Berita
AMP Tolak Militerisme di Papua Barat
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jakarta menggelar diskusi di LBH Jakarta bertema “Ancaman Militerisme Indonesia Terhadap Rakyat Papua Barat” Kamis (11/2), diikuti beberapa mahasiswa Papua dan anggota LBH Jakarta.
Ketua Pengurus AMP Komite Kota Jakarta, Frans Nawipa mengatakan, sejak digelarnya berbagai operasi militer tahun 1961, banyak pelanggaran HAM terjadi di sana.
Presiden Soekarno saat itu mengeluarkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang isinya:
1.Gagalkan pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Kolonial Belanda
2.Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3.Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Tahun 1962 Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres Operasi Militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda di bawah komando Mayjen Soeharto.
“Ternyata keadaan rakyat Papua saat itu sangat genting. Rakyat Papua tidak bisa beraktivitas secara produktif (untuk menghidupi kebutuhannya),” kata Frans.
Awal Desember 2015 lalu, terjadi pembubaran paksa aksi mahasiswa Papua yang tergabung dalam gerakan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Jakarta sekaligus penangkapan 306 Mahasiswa Papua oleh Kapolda Metro Jaya. Pada 19 Desember 2015 saat AMP menyikapi Trikora (Tri Komando Rakyat) secara tiba-tiba dibubarkan paksa dan 23 orang dari massa aksi yang tergabung dalam AMP kembali ditangkap.
Selain itu, banyak kewenangan militer digunakan justru untuk melindungi korporasi asing seperti Freeport. Bahkan hingga saat ini pengiriman personil militer dianggap cenderung bertambah besar, menandakan struktur yang hendak dibangun adalah struktur militer. Hal ini dianggap timpang jika dibandingkan dengan program pemerintah untuk pengiriman guru, dokter dan SDM profesional untuk kebutuhan mendasar lainnya.
“Selama militerisme masih dipraktikkan di Tanah Papua, selama itu juga demokrasi di Tanah Papua tidak akan terwujud. Justru yang tercipta adalah kekerasan demi kekerasan yang akan terus melahirkan pelanggaran HAM dan ketidakadilan,” papar Frans. (Malik/Yudhi)