Berita
Lima Tahun Revolusi Bahrain Tetap Menjadi Revolusi Terlupakan
Hari ini (14/2), lima tahun yang lalu, ribuan masyarakat Bahrain terinspirasi oleh revolusi yang terjadi di Mesir dan Tunisia, turun ke jalan di ibukota Manama. Hari itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan “Day of Rage”.
Demonstrasi damai rakyat Bahrain ternyata dijawab dengan pembunuhan oleh pemerintahan Al-Khalifa, diawali terbunuhnya Ali Mushaima yang tewas malam hari setelah “Day of Rage”, demonstrasi tiga hari setelah itu dihadang tembakan peluru tajam oleh kepolisian Bahrain. Begitu juga dengan demonstrasi-demonstrasi selanjutnya yang selalu berakhir pembantaian oleh pihak pemerintah terhadap rakyat Bahrain.
Kini, lima tahun telah berlalu, Revolusi Bahrain tetap terlupakan oleh dunia. Kematian-kematian, penangkapan-penangkapan, dan penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan permerintah Bahrain terhadap rakyatnya dipandang sebelah mata dan sepi pemberitaan di media-media massa.
Americans for Democracy & Human Rights in Bahrain (ADHRB), The Bahrain Center for Human Rights (BCHR), dan Bahrain Institute for Right and Democracy (BIRD), mencatat dalam jangka waktu 4 bulan, dari September hingga Desember di tahun 2015 saja, pemerintah Bahrain telah melakukan penangkapan 421 warga, dengan rata-rata 105 penangkapan per bulan. Jika rata-rata sebulan terjadi 105 penangkapan, berapa banyak aktivis dan rakyat Bahrain yang telah ditangkap selama 5 tahun ini?
Tak ada yang berubah dengan Bahrain, tak ada Kepala Negara yang meneriaki Al-Khalifa sebagai “diktaktor” dan harus turun dari jabatannya seperti yang diteriakkan oleh para pejabat negara kepada Presiden Suriah Bashar Al-Assad. Semuanya diam dan Revolusi Bahrain benar-benar terlupakan, seolah tak pernah terjadi.
Intervensi Asing
Sebulan setelah “Day of Rage”, tepatnya 14 Maret 2011, Pemerintah Bahrain meminta bantuan kekuatan polisi dan militer dari kelompok negara Teluk yang direspon cepat oleh Arab Saudi dengan mengirimkan 1.000 pasukannya, ditambah dengan 500 pasukan dari Uni Emirat Arab. Kemudian Al-Khalifa mengeluarkan aturan negara dalam kondisi darurat selama tiga bulan. Alun-alun Manama, yang menjadi titik aksi demonstran kemudian dibersihkan dari para demonstran dengan jalan kekerasan, bahkan ikon Manama yang ada di alun-alun dihancurkan.
Tak cukup dengan bantuanpasukan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, pemerintah Bahrain juga menyewa para tentara bayaran untuk menghentikan demonstrasi rakyat yang menuntut sistem demokrasi di negaranya. Ironisnya, pemerntah Bahrain malah menuduh gerakan yang dilakukan rakyat Bahrain sebagai upaya negara asing untuk mengganggu pemerintahan Bahrain.
Langkah dramatis pemerintah Bahrain pun kemudian dilakukan dengan menawarkan sejumlah naturalisasi bagi sejumlah warga asing dari kawasan Teluk untuk dapat menjadi warganegara Bahrain dengan sejumlah iming-iming menggiurkan dari pemerintah Al-Khalifa. Sebagai imbalannya mereka harus loyal dan patuh terhadap pemerintahan Bahrain yang saat ini berkuasa.
Isu Sektarian
Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah Bahrain untuk menghentikan revolusi yang dituntut oleh rakyatnya. Seperti halnya yang terjadi di Suriah, isu sektarian terkait Sunni-Syiah juga diterapkan oleh pemerintah Bahrain untuk memecah belah revolusi dan juga memecah belah dukungan masyarakat dunia terhadap revolusi yang diperjuangkan oleh rakyat Bahrain.
Pemerintah Bahrain menuduh bahwa mereka yang melakukan revolusi adalah dari Mazhab Syiah dan Al-Khalifa yang berkuasa memposisikan dirinya sebagai representasi dari kalangan Sunni. Dari situ pemerintahan Al-Khalifah ingin membentuk opini bahwa yang terjadi di Bahrain adalah revolusi Syiah terhadap pemerintahan Sunni.
Namun fakta berkata lain, pemerintah Al-Khalifa ternyata juga menangkap dan memenjarakan salah seorang pemimpin oposisi, Ibrahim Sharif, Sekjen National Democratic Action Society (Wa’ad) yang merupakan aktivis Sunni, selama 4 tahun sejak revolusi terjadi. Bahkan karena keteguhannya membela perubahan dan kritiknya terhadap pemerintahan Al-Khalifa, pada tahun 2015 lalu dia mendapat dakwaan yang sama.
Saat ini, setelah lima tahun berlalu, tidak ada perubahan yang signifikan di Bahrain. Penguasa di sana masih tetap menggunakan cara-cara kekerasan dan penyikasaan terhadap siapa saja yang mengkritik pemerintah. Kekuatan militer dan peluru tajam menjadi jawaban bagi rakyat Bahrain yang menginginkan demokrasi.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh James Lynch, Deputi Direktur Middle East and North Africa Programme at Amnesty International dalam laman Website Amnesty Internasional.
“Lima tahun sejak Revolusi, penyiksaan, penangkapan dan penyerangan terhadap aktivis perdamaian oleh pemerintah terus dilakukan. Hari ini di Bahrain, siapa saja yang melakukan kritik kepada pemerintah akan mendapatkan hukuman,” ujar James.
Setelah lima tahun berlangsung, Revolusi Bahrain tetap saja menjadi Revolusi yang terlupakan (Forgotten Revolution). Entah butuh berapa lama lagi perjuangan harus ditempuh rakyat Bahrain untuk memperjuangkan demokrasi. Entah apa lagi yang harus dilakukan rakyat Bahrain untuk mendapatkan dukungan masyarakat dunia demi medapatkan hak-hak mereka sebagai warganegara.
Akankah tahun depan Revolusi Bahrain tetap menjadi revolusi yang terlupakan? (Lutfi/Yudhi)