Berita
Kang Dedi: Jawa Barat Sejatinya Sangat Toleran
Jawa Barat hari-hari ini dikenal sebagai provinsi yang mencapai ‘prestasi’ gemilang sebagai kota paling intoleran di Indonesia. Kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran kebebasan berkeyakinan menduduki ranking pertama di Tanah Air. Dan ‘prestasi’ intoleransi itu berdasarkan laporan Komnas HAM, The Wahid Institute, dan lembaga-lembaga lain, yang kian tahun kian meningkat.
Benarkah Jawa Barat adalah kota intoleran? Bupati Purwakata yang asli warga Sunda, ‘Kang’ H. Dedi Mulyadi menyanggah keras hal itu. Justru menurutnya Jawa Barat itu sangat toleran. Berikut sanggahannya.
Jawa Barat dilaporkan sebagai kota paling intoleran se-Indonesia. Bagaimana pendapat Kang Dedi?
“Dalam sejarahnya saya sebagai orang Sunda, kerajaan Sunda itu terkenal dengan Pajajaran. Pajajaran itu berasal dari kalimat ’sajajaran’ (sejajar, tidak berat sebelah) dan proses bernegaranya itu terwujud dari negara-negara kecil yang berkembang di wilayah tatar Sunda lalu membangun satu negara di mana sifat toleransi dikembangkan. Pada zaman itu rajanya bukan Hindu, tapi banyak candi. Pada zaman itu rajanya juga bukan Budha, tapi banyak orang Budha. Rajanya berdiri pada seluruh lapisan golongan, pada seluruh lapisan keyakinan, lapisan pemahaman. Toleransi itu juga berangkat dari sebuah pemahaman Sunda mewarisi sistem kerajaan Siliwangi; Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh. Itu yang sebenarnya sangat toleran.”
“Saya secara pribadi, hati saya tersayat ketika disebutkan bahwa Jawa Barat itu paling intoleran se-Indonesia. Karena orang Sunda itu aslinya orang yang paling toleran, tanah Sunda itu tanah yang paling toleran. Bisa dibuktikan, seluruh suku itu bisa hidup di Jawa Barat. Bisa jadi anggota DPR, bisa jadi pemimpin. Bisa jadi Wakil Wali Kota. Artinya, gak ada problem.”
Kalau memang tatar Sunda aslinya toleran, kenapa sampai tingkat intoleransinya tertinggi se-Indonesia? Apa penyebabnya?
“Guru saya dulu Katolik, temen semeja Ahmadiyah. Gak ada problem. Baru ribut-ribut itu sekarang. Kenapa ribut? Karena orang Sunda itu pendiam, banyak para pendatang yang ngomongnya banyak. Para pendatang yang ngomongnya banyak inilah yang membuat kerusakan di tanah Sunda. Yang kulturnya beda, tatacara budayanya beda, perilaku budaya beda ngerusak urang Jawa Barat. Mereka yang merusak kultur toleransi Sunda. Ta tarima urang, mah!”
“Orang Jawa Barat ini masyarakat yang paling toleran. Sampai hari ini tak ada pengusiran suku di Jawa Barat. Belum pernah ada konflik antar suku di Jawa Barat. Tetapi karena konflik itu tak berhasil, maka yang justru bisa membuat konflik itu konflik keyakinan. Menurut saya, secara intelijen, ini adalah infiltrasi keyakinan yang membuat masyarakat Jabar sering berkonflik karena keyakinan.”
“Nah, persolan intoleransi di agama itu karena ada pemahaman baru yang dibawa oleh, yang mohon maaf aktornya itu bukan asli orang Jawa Barat. Yang sekarang muncul itu pemahaman baru yang itu mempengaruhi pikiran sebagian kecil masyarakat Jawa Barat karena memang sikap masyarakat Jabar yang agak apatis, beda dengan di provinsi lain. Ada problem ideologis yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Barat, yaitu problem ideologic-culture.”
“Dan lihatlah, intoleransi itu bisa dilihat tumbuhnya di perkotaan yang urban. Di mana banyak para pendatang. Coba lihat di daerah-daerah pedesaan. Itu tak terjadi di pedesaan, coba lihat orang-orang di pedesaan menanggapi perbedaan, bilangnya ‘rek kitu rek kieu’ urusan masing-masing lah. Yang penting bisa kerja bakti bareng. Nah ini yang jadi problem. Karena orang Sunda pendiem, orang Sunda terkungkung dalam budaya, dan mereka cenderung mengikuti budaya baru. Makanya lemah terhadap kultur baru. Beda dengan di Jawa yang keyakinan Jawanya kuat, sehingga mereka berani berhadap-hadapan. Orang Sunda mah enteuh, engges daripada ribut, mendingan cicing…”
“Jadi saya tegaskan, pengikut intoleran di Jawa Barat bukan orang Jawa Barat aslinya. Orang Jawa Barat itu hanya ikut-ikutan intoleran!”
Bagaimana pendapat Kang Dedi mengenai Gubernur atau Wali Kota yang justru mengeluarkan perda-perda intoleran?
“Ya makanya, melihat persoalan toleransi itu jangan hanya dari sudut pandang politik. Kalau sudut pandang politik, maka kita akan mencari dukungan politik yang berdampak pada kenyamanan kita memimpin. Dan tidak semua pemimpin yang tahan terhadap berbagai tekanan dan godaan ini. Inilah yang harus dibangun paradigmanya pada para pemimpin itu, yaitu paradigma konstitusi.”
“Persoalan kebebasan beragama merupakan persoalan yang fundamen dan harus mendapat perhatian dari Negara dan Negara harus hadir di seluruh lapisan masyarakat di mana pun berada tentang hak-hak seseorang untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Tidak boleh hanya mementingkan satu golongan saja.”
“Ketika seseorang menjadi seorang pemimpin, maka ia berdiri di atas konstitusi. Karena ia berdiri di atas konstitusi maka tak boleh keyakinan yang dimilikinya itu menjadi keyakinan negaranya. Itu mengkhianati konstitusi. Yang menjadi problem kita hari ini adalah persoalan keyakinan dibawa menjadi keyakinan Negara dan membawa Negara dalam format keyakinannya sendiri. Sehingga lahirlah perda-perda dan berbagai peraturan yang membuat disintegrasi konstitusi terhadap sistem kenegaraan kita.”
Apakah karena itu Kang Dedi membentuk Satgas Toleransi?
“Ya kita ingin memberikan rasa nyaman. Bahwa di balik masyarkat sipil yang menentang toleransi ada masyarkat sipil juga yang mendukung toleransi, yang terdidik secara akademis. Dan bukan hanya itu, sekarang saya di Purwakarta membuka sekolah ideologi, di sekolah itu dalam setiap minggu anak-anak muda, dididik tentang Pancasila, kebebasan, perspektif berpikir, termasuk sudut pandang-sudut pandang mazhab dalam agama. Nah ini bagian dari mempersiapkan generasi ke depan untuk mempersiapkan generasi toleran.”
“Kita ingin membangun sebuah iklim masyarakat yang kondusif. Membangun paradigma dan menghadirkan juga masyarakat sipil yang cerdas, masyarakat sipil yang terdidik, masyarakat sipil yang toleran, itu saja orientasi yang saya buat.”
Bagaimana menurut Kang Dedi posisi Negara dalam membangun toleransi ini dan apa tantangannya?
“Saya mengajak kepada semua, Negara harus hadir. Aparatur Negara harus melindungi siapapun untuk menjalankan keyakinannya. Inilah fungsi dari peran Negara, tidak boleh kompromi soal ini. Karena kompromi ini memperbesar kekuasaan, memperbesar kekuatan. Kalau hari ini kita kompromi terhadap kelompok intoleran, maka intoleran tersebut mendapat pembenaran dari seluruh masyarakat. Karena mendapat pembenaran dari masyarakat maka kekuatannya akan makin bertambah, pengikutnya akan makin bertambah, maka, suatu saat Negara dan alatnya tidak akan mampu lagi menghadapi kelompok intoleran tersebut, karena sudah menjadi ideologi baru yang dianggap ideologi aslinya orang Indonesia.”
“Sekarang lihatlah, keadaan menjadi terbalik. Kalau dulu kelompok yang intoleran tersebut tidak mendapat tempat dari Negara, karena Negara punya kekuatan, kekuasaan, dari mulai Jakarta sampai tingkat desa mereka kuat sekali sehingga tidak bisa kelompok intoleran melakukan aktivitas apapun tanpa pengawasan. Justru hari ini terbalik, yang berjibaku, berkeringat, berdarah-darah menjadi orang terancam adalah orang-orang yang tiap hari perjuangkan Pancasila dan Kebhinekaan!”
“Inilah problem kita hari ini. Yang hari ini hidupnya terancam adalah orang yang hidupnya cinta kebhinekaan dan cinta Pancasila dan cinta 4 Pilar. Mereka seringkali tidak kuasa menghadapi tekanan-tekanan psikologi yang dihadapinya. Ini problem Negara yang harus diselesaikan.”
“Kenapa terjadi intoleransi? Karena bangsa Indonesia terlalu toleran terhadap ideologi impor yang intoleran. Pemahaman impor, budaya impor yang intoleran itu memporak-porandakan sistem toleransi kita yang sudah terjaga sekian lama. Hari ini perlu kita rumuskan bagaimana Negara menghadapi pemikiran-pemikiran impor ini yang menurut saya dalam jangka panjang kalau terus-terusan kita tak cerdas dan cermat membacanya, bisa jadi ancaman bagi disintegrasi bangsa dalam berbangsa dan bernegara.”
Kang Dedi sendiri banyak mendapat serangan ketika memperjuangkan kebhinekaan dan toleransi tersebut. Apa Kang Dedi tidak takut dengan risikonya?
“Kenapa mesti takut? Negara tak boleh takut oleh premanisme. Pemimpin itu harus berani ambil risiko dari setiap kebijakannya. Dan kebijakan pemimpin harus bertumpu pada Negara dan konstitusi. Bukan pada golongan. Itu keyakinan saya.” (Muhammad/Yudhi)