Berita
Pemerintah Daerah, Pelindung atau Pelanggar Kebebasan Beragama?
Bangsa ini dibentuk berdasarkan konstitusi yang bertujuan untuk melayani, menyejahterakan dan melindungi seluruh warganya tanpa kecuali. Termasuk dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).
Hal ini jelas di Undang-Undang Dasar kita. Namun bagaimana jika kemudian justru aparatur negara sendirilah yang malah ikut menjadi aktor pelanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan warganya?
Hal ini dikritisi secara keras oleh Komnas HAM dan The Wahid Institute yang dalam laporannya menyebutkan bahwa pelanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan justru dari pihak aparatur pemerintah. Yaitu Pemerintah Daerah.
“Dalam temuan kami jumlah pengaduan pelanggaran hak atas KBB tahun 2015 ini (Januari-November) berjumlah 87 pengaduan. Jumlah ini meningkat dari tahun 2014 (Januari-Desember) yang berjumlah 74 pengaduan,” ujar Imdadun Rakhmat dari Komnas HAM.
“Dan pelaku teradunya terbanyak adalah justru dari Pemerintah Daerah atau Pemerintah Kota sebanyak 36 aduan,” ujar Imdadun.
“Menyusul di bawahnya dari Ormas intoleran sebanyak 10 pelaku teradu, Ormas keagamaan 7 teradu, Pemerintah Pusat/Presiden 6 teradu, Kepala Desa/Lurah 6 teradu, polisi 5 teradu pelaku pelanggaran,” jelas Imdadun.
Sementara Yenny Wahid dari The Wahid Institute menyebutkan bahwa dalam catatan The Wahid Institute, jumlah aktor pelaku kekerasan beragama dan berkeyakinan juga dari aktor pemerintah.
“Kepolisian ada 28 kasus, Bupati/Walikota ada 11 kasus, Pemkot/Pemkab ada 11 kasus, Camat 9 kasus, Kantor Kemenag 8 kasus,” ujar Yenny.
Mengapa Aparatur Negara Malah Intoleran?
Banyaknya kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang justru paling tinggi dilakukan oleh aparatur Negara tentu menjadi pertanyaan besar. Kenapa Negara yang mestinya netral dan bertindak berdasarkan konstitusi justru malah makin memperkeruh situasi?
Menurut Yenny Wahid, berdasarkan pantauan The Wahid Institute, memang saat ini terjadi perpindahan titik pelanggaran intoleransi ke Pemerintah Daerah.
“Kita menemukan adanya perpindahan lokus pelanggaran intoleransi. Sekarang ini lebih banyak problem dan tantangannya justru di daerah,” ujar Yenny.
“Pemda, belum sejalan dengan Nawacita dari Pemerintah Pusat, sehingga banyak kasus-kasus pelanggaran KBB terjadi justru di daerah. Dan meski ada upaya serius penanggulangan pelanggaran KBB, tapi hingga saat ini belum ada perubahan signifikan dalam pola kasus penanganan KBB. Pola antisipatif dalam penanganan KBB dari pemerintah perlu didorong lebih sistematis dan sinergis lagi,” lanjut Yenny.
Menurut Yenny penyebab aktor Negara justru paling banyak yang melakukan pelanggaran KBB, karena adanya fenomena mainstreaming paham intoleransi di kalangan aparatur pemerintah.
“Mengapa aktor Negara masih lebih banyak? Karena masih terjadi mainstreaming atau pengarusutamaan paham intoleransi justru di kalangan aparatur pemerintah. Terutama di Pemda,” terang Yenny.
Imdadun Rakhmat mengaku Komnas HAM sering mengundang Pemda untuk berdiskusi dan melakukan konsultasi HAM dalam mendorong penyelesaian terhadap kasus-kasus KBB. Namun tak semuanya kooperatif.
“Ada yang mendukung, bersikap terbuka terhadap masalah KBB. Melihat persoalan sebagai fakta yang harus dihadapi dan berusaha memfasilitasi penyelesaian melalui dialog.”
“Pemerintahan yang responsif seperti ini terbuka untuk mengundang berbagai pihak yang terkait lalu melakukan komunikasi atau dialog untuk mencari penyelesaian terkait permasalahan-permasalahan yang ada. Mereka terbuka terhadap pendampingan dan penyuluhan Komnas HAM. Seperti di Kupang, Nusa Tenggara Tengah,” terang Imdadun.
“Namun ada juga yang tidak kooperatif. Berkali-kali kita undang tak mau datang. Sikapnya menghambat. Biasanya sikap yang ditunjukkan adalah melihat persoalan KBB secara menyepelekan. Malahan kesannya Komnas HAM ketika datang untuk membantu penyelesaian justru dianggap mencari-cari permasalahan. Ada Pemda yang seperti ini,” keluh Imdadun.
“Ada juga yang memendam semacam semangat ‘balas dendam’ sambil mengatakan bahwa, bagaimana kami bisa memberikan penghargaan pada umat agama A di sini, karena umat agama A di tempat lain menindas umat kami. Jadi ada semangat untuk tidak tukar-menukar kebaikan, tapi tukar-menukar persekusi. Ini juga ada,” ujar Imdadun.
Menurut Imdadun pihak Pemda yang melakukan hal seperti ini karena mereka tak bisa memisahkan antara interest pribadi dan keimanannya dengan fungsinya sebagai aparatur Negara.
“Salah satu persoalan yang kita hadapi adalah ada ekses negatif dari pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Ada deal-deal yang menjadikan agama sebagai jualan politik dengan kontrak-kontrak tertentu,” ujar Imdadun.
“Calon Kepala Daerah kemudian terikat perjanjian dengan kelompok-kelompok intoleran. Misalnya kalau terpilih, maka zero gereja. Kalau terpilih, maka Ahmadiyah harus diusir dari sini, Syiah harus diusir, dan lain-lain. Jadi ada deal-deal politik yang membuat Kepala Daerah mementingkan interest pribadi daripada tugas yang sesungguhnya diembankan kepada mereka.”
Rapor Baik dan Optimisme
Namun di tengah rapor buruk intoleransi ini, saat gerakan intoleransi makin meningkat tahun ini, Yenny menyebutkan gerakan yang menyerukan toleransi juga mengalami peningkatan.
“Selain mencatat praktik buruk intoleransi yang meningkat 23%, kami juga mencatat praktik baik yang mendorong toleransi juga meningkat,” ujar Yenny.
“Praktik baik paling banyak ada di Jakarta 31 kasus, Jawa Barat 15 kasus, Jawa Tengah dan Jawa Timur 11 kasus. Jakarta dan Jawa Barat termasuk yang tertinggi kasus pelanggaran KBB, tapi juga menariknya praktik baik toleransinya juga mengalami peningkatan.”
“Juga dalam catatan kami, pihak aparatur Negara yang paling banyak melakukan praktik baik adalah kepolisian. Ini menarik karena kepolisian yang paling banyak melakukan pelanggaran, tapi juga yang paling banyak melakukan praktik baik,” tutur Yenny.
Menurut Yenny, hal ini menunjukkan bahwa di berbagai daerah sebenarnya masyarakat masih memiliki dan mempertahankan modal sosial untuk menjaga keberagaman. Baik dengan modal kearifan lokal maupun Ormas keberagamaan moderat yang menjadi jangkar kebersamaan di Indonesia yang perannya sangat signifikan menjaga keberagaman.
Untuk menjaga dan meningkatkan rapor baik ini salah satu langkah Komnas HAM adalah memberikan apresiasi dan penghargaan kepada Kepala Daerah yang dianggap mampu mewujudkan pemerintahan yang menjaga KBB.
“Kita melihat beberapa Kepala Daerah itu mampu sebenarnya melakukan perlindungan itu. Meski dengan berbagai risikonya. Nah kita apresiasi itu, keberanian mereka mengambil risiko itu. Risiko tidak populer, risiko dukungan politiknya melemah, tapi mereka tetap menjalankan konstitusi secara tegak lurus dalam konteks KBB,” ujar Nurcholis dari Komnas HAM.
“Kami ingin secara tidak langsung memberikan contoh bahwa Kepala Daerah fungsinya dalam kaitannya dengan KBB itu seperti ini, dia harus hadir, dan pelindung bagi semuanya. Tak hanya untuk sebagian orang,” tambah Nurcholis, yang telah memberikan penghargaan kepada dua Kepala Daerah, yaitu Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi dan Walikota Kupang, Jonas Salean.
Rapor-rapor baik ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Sebagaimana kata pepatah, ketimbang memaki-maki kegelapan, lebih baik menyalakan lilin untuk menerangi kegelapan. (Muhammad/Yudhi)