Berita
Bias Jurnalisme Online?
Pesatnya kemajuan teknologi internet akhir-akhir ini berdampak pada makin meningkatnya kemudahan dan kecepatan akses informasi di dunia maya. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh banyak kalangan untuk berlomba menjajal peluang sebagai penyedia jasa layanan online dengan menawarkan kelebihan dari sisi kemudahan dan kecepatan akses atas berbagai kebutuhan informasi. Tak ayal keberadaan media online di Tanah Air dari waktu ke waktu kian menjamur dan menjadi pilihan utama pencari dan penikmat informasi. Karena jauh berbeda dengan era sebelumnya, saat ini sama sekali tak diperlukan waktu terlalu lama untuk tahu apa yang terjadi. Bukan lagi dalam hitungan menit apalagi jam, bahkan dalam hitungan detik pun mereka sudah dapat menerima update terkini beragam informasi dari berbagai belahan dunia.
Namun di sisi lain, kemudahan dan kecepatan akses informasi online dapat dikatakan memiliki jebakannya tersendiri. Apalagi bila keberadaan media online tersebut mesti dinilai dari sudut pandang jurnalistik. Pertanyaan sederhana untuk dijawab, apakah semua konten pemberitaan di semua media online atau website (baik pribadi maupun korporasi) dapat disebut sebagai karya jurnalistik yang validitasnya dapat dijamin 100%, ataukah sekadar berisi curhat atau ungkapan emosional penulisnya, dan tidak lebih dari itu?
Dihubungi tim Media ABI via telpon, Willy Pramudya Koordinator Divisi Etik dan Pengembangan Profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memaparkan, bahwa tidak semua konten situs berita itu termasuk dalam kategori karya jurnalistik. Walaupun mungkin dalam proses pengolahan informasi itu si penulis atau reporter berita telah menggunakan sebagian metodologi jurnalistik. Dalam hal ini Willy mengambil contoh aneka macam jenis “Infotainment,” program yang banyak diminati pemirsa TV namun hingga saat ini belum diakui sebagai produk jurnalistik oleh AJI.
Karena menurut Willy, “Sebuah berita baru dapat disebut sebagai karya jurnalistik apabila taat terhadap kode etik jurnalistik atau standar-standar jurnalistik. Sebaliknya apabila tidak memenuhi standar jurnalistik, maka risiko yang harus ditanggung adalah pada kebenarannya yang tidak terjamin. Kaidah serupa karenanya, juga berlaku bagi situs-situs online yang tidak memenuhi kaidah jurnalistik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tak jarang sebagian media online menyajikan konten berita yang hanya berisi sekumpulan isu, hujatan dan bahkan caci-maki. Itulah mengapa bagi AJI, media online semacam itu lebih layak disebut sebagai “Infotainment” semata daripada disebut sebagai karya jurnalistik.
Karena itu, untuk mengatur jurnalisme online, Dewan Pers telah membuat sebuah aturan yang disebut “Pedoman Pemberitaan Media Siber” (http://www.sindonews.com/kodeetik), yang menurut Willy Pramudya merupakan jawaban atas keresahan pihak pers dan kalangan jurnalis atas menjamurnya media online yang menyebut karya mereka sebagai karya jurnalistik, padahal sebagian besar darinya tak ubahnya hanya sebuah karya “Infotainment.”
Willy Pramudya menyimpulkan bahwa kepedulian masyarakat kita terhadap karya jurnalistik tergolong masih rendah. Akibatnya masyarakat sulit membedakan mana yang merupakan karya jurnalistik dan mana yang bukan. Karena itulah masyarakat Indonesia, sadar atau tidak, akan sering dirugikan oleh munculnya berbagai macam produk informasi yang mengklaim sebagai karya jurnalistik, meskipun pada kenyataannya bukan karya jurnalistik.
Sementara itu Hertasning Ichlas, dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta menjelaskan bahwa jurnalistik online saat ini seringkali tidak menaati kaidah keberimbangan pemberitaan secara cover both side, selain masalah koherensi pemberitaan yang sebenarnya tak kalah penting namun terkadang malah dilupakan.
Belum lagi fenomena yang berkembang luas di media online berupa tabiat umum yang cenderung lebih mengarah pada jurnalisme perang ketimbang jurnalisme damai. Karena itu Hertasning Ichlas berpendapat sudah waktunya Dewan Pers bertindak tegas atas fenomena ini. Apabila tidak segera ditindak, maka lambat laun kita akan kehilangan apa yang sebenarnya dapat disebut sebagai jurnalisme itu sendiri.
Tak dapat dipungkiri bahwa sejak maraknya jurnalisme online yang instan ini, pemilik media tidak lagi memperhitungkan bagaimana wartawan itu sebenarnya harus di-training, di sekolahkan, dan terlebih dahulu diberikan bekal kecakapan jurnalistik yang memadai. Karena begitu banyaknya pesan ideologi yang ingin mereka sampaikan, akhirnya semua pihak serba terburu-buru untuk menyampaikan pesan masing-masing dan karya seperti itulah yang pada akhirnya, dan sayangnya, mereka beri label sebagai karya jurnalistik.
Sejalan dengan apa yang disampaikan Willy Pramudya, Hertasning Ichlas menengarai tentang masih banyaknya kesalahpahaman masyarakat kita dalam menilai produk jurnalistik. Parahnya, kondisi semacam ini tetap saja dibiarkan. Padahal sesungguhnya masih ada jalan lain untuk memperbaiki keadaan itu. Yaitu dengan jalan mengubah salah kaprah yang selama ini terlanjur dilakukan media online, dengan cara mengembalikannya pada aturan dan kaidah hukum jurnalistik. Hanya dengan cara itu karya jurnalistik yang sesungguhnya akan bisa terus dijaga dan diperbaiki. (ABI/LAB)