Berita
Tugas Negara Hilangkan Impunitas dan Penuhi Hak Korban Pelanggaran HAM
Banyak pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia. Penyelesaian hak-hak para korban dan impunitas pelanggar HAM masih menjadi masalah yang belum tuntas.
Mendiskusikan hal ini Komisi untuk Orang HIlang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Asia Justice and Rights (AJAR), bekerjasama dengan The National Peace Council of Srilanka (NPC) menggelar Diskusi Roundtable Regional dengan tema “Mendayakan Para Korban, Memperkuat Akuntabilitas untuk Menentang Penyiksaan” di Hotel JS Luwansa Kuningan, Jakarta, Rabu (5/4).
Maria Katarina Sumarsih, ibu dari BR. Nurma Irmawan, mahasiswa Atmajaya korban tragedi Semanggi 1 mengeluhkan hingga hari ini para pelanggar HAM masa lalu masih belum tersentuh hukum.
“Indonesia masih melanggengkan impunitas dan pelaku pelanggar HAM, yaitu pihak militer,” keluh Sumarsih.
“Ada upaya-upaya menyelesaikan HAM, tapi cenderung langgengkan impunitas karena dalam tim itu ada perwakilan TNI, Kepolisian, BIN. Tapi tak ada korban yang diikutkan, pendamping korban pun tak diikutkan,” lanjut Sumarsih.
Haris Azhar dari KontraS juga mengkritik bagaimana aparat kepolisian sekarang masih kurang transparan proses hukumnya. Seperti kasus Siyono beberapa waktu lalu.
“Polisi memang diberi kewenangan untuk melanggar HAM dalam rangka memberi efek deterrent kepada orang yang mengancam HAM. Tapi tetap harus sesuai proses hukum,” ujar Haris.
“Di Perkap, jelas disebutkan jika seseorang yang mati dalam operasi penanggulangan terorisme maka terhadapnya harus dilakukan proses hukum. Tapi dalam semua kasus penanganan terorisme hampir tak pernah diketahui publik apakah proses hukumnya jalan atau tidak,” kritik Haris.
Luis de Oliveira dari AJAR Timor Leste juga mengeluhkan bagaimana negara tidak memenuhi kewajiban untuk bertanggungjawab kepada warga yang dilanggar HAM-nya. Ia menengarai adanya penyimpangan terhadap rekomendasi-rekomendasi penyelesaian kasus HAM.
“Ada penyimpangan secara sengaja. Seperti rekomendasi pendirian Komisi Orang Hilang, yang ada sekarang pendirian Pusat Budaya, rekomendasi tentang Pusat Dokumentasi HAM, yang terjadi sekarang adalah pendirian Rumah Pintar Indonesia,” ujar Luis.
“Ini kalau di mata korban sangat menyakitkan sekali. Begitu juga yang terjadi pada 400 perusahaan Indonesia yang ada di Timor Leste tak punya misi sosial, tapi kecenderungannya mengulang seperti perusahaan-perusahaan yang dulu mendukung pelanggaran HAM di sana,” tambah Luis.
Masih menumpuknya masalah-masalah HAM ini merupakan tanggungjawab Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikannya. Jika tidak, dikhawatirkan bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak kapanpun. (Muhammad/Yudhi)