Berita
Ironi dan Kejanggalan Proyek Waduk Jatigede
Waduk Jatigede telah diresmikan dan digenangi air meski tanpa dihadiri Presiden Jokowi. Ribuan hektar sawah, rumah dan situs-situs budaya Sunda kini telah dan akan tenggelam tanpa bisa dihentikan. Masyarakat pun sekarang masih banyak yang tak mendapatkan ganti rugi yang layak. Dan banyak lagi masalah lain yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Hal ini terungkap dalam acara pemutaran film karya Team WatchDoc dan diskusi bertema Kejahatan Kemanusiaan di Jatigede yang digelar di Guntur 49, Jakarta, Jumat (12/2).
“Ada banyak ironi di proyek waduk Jatigede yang tak diekspos media mainstream,” ujar Ari Trismana dari WatchDoc.
“Misal soal relokasi dan ganti rugi yang belum selesai hingga hari ini. Pemerintah selalu berdalih kebijakan tak bisa memuaskan setiap orang, tapi ironisnya itu hanya diucapkan kepada rakyat kecil, tak pernah dikatakan di depan korporasi. Ini jelas konyol,” kritik Ari.
Asep Kabayan, aktivis Save Jatigede menyebutkan sejak awal proyek Waduk Jatigede ini sebenarnya tidak layak. Dan berkali-kali dilawan masyarakat tapi gagal. Di era Jokowi ini mereka mengaku kecolongan sehingga proyek Waduk ini tetap berjalan.
“Sudah 50 tahun rakyat melawan proyek waduk ini, sebenarnya. Tahun 1084-1986 waktu pembebasan tanah pertama rakyat melawan sengit. Tahun 2008 juga saat ada groundbreaking warga camping seminggu, menolak. Dan sekarang sudah diresmikan,” ujar Asep.
“Adalah ironi membangun bendungan penampung air tapi sumber airnya sendiri (hutan) dibabat. Juga menghancurkan lahan tani yang menghasilkan 300.000 ton per tahun atas alasan demi mengairi sawah. Belum dengan hancurnya 25 situs yang merupakan cikal bakal Sumedang itu sendiri,” tambah Asep.
Banyaknya kejanggalan ini menurut Ahmad Taufik, wartawan senior Tempo, menunjukkan bahwa sebenarnya Waduk Jatigede bukanlah proyek kerakyatan, tapi proyek untuk kapitalis.
“Kalau dilihat ini sebenarnya hanya untuk kepentingan strategis industri. Di sekitar situ kan ada pabrik, bandara yang butuh air, butuh listrik. Jadi bohong jika untuk rakyat,” kritik Taufik.
“Jelas di sini kita melihat ada kesalahan pembangunan yang telah dilakukan Jokowi. Sekarang kan trend dunia ini slow development, pembangunan yang tak merusak alam, tak merusak hayati agar bisa menjaga ketahanan pangan. Bagaimana bisa menjaga ketahanan pangan kalau ternyata lahannya malah dirusak?” ujar Taufik.
Ari dari WatchDoc dalam diskusi ini mengaku mendapatkan banyak masukan konstruktif dan berencana akan membuat film dokumenter yang lebih lengkap agar bisa menjadi alat penyadaran dan perlawanan masyarakat ke depan.
“Kita akan kolaborasi dengan teman-teman aktivis Jatigede untuk memperkaya film ini agar bisa jadi alat penyadaran ke amsyarakat,” ujar Ari.
“Kita memang tak bisa lagi mencegah Jatigede tidak tenggelam, itu sudah terjadi. Tapi ini bisa jadi pembelajaran, apalagi pemerintah rencannya mau bikin 52 waduk baru. Kami yakin persoalan yang akan dihadapi masyarkat pasti sama,” tandas Ari.
Pembangunan adalah hal yang dibutuhkan masyarakat. Tapi pembangunan yang acuh pada budaya, kelestarian alam, dan peradaban, hanya fokus pada nilai-nilai kapital justru akan sangat merusak bangsa ini di masa depan. (Muhammad/Yudhi)