Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Libatkan Warga Kampung Melawan Intoleransi

rizky-alif-alvian-2Yogyakarta selama beberapa tahun mendapatkan predikat sebagai kota paling toleran di Indonesia, seperti dilaporkan The Wahid Institute dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Tapi sejak tahun 2014, Yogyakarta mulai berubah dan mendapat predikat kota paling intoleran tertinggi kedua di Indonesia. Tentu saja fenomena ini menjadi menarik diteliti lebih jauh.

Hal ini mendapat perhatian salah seorang pemenang program Maarif Fellowship 2015, Rizky Alif Alvian, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada, yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi publik bertema “Fenomena Sektarianisme Keagamaan di Indonesia” yang dilaksanakan di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Rabu (16/3).

Dalam wawancaranya dengan tim ABI Press usai acara, Alif menjelaskan bahwa gerakan yang dilakukan oleh kelompok intoleran saat ini jelas sangat rapi. Apalagi jika dilihat dari perspektif gerakan sosial,  mereka cukup terorganisir dengan baik.

Salah satu yang cukup menarik menurutnya adalah mereka juga melakukan empowerment,  pemberdayaan, dan bukan hanya mengajak orang untuk didakwahi atau untuk memperjuangkan sesuatu tapi kehidupannya juga berusaha dikembangkan.

“Itu yang saya kira menarik,” ujar Alif.

Selain itu, mereka juga memiliki massa cukup banyak sebagai sumber kekuatan yang mereka jadikan daya tekan cukup kuat terhadap pemerintah, membuat pemerintah gamang dalam mengambil keputusan.

Menurut Alif, biasanya mereka akan meminta secara formal kepada pemerintah untuk melakukan sesuatu. Sebagai daya tekannya, mereka akan menyiapkan massa. Jika pemerintah tidak memenuhi tuntutannya, mereka biasanya mengancan akan “melakukannya sendiri”.

“Sejauh ini yang sudah dilakukan misalnya ada pembubaran acara pesta,” terang Alif.

Lalu apa yang bisa dilakukan?

Berdasarkan pada penelitiannya yang berjudul “Melihat Yogyakarta berubah: Praktik Kewarganegaraan Radikal dan Perubahan Toleransi di Yogyakarta”, Alif mengatakan bahwa penting sekali menautkan gerakan toleransi dengan warga kampung yang selama ini belum maksimal dilakukan di Yogyakarta.

Sebab bagi Alif, warga di kampung itulah yang paling memegang nilai Jawa dan memiliki teposeliro sekaligus merasakan, bukan para intelektual di univeristas.

Jadi dengan memiliki tautan ke warga, menurut Alif, kelompok toleran juga bisa punya kekuatan lebih besar sehingga dengan demikian, juga akan mampu memberikan tekanan kepada pemerintah.

“Dari penelitian ini yang saya rasa sangat penting, salah satunya ya itu,” tegas Alif. (Lutfi/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *