Berita
Menyoal Pembatalan Pemutaran Film Pulau Buru Tanah Air Beta
Goethe Institute akhirnya membatalkan diskusi film dokumenter “Pulau Buru Tanah Air Beta” karya Rahung Nasution, setelah pihak kepolisian Sektor Menteng menginformasikan akan adanya demonstrasi oleh sebuah Ormas yang tidak seutuju dengan pemutaran film tersebut di Goethe-Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (16/3).
Atas kejadian itu, Achmad Fanani Rosyidi, peneliti SETARA Institute saat dihubungi ABI Press menyayangkan sikap aparat kepolisian dan mengatakan bahwa SETARA Institute mengecam terjadinya pembatalan diskusi tersebut.
“Sikap SETARA, sangat mengecam dan seharusnya aparat kepolisian bertindak untuk melindungi,” sesal Fanani.
Hal ini bukanlah kejadian pertama, bahkan SETARA Institute mencatat, hal seperti ini telah terjadi 63 kali dalam kurun waktu tahun 2015. Jika pembiaran dan impunitas atas mereka yang anti demokrasi terus dibiarkan melakukan pembubaran-pembubaran diskusi-diskusi maka hak-hak dasar warganegara akan terganggu. Selanjutnya, hal ini juga akan menjadi ancaman bagi demokrasi yang sejak Reformasi terus dijaga keberlangsungannya, sekaligus akan menyulut disintegrasi bangsa.
“Kalau sampai anarkis, sampai terjadi penyerangan langsung dan pihak kepolisian pasif, maka hal ini akan menjadi ancaman bagi disintegrasi bangsa,” tegas Fanani.
Jika kejadian seperti ini terus saja terjadi, Fanani menganggap Negara telah gagal membangun demokrasi. Sebab kepolisian yang berfungsi sebagai penegak hukum seharusnya lebih mampu bertindak tegas dan menjaga demokrasi.
“Kepolisian ini kan penegak hukum, kalau justru dia tidak menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, ya ini akan terus terjadi.”
Sejalan dengan SETARA Institute, Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah dalam diskusi dan peluncuran buku “Kebebasan Berekspresi di Indonesia” terbitan Lembaga Studi dan Advokasi untuk Masyarakat (ELSAM) di Jakarta, Kamis (17/3) mengatakan bahwa alasan pihak kepolisian terkait ketertiban umum saat mengagalkan penayangan dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta” kurang tepat.
Sebab dalam menjaga ketertiban umum menurut Aswidah juga ada kaidah asas kemanusiaannya. Maksudnya juga harus menghormati kaidah asas manusia.
Lebih lanjut dia menegaskan sangat tidak tepat kalau kemudian alasan yang dipakai Polisi adalah adanya ancaman penggunaan kekerasan oleh pihak lain yang tidak menghendaki pemutaran film itu.
“Ya, mestinya yang harus didakwa pertama kali itu yang menggunakan kekerasannya,” jelas Aswidah.
Akibat pembatalan tersebut, pemutaran film yang bercerita tentang bagaimana pulau Buru dijadikan tempat pembuangan para tahanan politik itu pun dipindahkan pihak panitia ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
“Tidak ada apa-apa kok, kemarin sampai malam terbukti tidak terjadi keonaran publilk,” ungkap Aswidah. “Jadi alasan atas nama ketertiban umum sebenarnya tidak berdasar,” pungkas Aswidah. (Lutfi/Yudhi)