Berita
Ancaman Ekspansi Bisnis Properti di Balik Reklamasi
Tak ada orang yang menolak pembangunan. Tapi jadi lain ceritanya jika pembangunan yang digadang-gadang ternyata hanya menggemukkan segelintir orang kaya saja dan malah menghancurkan nasib rakyat kecil yang tak berdaya.
Hal ini diungkapkan oleh sineas WatchDoc, Dhandy Dwi Laksono dalam acara Nobar dan Diskusi “Membaca Reklamasi Jakarta Lewat Kala Benoa” di Universitas Esa Unggul, Jakarta Barat, Senin (28/3).
“Saat ini kota-kota di Indonesia sedang menghadapi ekspansi bisnis properti,” ujar Dhandy.
“Untuk mendapatkan tanah, hanya ada tiga cara, kalau dulu tukar guling, sekarang kalau tidak menggusur tanah orang miskin, ya dengan menimbun lautan. Itu yang terjadi di Teluk Benoa dan juga Teluk Jakarta,” papar Dhandy.
Menurut Dhandy, untuk memuluskan rencananya, pertama mereka menciptakan narasi untuk menghancurkan reputasi daerah tersebut agar bisa digusur atau diuruk. Seperti diisukan ada pencemaran, pendangkalan, bukan laut produktif, dan sebagainya.
“Itu adalah image yang dibangun investor terlebih dulu, sehingga seolah-olah ia tampil sebagai orang yang membenahi. Padahal kalau kita lakukan check and re-check ke lapangan, seperti saya ke Teluk Benoa, tidak seperti itu faktanya.”
Menurut Dhandy ini dilakukan karena secara ekonomis jauh lebih menguntungkan menimbun laut ketimbang, membeli tanah di Bali atau Jakarta yang harganya tinggi. Meski dengan resiko menghancurkan ekosistem dan kehidupan masyarakat kecil.
Menunggu Pembangunan Berkerakyatan
Terkait Pilkada DKI, Dhandy berharap para calon gubernur mampu menawarkan program pembangunan yang membela rakyat kecil, bukan malah menghamba pada korporasi.
“Saya membayangkan ada perdebatan sengit dengan konsep pembangunan Jakarta dari para kandidat. Sialnya tak ada kandidat yang menantang petahannya dengan konsep-konsep pembangunan yang baru,” keluhnya.
“Yang ingin kita dengar dari banyaknya kandidat ini adalah apa yang membuat mereka berbeda dengan petahana dalam konsep pembangunan.”
“Soal isu reklamasi, soal Perda Tata Ruang misalnya, ndak ada tuh perdebatan Ahok dan Lulung, ndak ada tuh perdebatan sengit antara Ahok dan Taufik. Gak ada gontok-gontokan antara legislatif dan eksekutif untuk konsep-konsep pembangunan.”
“Saya jadi makin khawatir, keributan apa yang sebenarnya terjadi? Karena tak ada yang substansial dari keributan-keributan politik ini,” kritik Dhandy.
Tak hanya di Jakarta, di seluruh Indonesia, masyarakat merindukan pembangunan yang berkerakyatan, yang menyejahterakan rakyat kecil, bukan hanya segelintir pengusaha. Rakyat masih menunggu itu. (Muhammad/Yudhi)