, paradigma bahwa buruh atau pekerja itu memiliki satu kontribusi yang sangat besar bagi perusahaan. Untuk itu, untuk bisa memiliki 20% ini, itu juga bisa jadi hal yang penting tak hanya bagi buruh, tapi bagi perusahanan juga penting. Bila buruh memiliki hal ini, dia juga akan memiliki sense of belonging. Yaitu rasa kepemilikan. Dengan rasa kepemilikian ini, maka diharapkan produktivitas mereka akan meningkat, perusahaan juga akan mendapatkan keuntungan, profit lebih tinggi lagi di tahun berikutnya. Ini juga memicu para pekerjanya untuk lebih produktif, untuk lebih disiplin memenuhi target-target perusahaan tersebut.”
Apakah ide 20% keuntungan untuk buruh ini memang bisa terealisasi?
“Bisa saja. Memang masalahnya pengusaha itu juga punya hak di UU 13 tahun 2003, bahwa selain hak pekerja juga dicantumkan hak pengusaha. Hak pengusaha termasuk mengatur ini, bonus yang perlu di-share, keuntungan perusahaan yang perlu di-share secara adil. Ada hal-hal yang menjadi kawasannya pengusaha, ada yang kawasannya pekerja.”
“Tapi itu semua kan bisa disikapi. Yaitu dengan adanya PKB. di dalam PKB kan berunding kita, bernegosiasi. Bapak punya profit sekian, punya keuntungan sekian, oke kita bagi secara adil sekian persen dibagi juga ke para karyawan melalui bonus, kenaikan gaji, adjustment kenaikan upah. Jadi semua itu bisa dilakukan kalau terjadi komunikasi. Nah sampai saat ini memang permasalahannya perusahaan atau pengusaha masih memandang sebelah mata ke pekerja. Karena apa? Karena pekerjanya tidak ter-organize dengan baik, tak memiliki serikat pekerja yang kuat. Sehingga yang umumnya terjadi adalah perusahaan tidak menganggap pekerja itu sebagai mitra.”
Apa yang perlu dilakukan untuk mencapai itu?
“Kita perlu melakukan suatu kampanye yang besar. Kampanye yang buruh dan pekerja ini bersatu untuk menyikapi ketidakadilan tadi. Ketidakadilan bukan hanya di hal-hal terkait kesejahteraan, tapi juga banyak sekali. Seperti di perusahaan media, di berbagai macam sektor, begitu serikat pekerja terbentuk perusahaan langsung memindahkan, bahkan mem-PHK pengurusnya agar mereka tak bisa efektif. Padahal serikat pekerja dilindungi oleh UU. Kemudian praktik-praktik outsourcing, di BUMN, swasta, bahkan di bisnis murni, yang mestinya reguler, di-outsourcing. Bahkan yang di-outsourcing sudah 10, 20, 30 tahun statusnya masih sama. Dengan berbagai cara perusahaan memperpanjang kontrak outsourcing itu terus berlangsung.”
“Jadi kita memang melihat tidak ada atau belum banyak pemikiran dari pengusaha bahwa sebetulnya hasil ataupun laba yang dihasilkan itu harusnya dibagikan lebih dulu kepada orang-orang yang bisa membuat laba tersebut, yaitu buruh atau pekerja tadi.”
“CSR juga lebih digunakan untuk menguatkan image perusahaan belaka. Padahal soal sosial, bukan cuma masyarakat luar, tapi juga karyawan ini juga sosial. Perusahaan sering lupa, bahwa dengan membantu lingkungan dan lain-lain tanpa memikirkan kesejahteraan dari pekerjanya ini juga timpang dan tidak seimbang. Jadi CSR juga perlu diredefinisikan, yaitu untuk karyawan dan keluarganya juga.”
Apa pentingnya mengubah mindset mengenai buruh ini?
“Perubahan mindset itu sangat penting. MEA sudah di depan mata, kita sudah mulai pada awal revolusi industri keempat. Sudah terjadi. Kalau kita tidak mempersiapkan dari sekarang, Andai fenomena robotisasi misalnya itu dua-tiga tahun ke depan, kalau nanti kita beraksinya dua tahun ke depan pada saat PHK itu sudah mulai muncul, itu sudah terlamabt. Sekarang di luar sudah muncul, di sini belum muncul. Jadi kita harus bersiap.”
“Misal di jalan tol, petugas tiket, sekarang sudah mulai yang tadinya jumlah pekerja jalan tol 5.000 orang, sekarang karena ada tol otomatis, pekerja mulai berkurang. Pengurangan ini bisa berimbas pada PHK. Kalau orang-orang yang di-PHK ini tidak kita persiapkan dari sekarang, misalnya skill-nya itu ditingkatkan menjadi ke depan menjadi operator gardu otomatisnya, kalau tak dipersiapkan dari sekarang lalu banyak di-PHK, kan sayang. Dia sebenarnya masih bisa bekerja, asal kita siapkan sekarang skill-nya.”
“Di berbagai bidang sekarang kalau kita lihat toko-toko yang kita lihat sekarang ini kan penjualannya makin menurun. Selain karena global ekonomi, sekarang kan ada e-commerce. E-commerce kan sekarang lagi ramai dan masyarakat sudah mulai percaya, sudah mulai nyaman untuk bertransaksi. Jadi artinya, yang tadinya mulai menurun, kan artinya perlu perampingan, dan orang-orang pada kemana?”
“Ada beberapa yang sudah siap, selain tradisional dia bikin e-commerce juga. Ini yang sebetulnya disebut persiapan. Di-upgrade skill mereka untuk pekerjaan yang baru. Daripada kita nanti gak siapkan, nanti khawatirnya yang bisa hanya pekerja asing, nanti yang pribumi di-PHK. Takutnya nanti akan ada kesenjangan sosial, yaitu jumlah pengangguran yang besar. Maka sekarang harus dipikirkan bagaimana di era kompetisi ini, para pekerja kita itu juga selalu ter-upgrade pengetahuannya.”
“Kalau saya bilang, kapan mulainya, ya sekarang. Harus dari sekarang pemerintah, pengusaha dan serikat kerja harus bicara, harus komunikasi. Sudah tidak bisa lagi konflik-konflik terus. Kita harus ngomong, ini ada masalah besar. Bahwa semua memiliki peran. Peran serikat buruh itu juga sangat besar. Karena dia tahu mana yang harus di-training, dalam masalah-masalah apa, dia kan tahu.”
Di momen Hari Buruh ini apa yang mesti dilakukan oleh para buruh?
“Bagi saya Hari Buruh itu adalah satu hari saat para pekerja bisa bersatu untuk bisa mencanangkan suatu gerakan. Suatu cita-cita melalui satu gerakan bersama. Jangan lagi berpecah-belah satu sama lain. Kita harus bersatu bahwa ada satu tantangan besar di depan. Kita bagaimana bisa mengubah tantangan ini juga bisa jadi peluang buruh untuk bisa lebih sejahtera lagi. Dengan berkumpulnya buruh ini, dengan persamaan visi, kalau visinya sama, tujuannya sama, gerakannya sama, dengan gerakannya besar, maka ini bisa jadi penyeimbang kapitalis. Kapitalis ini mereka punya uang. Tapi kita punya massa. Punya manusia yang berhimpun untuk bisa menandingi kekuatan kapitalis.”
Bagaimana menyikapi pembungkaman aspirasi dan kriminalisasi buruh yang juga terjadi?
“Memang kita di sini perlu adanya strategi dan cara yang cerdas di dalam menyikapi kebuntuan dari suatu perundingan atau negosiasi atau yang lain. Sebetulnya yang perlu dilakukan oleh buruh sendiri adalah berpikir jangan di dalam kotak, tapi lebih helikopter view-nya itu lebih dinaikkan. Mungkin jika pandangan kita lebih tinggi, kita bisa melihat jawaban-jawaban, solusi-solusi yang lebih efektif.”
“Jadi solusinya ya yang disebut win-win. Jadi tak ada yang kalah di sini, semua menang. Buruh menang lebih sejahtera, perusahaan juga menang industrinya lebih maju, negara juga menang, yaitu ekonomi maju dan besar sehingga bisa jadi satu kekuatan nasional. Win-win solution ini yang penting. Jadi sinergi tiga pihak ini yang harus diutamakan.” (Muhammad/Yudhi)