Berita
Waspadai Kriminalisasi
Kriminalisasi bisa menyasar siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Hati-hati dan waspada, itulah bekal utama menghindarinya. Tapi waspada dan hati-hati takkan terbentuk tanpa mengetahui hal-hal berkaitan dengan kriminalisasi itu sendiri.
Ada beragam catatan pengalaman tentang kriminalisasi yang akan disampaikan berikut ini. Namun sebelum itu, kita mesti tahu dulu, apa itu kriminalisasi?
“Kriminalisasi adalah perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana kemudian dipidanakan. Dan hukum menjadi alat kekuasaan,” kata Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa dalam acara Konferensi Rakyat Lawan Kriminalisasi, Rebut Demokrasi, di LBH Jakarta, Sabtu(9/4).
Alghiffari menyatakan, banyak motif atau modus tindak kriminalisasi.
“Bisa jadi motifnya balas dendam (seperti saat ada upaya pelemahan KPK). Bisa jadi, karena ada perlawanan seseorang di perusahaan tempatnya kerja. Bisa jadi hanya karena sial saja, karena polisi kejar target berapa kasus yang harus ditangani, atau untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Bisa juga untuk membungkam upaya kelompok sipil, aktivis, menyuarakan penderitaan. Ada banyak yang jadi korban,” paparnya.
“Hukum kita masih diskriminatif. Riset LBH Jakarta juga menunjukkan 8 dari 10 orang yang ditangkap Polisi pasti disiksa. Disetrum, ditembak, dipukuli, ditampari, dan seterusnya. Nggak bisa dikoreksi kepolisian. Tadi sistem koreksinya cuma 0,1 menunjukkan bahwa hanya satu doang kasus, menurut hemat saya, hanya satu kasus doang yang bener dari 10 kasus yang dia tangani,” imbuhnya.
Tindak kriminalisasi apa saja yang terjadi sampai saat ini?
Baru-baru ini, 23 buruh, 2 pengacara LBH Jakarta, dan 1 mahasiswa dikriminalisasi pasca pembubaran aksi buruh di depan Istana pada 30 Oktober 2015 saat menyuarakan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No. 78/2015 tentang Pengupahan. Tidak hanya ditangkap dan disiksa, mereka juga dijadikan tersangka.
Aktivis Serikat Buruh Migrant Indonesia, Ramses Aruan menilai, perlindungan terhadap buruh migrant masih jauh dari harapan. Ada dua negara yang menurutnya sering menangkapi buruh migrant, yaitu Arab Saudi dan Malaysia.
“Di Arab Saudi, ancamannya bukan lagi ancaman pidana 1-10 tahun, tapi hukuman mati,” kata Ramses. Sebagian besar di antaranya menurutnya adalah korban kriminalisasi.
Sedangkan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sinung mengungkapkan setidaknya ada 218 korban dari kelompok masyarakat adat yang tercatat di lembaganya.
“Itu baru yang menjadi anggota AMAN,” katanya. “Dari 218 itu, 22 di antaranya terdiskriminasi pada era pemerintahan Jokowi,” imbuh Sinung.
Dari dunia Pers, Hasim mewakili Aliansi Jurnalis Independent (AJI) mengungkap, saat ini Papua merupakan satu-satunya daerah yang belum mendapatkan kebebasan dalam dunia pers. Dalam 5 tahun terakhir menurutnya ada 5 wartawan asing yang dikriminalisasi di sana. Secara keseluruhan, kebebasan pers juga tak lepas dari perlakuan diskriminasi. Ia mengutip data LBH Pers, ada 78 pasal yang berpotensi menghambat kebebasan pers.
Dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan kita masih ingat kasus Tajul Muluk, sebagai pemimpin komunitas Muslim Syiah di Sampang. Tajul Muluk dikenai pasal 156a KUHP. Ia dianggap membuat aliran tersendiri, aliran Tajul Muluk. Meskipun tuduhan itu tidak bisa dibuktikan dan telah dibantah bahwa Tajul Muluk merupakan pemeluk Muslim Syiah, ia tetap saja dipaksa tinggal di balik jeruji besi.
Masih banyak lagi yang mendapatkan perlakuan diskriminatif dan kriminalisasi, baik dari sektor Agraria, Aliansi Petani, Aliansi Mahasiswa dan sebagainya.
Berbagai kriminalisasi yang terjadi berulangkali dan diadopsi oleh berbagai pihak itu diyakin sebagai alat meredam protes, menjatuhkan lawan, dan menghambat ruang demokrasi. (Malik/Yudhi)