Berita
KEMENAG: ANNAS Penyebab Potensi Konflik Sektarian Makin Parah
Kebhinekaan dan persatuan bangsa hari ini mendapat tantangan berat dari kelompok-kelompok intoleran yang berupaya mempertajam konflik sesama warganegara.
Dalam Soft-Launching dan Diskusi bertajuk Kebebasan Beragama di Jawa Barat: Mempelajari Indeks Demokrasi Indonesia, di Wahid Institute, Jakarta, Rabu (30/3), Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, M.A dari Kementerian Agama RI menyebutkan, di Jawa Barat menjadi kota paling intoleran se-Indonesia salah satu penyebabnya adalah kelompok-kelompok garis keras yang ada.
“GARIS, AGAP, Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) dan sejenisnya, kelompok-kelompok ini membuat potensi munculnya konflik semakin parah,” ujar Abdurrahman.
“Yang memicu konflik adalah pemuka-pemuka agama yang cenderung menyinggung agama atau keyakinan lain,” tambah Abdurrahman.
Menghadapi tantangan pola keberagamaan yang intoleran ini, Abdurrahman mengajak agar ormas-ormas besar dan kalangan pesantren bersuara.
“Selain ada potensi konflik, juga ada potensi kerukunan di Jawa Barat. Yaitu jika ormas mainstream NU dan Muhammadiyah bersuara. Juga pesantren yang banyak ada di Jawa Barat. Pesantren itu kan by nature itu peacefull,” ujar Abdurrahman.
“Selain itu, yang membantu Jabar itu kearifan lokalnya. Semangat, persaudaraannya, kebersamaannya, kohesifitasnya, toleransinya,” tambah Abdurrahman.
“Sayang ini juga mulai melemah, menipis karena perkembangan teknologi informasi,” keluh Abdurrahman.
Pemerintah Lamban
Sementara Irsyad Rafsadi, peneliti dari PUSAD Paramadina menyoroti paradoks kebebasan sipil yang tinggi, namun institusi pemerintah justru lamban.
“Kita saat ini menghadapi paradoks, kebebasan sipil tinggi sekali, sehingga tuntutan publik tinggi, namun dihadapi lembaga yang tidak cepat tanggap dan lamban,” ujar Irsyad.
Dari Indeks Demokrasi Indonesia, panel ahli Abdul Malik Gismar Ph. D., menyebutkan bahwa demo yang terkait kekerasan itu selalu berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
“Kalbar, NTB, Kalsel, itu yang selalu tinggi. Kebanyakan demo yang terkait kekerasan berkaitan dengan penyelenggaraan negara,” terang Gismar.
“Saya khawatir kita terjebak men-judge masyarakat tidak toleran, padahal yang menjebak itu aturan, tata kelolanya yang tidak bener. Ini yang perlu dicari solusinya,” ujar Gismar.
Menghadapi ini semua diperlukan kerjasama semua pihak. Selain masyarakat, pemerintah pun harus sigap dan menciptakan aturan-aturan hukum yang jelas dan mengayomi semua. (Muhammad/Yudhi)