Berita
Belajar Parenting Bersama Munif Chatib
Di Istora Senayan Jakarta dalam acara Islamic Book Fair (IBF) 2016, Munif Chatib diundang menjadi pembicara Talk Show sekaligus bedah buku #Parents Learn: Biarkan Anak Bertanya. Buku ini merupakan karya terbarunya yang diterbitkan oleh Penerbit Kaifa, PT Mizan Pustaka.
Sebelumnya, ia telah menerbitkan buku-buku yang cukup popular seperti, Sekolahnya Manusia (2009), Gurunya Manusia (2010), Orangtuanya Manusia (2012), Sekolah Anak-Anak Juara (2012), Kelasnya Manusia (2013), dan Bella: Sekolah Tak Perlu Air Mata (2015) sebuah novel racikan fakta dunia pendidikan anak-anak yang dilapisi konsep-konsep pendidikan humanis. Selain sebagai penulis, Munif Chatib juga berprofesi sebagai guru pengajar sekaligus konsultan pendidikan.
Di hadapan ribuan pengunjung IBF Minggu (6/2) siang itu, Munif Chatib berbagi pengalaman dan tips-tips mengenai pendidikan khususnya terkait buku terbarunya.
Berikut ini beberapa poin penting pemaparan Munif Chatib dalam bukunya tersebut.
Guru Kehidupan: Belajar Kehidupan dari Anak Usia Dini
Di awal bukunya, penulis mengajak para pembaca untuk belajar dari anak kecil. Kalau dunia ini diisi oleh anak-anak maka tidak akan ada perang. Kalimat lengkapnya begini “pasti tak ada PERANG jika isi dunia adalah ANAK KECIL”. Seringkali, anak usia dini berantem sesamanya. Namun, beberapa menit kemudian mereka akur lagi. Tanpa dendam, mereka akur bermain lagi. Anak usia dini mudah memaafkan. Tidak seperti orang dewasa yang sulit memaafkan.
Mengapa orang dewasa harus belajar dari anak kecil? Dalam bukunya dijelaskan, anak kecil bebas dari dosa, karena fitrah ilahiahnya belum terkotori.
Anak suka menangis, merupakan simbol kelembutan hati. Suka bermain tanah, simbol mengetahui siapa sebenarnya dirinya.
“Kalau kita memandang lebih dalam menurut kajian filosofinya banyak hal yang bisa kita pelajari kenapa anak kita main tanah. Salah satunya adalah mengingatkan kita ini yang sudah dewasa, bahwa kita akan kembali ke tanah,” terang Munif.
Anak suka berkelahi, tapi tanpa dendam, simbol sang pemaaf. Tidak pernah menyimpan untuk besok, simbol tawakkal kepada Sang Maha Pemberi. Suka membangun, lalu merobohkan, simbol untuk tidak cinta dunia.
“Anak suka lari sana-lari sini, nggak dikasih ini nangis dan lain-lain. Itu semua penuh rahasia.”
Munif juga bercerita mengenai sebuah riwayat Rasulullah saw yang menjelaskan bahwa ketika Rasul sedang sedih, ia akan menemui anak-anak kecil.
“Anak kecil itu tanpa dosa. Belum dihisab Allah SWT. Pasti di situ ada makna yang terkandung di dalamnya,” kata Munif.
Orangtuanya Manusia
“Konsepnya sederhana. Ide dasarnya dari fakta. Kenyataan. Betapa banyak kita ini, orangtua ketika menginginkan anaknya sukses, itu berpedoman pada ‘anakku harus seperti aku’. Meskipun anak kita ini keturunan kita tapi banyak yang punya bakat beda dengan orangtuanya.”
“Yang sering terjadi adalah, orangtua itu sering memaksakan kehendaknya tanpa melihat apa kebutuhan anaknya. Karena itu di buku ini memberikan tips-tips praktis. Kalau anak kita bakatnya sama dengan orangtuanya, wajar, keturunan. Tapi ketika anak kita bakatnya tidak sama dengan orangtuanya, maka tidak boleh orangtuanya menarik-narik paksa agar sama dengan orangtuanya.”
Usia Emas (Golden Age)
Ibarat membangun sebuah rumah kita akan bangun pondasinya dulu. Usia emas itu pondasi bagi sebuah bangunan kehidupan yang akan datang.
“Menurut penelitian banyak ahli, ternyata perkembangan otak anak kita itu sama dengan membangun pondasi rumah. Golden Age, Usia emas itu ternyata merupakan pondasi yang dibangun dari total perkembangan otak itu sebesar 80%. Dari usia 0 – 8/9 tahun. Jadi sebenarnya, pendidikan usia dini itu kalau di kampus, kelas 3 SD ke bawah. Kelas 3 SD itu masih tergolong anak usia dini.”
“Bayangkan, kalau pondasinya sebuah rumah itu kuat, maka, pasti rumah yang akan dibangun di atasnya juga kuat. Tapi sebaliknya kalau pondasi di rumah itu tidak kuat, cengkeraman cakar ayamnya, pondasinya banyak yang kosong, maka, biasanya, rumah yang dibangun di atasnya mudah roboh.”
“Maka sebenarnya masa usia dini adalah masa-masa pembelajaran terpenting. Karena otak sedang membangun anyaman-anyaman pondasi yang kuat. Sedangkan anak kita usia 4 SD sampai nanti Insya Allah jadi profesor, doktor, itu hanya kebagian 20% nya saja.”
Masa Remaja
“Masa remaja penting sekali. Potensinya dahsyat. Ibaratnya seperti bom nuklir yang siap meledak. Usia remaja dimulai sejak SMP dan SMA.”
“Remaja itu adalah usia anak yang masuk tahap aplikasi. Mengaplikasikan sesuatu. Karena itu ketika masa remaja ini ada problem, salah arah, bom nuklir yang meledak itu biasanya menghancurkan. Tapi ketika masa remaja yang penuh daya aplikasi dalam kehidupan sehari-harinya itu diarahkan benar, nuklirnya untuk kemaslahatan banyak orang.”
Munif juga menekankan bahwa salah satu yang dapat mempengaruhi kehidupan remaja adalah media.
“Gadget adalah salah satu bagian dari media. Harus oleh para kita, anak-anak kita dianggap sebagai alat. Hanya alat. Berarti, kalau sudah fungsinya sebagai alat harus punya nilai tambah. Ibarat pisau, itu alat, untuk memasak, mengupas buah, itu yang penting. Tapi pisau juga bisa untuk membunuh.”
Memilih Sekolah Yang Baik
“Ada dua hal. Pertama, biasanya orangtua kalau memilih sekolah hanya melihat tanpa bertanya. Pertanyaan yang seharusnya diajukan; bagaimana proses penerimaan siswa barunya? Kalau ada sebuah sekolah yang ribet, ruwet, penerimaan siswanya pakai seleksi yang ketat, menurut saya itu sekolah yang biasa-biasa saja.“
“Kalau sekolahnya manusia, anak dalam berbagai kondisi, sah dan punya hak untuk bersekolah. Karena itu di sekolahnya manusia, tes masuknya ada. Tes denyut nadi. Kalau ada denyut nadinya, monggo silakan masuk.”
“Kedua, tanya pada Kepala Sekolahnya; jadwal pelatihan guru biasanya berapa kali? Ada yang setahun sekali. Ada yang tiap semester. Ada yang setiap bulan sekali. Menurut saya, sekolah yang baik adalah sekolah yang mempunyai jadwal pelatihan guru yang frekuensinya lebih banyak. Karena bagusnya sekolah, jantungnya sekolah, dari kualitas gurunya.”
“Guru bukan manusia suci yang minum air putih langsung cling pinter, tidak. Guru harus terus belajar. Profesi guru itu adalah profesi yang tidak boleh berhenti untuk belajar.”
Sistem Ranking
“Sistem ranking itu sah, kalau di perusahaan. Kalau di sekolah, para ahli pendidikan sudah sepakat untuk mengukur perkembangan anak itu diukur dari anak kita sendiri. Enam bulan lalu sampai sekarang bagaimana perkembangannya. Setahun lalu sampai sekarang bagaimana. Kalau ranking, pasti anak kita dibandingkan dengan yang lain. Betapa banyak mental anak-anak hancur ketika ujung penerimaan raport?”
“Kalau konsep ranking, satu kelas 30 siswa, juaranya hanya satu. Kalau di sekolahnya manusia, semuanya juara. Setiap anak tampil, aku bisa ini, si B bisa ini, si C tampil, karena yang dinilai adalah kemampuan anak.”
“Setiap anak punya kecerdasan. Tidak tunggal kecerdasan itu. Kalau di multiple inteligence, kecerdasan itu sampai 8. Anak pinter ngomong itu punya kecerdasan bahasa. Anak lari sana-sini itu dianggap punya kecerdasan kinestesis. Dan macam macam. Nah, ketika dalam memunculkan prestasi, diukur dari multiple inteligensia maka setiap anak harus dilihat kemampuan dari 8 kecerdasan ini yang mana. Itulah karya anak-anak.”
Peran Bunda dan Ayah di Rumah
”Rasulullah saw pernah ditanya para sahabat. Pada zaman ketika Rasulullah baru mendapatkan wahyu. Pertanyaannya, kalau pakai bahasa saya begini; kan Rasulullah sudah menjadi nabi, sudah menjadi guru, mulai dari langkah apa yang dilatihkan, dan diberikan kepada kami? Rasulullah mengatakan innama buistu li utammima makarimal akhlaq. Berarti akhlak itu luas. Salah satu background dari akhlak adalah karakter atau sikap. Artinya, kalau kepingin anak kita sukses, punya kemampuan kognitif, kemampuan yang hebat, punya keterampilan yang luar biasa, buat ini itu performance dimana-mana, maka pintu pertama yang harus dikuasai dulu, tahap pertama, tangga pertama yang harus selesai dulu adalah akhlakul karimah.”
Kesimpulan
“Bagi kita yang punya anak, punya murid, siswa, harus kita bayangkan anak kita melakukan pendakian di abad 21. Pendakian yang bukan lurus seperti jalan tol. Tapi banyak masalah. Terutama masalah bagaimana menggunakan media. Karena itu, kalau kita sepakat anak kita sedang mendaki, maka harus dibekali.”
“Bekal pertama, kakinya harus kuat. Dengan dua kaki. Kaki satunya adalah sekolah, dan satunya lagi adalah rumah. Kalau di sekolah ada guru di situ. Kalau di rumah ada ibu dan ayah. Orangtua dan guru harus bersahabat sejati. Kalau anak kita dalam pendakian ada masalah, mungkin jatuh, tidak boleh satu kakinya lari sana, satunya lari sini. Harus bertahan supaya anak kita berdiri lagi dan terus mendaki sampai puncak. Untuk menjadi dua kaki yang kuat, tidak boleh berhenti belajar baik itu guru maupun orangtua.”
Buku terbaru Munif Chatib ini disajikan dengan sangat sederhana. Buku ini praktis dan bergambar, bahkan, “kalau mau dibaca 30 menit selesai” kata penulis, sebagai terobosan baru dari karya-karya sebelumnya agar lebih praktis dan langsung terserap di otak. (Malik/Yudhi)