Berita
Pengaruh Revolusi Islam Iran Terhadap Upaya Penegakan Syariat di Dunia Islam
Diakui atau tidak, ada keinginan umat Islam untuk menegakkan syariat Islam di tengah gempuran pengaruh liberalisasi dan sekularisasi yang semakin hari semakin menguat. Aspirasi umat Islam agar nilai-nlai keislaman mendapat posisi penting kian hari kian besar.
Berikut penjelasan Dr. Ali Munhanif, Ketua Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai hal ini.
Belakangan ini gairah menegakkan syariat di kalangan umat Islam makin menguat di berbagai dunia Muslim. Apa sebenarnya pemantiknya?
“Pemantiknya adalah keberhasilan Revolusi Islam Iran tahun 1979. Ketika dunia terserap dalam wacana politik yang sifatnya sekuler, Iran justru muncul dengan sebuah revolusi yang berideologi agama. Revolusi ini menjungkirbalikkan semua wacana, ideologi, tatatan, dan pola kerja pemerintahan di dunia saat itu. Hampir semua masyarakat dunia saat itu terbingkai dalam cara pandang sekuler. Tapi Revolusi Islam Iran muncul dalam fenomena yang sangat ideologis, khususnya agama.”
“Kita melihat bagaimana kemudian Iran melakukan revolusi dengan ideologi agama dan bagaimana hasil akhir revolusi itu mengemuka dalam bentuk pemerintahan yang sama sekali baru. Bukan sekuler. Dan boleh jadi sekarang hampir semua negara di dunia Islam ingin menirunya. Yakni kelembagaan apa yang disebut Wilayatul Faqih.”
Mengapa banyak Negara Islam yang lain ingin menirunya?
“Dengan pola yang berbeda-beda, dunia Islam sebenarnya sejak pertengahan abad 20 mulai mendambakan apa yang disebut sebagai keinginan menerapkan syariah Islam. Tapi embrio tentang syariah seringkali hanya diformulasikan dalam bentuk konstitusi Islam, misalnya bahwa negara harus berdasarkan Alquran dan Hadis. Di Indonesia misalnya perdebatan mengenai Piagam Jakarta masih segar dalam ingatan kita. Yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjelaskan syariat Islam bagi pemeluknya menjadi semacam norma sosial dan politik yang betul-betul diinginkan atau didambakan dalam bentuk negara baru. Tapi bentuknya bagaimana, tidak jelas. Tidak pernah jelas.”
“Yang paling akhir tentu saja peristiwa Arab Spring. Di Mesir, Tunisia, Libya, Bahrain, Yaman dan Suriah, keinginan menjadikan syariat sebagai platform kenegaraaan, pola-pola tatacara kerja negara itu kuat sekali. Kemenangan Ikhwanul Muslimin di Mesir cukup membantu untuk menjadikan syariat Islam sebagai arus utama dari tata negara secara baru. Tapi masalahnya adalah banyaknya aktor-aktor di Mesir yang tidak siap. Akhirnya hanya dalam usia tiga tahun, konstitusi Mesir yang sangat Islamik itu lalu kemudian dibubarkan dan dikudeta. Indonesia sudah mulai mengarah ke sana, tapi hanya Aceh yang secara eksklusif menerapkan syariat Islam dengan munculnya qanun al-jinayah yang diterapkan. Tapi negara lain masih mencari, ada perda syariah, ada perda agama, dan lainnya.”
“Nah, Iran menjadi lain di sini. Dugaan saya, sejak Revolusi Islam Iran dengan konsep Wilayatul Faqihnya itu, tampaknya Iran menjadi semacam model dari berbagai perubahan-perubahan politik di dunia Islam yang terus semakin dekat pada pusat usaha menerapkan syariah.”
Mengapa konsep Wilayatul Faqih Iran ini menarik dan dijadikan sebagai model di dunia Islam lain?
“Untuk menjawab itu kita mesti bicara dari mana sebenarnya datangnya Wilayatul Faqih? Wilayat adalah sebuah dewan perwakilan, sedang Al-Faqih itu jurist, orang-orang yang mempunyai otoritas menafsirkan agama. Konsep Wilayatul Faqih sendiri genuine diciptakan oleh Imam Khomeini. Seorang tokoh yang memiliki pengetahuan agama tapi juga memiliki kepedulian besar pada politik di dunia Iran saat itu.”
“Prinsipnya adalah, Revolusi Islam ini didorong oleh semangat untuk merespon secara keras gejala sekularisasi yang sangat kuat saat itu. Kita ingat, Syah Iran adalah rezim yang didukung penuh oleh CIA Amerika dan juga Inggris, dengan sendirinya kebijakan politiknya sangat sekuler. Ulama kemudian dipinggirkan dengan kebijakan publik meski pun ulama sudah lama menjadi institusi sosial yang sangat kuat yang terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan. Kira-kira di Indonesia semacam NU lah.”
“Dalam contoh NU, ada wilayah-wilayah yag memang ulama menjadi de facto, menjadi power itu sendiri dibanding Kecamatan atau Kabupaten. Kita tahu persis bahwa Bupati lebih takut pada Kiai ketimbang Presiden. Kenapa? Karena ulama menjadi semacam institusi sosial yang menopang sebuah roda pemerintahan. Di Iran juga begitu.”
“Kalau mengunjungi Iran atau Qum misalnya, Anda akan melihat ulama begitu otonom, begitu independen dari pengaruh-pengaruh pemerintah. Itu berarti bahwa dalam proses revolusi waktu itu setidaknya kekuatan riil dari gerakan revolusi tidak hanya karena organisasinya tapi juga ulamanya. Outcome atau hasil revolusi dengan sendirinya dirumuskan oleh para ulama yang terlibat langsung dari atas, misalnya Imam Khomeini, Muthahhari, Montazeri, kemudian beberapa tokoh yang syahid misalnya, sampai yang paling bawah, itu menjadi semacam leader terpenting dari revolusi itu.”
“Di situlah sebenarnya ketika konstitusi baru dirumuskan, Imam Khomeini memiliki pandangan yang sangat unik mengenai apa yang disebut sovereignity, kedaulatan. Kedaulatan tentu saja kalau kita menengok pada konstitusi di dunia sekuler, kedaulatan ada di tangan rakyat. Tapi Imam Khomeini memiliki pandangan yang sangat menarik, bahwa kedaulatan rakyat dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Itu yang saya kira baru. Baru dalam pengertian, ketika nasionalisme dan sekularisme merajalela di semua negara Islam, Gamal Abdul Nasser di Mesir, Muhammad Ali Jinnah di Pakistan, Soekarno di Indonesia, semua sekuler. Imam Khomeini menawarkan satu konsep yang relatif merespon, atau setidaknya mengimbangi gejala-gejala sekularisme tadi dengan mengatakan, ‘kedaulatan rakyat dibatasi kedaulatan Tuhan.’”
“Kita lihat konstitusi Iran dalam preambule, pembukaan UU-nya mendasarkan kedaulatan mutlak di tangan Allah SWT, hanya Tuhanlah yang menetapkan tanggungjawab atas martabat di dunia. Jadi memang bingkai atau frame bagaimana memandang politik negara baru saat itu hampir semua orang atau tokoh-tokoh dunia jatuh pada pandangan yang sangat liberal. Liberal itu adalah satu pandangan bahwa manusia itu sama. Sehingga dalam konstitusi, semua orang memiliki pandangan satu, di depan hukum sama, tak ada satu orang atau lembaga yang bisa menafsirkan keadilan, kebaikan kecuali bersama-sama (secara demokratis). “
“Tapi Imam Khomeini memandang lain, bahwa keadilan sudah ada, melalui wahyu-Nya, kebaikan sudah ada konsep-konsepnya dalam Firman-Nya, dan hanya orang yang dipahami sebagai Al-Faqih, yang terlembaga dalam Wilayatul Faqih itulah yang akhirnya bisa menerjemahkan apa keadilan yang digambarkan oleh Tuhan tadi. Di Iran ada parlemen, tapi begitu dia melanggar nilai-nilai agama, menyimpang dari ikatan Negara untuk menerjemahkan aspek agama dalam kebijakan publik, maka Wali Faqih akan turun tangan.”
Jadi bisa dibilang Wilayatul Faqih itu merupakan sistem pelindung nilai-nilai keislaman?
“Ya. Di situlah sebenarnya kalau saya boleh bayangkan Wali Faqih di sana adalah penjaga gawang moral Islam yang terlibat dalam kebijakan publik tadi. DPR atau Parlemen bisa sahkan bahwa LGBT halal, UU bisa dibuat begitu karena pengaruh liberal. Tapi begitu itu terjadi maka Wali Faqih punya hak veto tentang hal tadi. Di situlah yang saya bayangkan sebagai pelembagaan Revolusi Islam, ideologi Islam ke dalam tatanan baru pemerintahan di Iran. Pada pasal 6 dan 8 misalnya dalam konstitusi Iran, urusan negara harus didasarkan atau berdasarkan kepentingan masyarakat. Mirip demokrasi kita. Tapi pada saat yang sama Al-Faqih atau dewan pelindung yang tanpa dipilih diberi wewenang untuk memberi mandat calon Presiden. Jadi kekuatan eksekutif pun sangat terbatas.”
“Tapi yang ingin saya gambarkan adalah, Iran adalah sebuah model pelembagaan baru dimana agama menempati posisi paling penting dalam proses kebijakan politik sebuah negara. Suatu impian yang sudah lama didambakan di dunia Islam untuk mengkombinasikan, kalau pun saya tak ingin mengatakan mencari jalan tengah, antara nasionalisme dan Islam. Seperti kita memperjuangkan antara Piagam Jakarta itu ya atau tidak, tapi ujung-ujungnya kita ingin, secara pribadi, baik masyarakat, maupun politisi, ya Islam terlibat lah dalam kebijakan publik. Kalau DPR sampai tak bisa mengesahkan UU pornografi misalnya, kita gimana? Masak kita diam saja? Kan Islam itu misinya ingin beri pakaian manusia? Ini dilematif.”
Menurut Anda, apakah ‘jalan tengah’ yang diambil Iran akan ditiru dunia Islam lainnya?
“Apa outcome Revolusi Islam Iran yang selama ini sudah menggejala di semua gerakan Islam termasuk di Timteng? Dugaan saya adalah bahwa pada dasarnya kebijakan publik bersifat impersonal, jadi tak ada sebuah lembaga atau tokoh yang mempunyai otoritas khusus bahwa agama menjadi bagian dari kebijakan itu. Tetapi pada dasarnya, melihat perkembangan-perkembangan yang sekarang ini ada di dunia Islam, khususnya dalam hal kekuatan riil masyarakat dimana ulama menjadi bagian dari itu, saya menduga bahwa tampaknya jalan tengah yang diambil oelh Iran akan muncul juga, akan diupayakan di dunia Islam yang lain, termasuk di dunia Sunni.”
“Saat ini kita tak bisa mengabaikan fakta-fakta bahwa peran partai Islam di Indonesia atau di Mesir misalnya, bahwa Islam ingin masuk ke dalam kebijakan-kebijakan publik secara lebih riil, secara lebih nyata. Harapannya adalah agar efek-efek negatif dari liberalisme dan sekulerisme itu bisa diminimalisir. Saya tak ingin mengatakan dihilangkan karena hampir sekarang ini satu dari sekian orang sudah punya pandangan yang relatif liberal karena transformasi pendidikan, urbanisasi, dan seterusnya. Di situlah tampaknya Iran akan terus-menerus menjadi model dari upaya untuk mengkombinasikan dari agama dan kebijakan publik yang sifatnya sekuler. Hanya bentuk kelembagaaan itu yang saya kira akan berbeda-beda.”
Bagaimana dengan Indonesia?
“Saya kira itulah yang terjadi. Saat ini dunia Islam memang sedang mencari format yang pas untuk melibatkan aspek-aspek agama dalam kepentingan perumusan kebijakan publik. Jadi aspek moral Islam betul-betul mengemuka dari semua arus perubahan. Dan saya kira ini tak boleh diabaikan oleh pemerintah-pemerintah sekuler dimana pun. Termasuk Indonesia.”
“Di situ sebenarnya saya termasuk orang yang kritis terhadap upaya penegakan syariat Islam dalam perda-perda syariah, tapi pada dasarnya yang harus kita cari adalah format yang kira-kria mewakili sebuah arus penerapan hukum yang bisa mengatur kehidupan dan kemasyarakatan publik yang tidak bertahan dengan konstitusi tapi juga menyuarakan kepentingan moral islam itu. Di situlah sebenarnya kita saat ini sedang menuju ke arah sana. “
“Kita sedang dalam proses pencarian dan penggalian menuju ditemukannya format-format kelembagaan penerapan syariah itu. Jadi di ruang publik semestinya juga diberi ruang, diberi keempatan bagaimana pesan-pesan Islam mengejawantah dalam kehidupan ini. Tidak hanya sekadar dalam masalah-masalah ekonomi, tapi juga kemaslahatan publik yang kira-kira sesuai dengan pesan-pesan moral Islam tadi itu.”
“Di situlah Iran berperan sebagai pionir dalam hal semangat untuk menjadikan pesan moral agama masuk ke dalam konstitusi dan lalu kelembagaannya dalam bentuk Wilayatul Faqih dan Marja, tradisi-tradisi keulamaan di tingkat daerah dan seterusnya. Tapi itu tak mungkin diterapkan di Indonesia, karena konstitusi kita sudah terlanjur sepakat sebagai bagian cita-cita para Founding Father, bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara.”
“Tetapi desakan untuk menjadikan Islam sebagai bagian dari proses kebijakan kan kuat sekali. Nah ini kalau diabaikan kan salah juga. Akan terjadi gejolak yang luar biasa. Karena de facto ulama juga mempunyai kekuatan politik yang sangat riil di tingkat demokrasi kita. Di situ saya kira harus diutamakan sebuah alternatif yang menjadi kerja bersama antara kelompok-kelompok yang sifatnya nasionalis sekuler dan kelompok-kelompok yang punya perhatian atas pesan Islam di dalam kebijakan tadi itu. Kalau kelembagaannya perda syariah saat ini belum kita anggap sebagai final, tapi tetap saja harus diupayakan, bagaimana ini masa depannya, dan seterusnya.”(Muhammad/Yudhi)