Berita
Kondisi Pertelevisian Indonesia di Hari TV Sedunia
Saat ini pesawat TV sudah bukan lagi termasuk barang mewah dan langka, sehingga keberadaannya dapat ditemui hampir di setiap rumah di Indonesia.
Beragam update berita terkini dan aneka program hiburan yang ditayangkan 24 jam non-stop oleh berbagai stasiun TV, tak dapat dipungkiri memang mampu mengalahkan era keemasan layar tancap yang pada dekade ’90-an sempat menjadi salah satu alternatif media hiburan idola di tengah masyarakat kita. Terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok desa.
Begitulah kehadiran TV di tiap rumah, secara signifikan mampu menggantikan peran bioskop dan layar tancap di tengah masyarakat kita. Namun seberapa banyak diantara pemilik TV tersebut yang mengetahui bahwa hari ini, 20 November adalah Hari Televisi Sedunia?
Lima belas tahun lalu, tepatnya 20 November 1998, Majelis Umum PBB mengesahkan 20 November sebagai Hari Televisi Sedunia. Meskipun masih ada 11 negara yang menyatakan abstain dalam pengambilan keputusan pada saat itu dengan alasan sudah ada Hari Pers Sedunia, Hari Telekomunikasi Sedunia dan Hari Pengembangan Informasi Sedunia. Sementara jika harus ada lagi Hari Televisi Sedunia, mereka anggap hal itu hanya akan menjadi milik para orang kaya saja.
Namun setelah 15 tahun berlalu, masih relevankah anggapan 11 negara yang menyatakan abstain atas keputusan Hari Televisi Sedunia itu? Lalu bagaimana pula kondisi pertelevisian kita di Indonesia saat ini?
Untuk itu, bertepatan dengan momen Hari Televisi Sedunia saat ini, Tim Media ABI coba meminta pandangan Roselina, Koordinator Divisi Advokasi dan Kampanye Remotivi, sebuah LSM yang selama ini dikenal memiliki kepedulian terhadap dunia pertelevisian di Indonesia.
“Harus diakui, kondisi pertelevisian kita saat ini, secara umum menghawatirkan,” tegas Roselina.
“Saat ini kita tahu beberapa korporasi dan kepemilikan media televisi sudah didominasi oleh beberapa politisi dan pengusaha. Akibatnya, dalam sejumlah konten siaran pun kalo tidak terselip kampaye terselubung maka akan kerapkali kita dapati sejumlah konten non berita yang berisi tayangan hiburan kurang mendidik karena hanya mempertimbangkan keuntungan sepihak pemilik modal dengan semata-mata mengekor selera pasar,” lanjutnya.
Selain itu masih ada hal lain yang menurut Roselina lebih menghawatirkan.
“Masih sangat jarang masyarakat kita yang memahami bahwa frekwensi yang digunakan stasiun-stasiun TV itu merupakan frekwensi milik publik, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik. Bukan sekadar dipakai untuk kepentingan korporasi pemilik media TV atau golongan tertentu saja.”
Hasil survei Remotivi tahun 2011 terkait pengetahuan publik tentang “Sipakah pemilik frekwensi yang digunakan untuk siaran televisi?,” menunjukkan dari 57% koresponden menjawab bahwa frekwensi itu adalah milik korporasi, dan hanya 8% koresponden yang menjawab bahwa frekwensi itu merupakan milik publik. Sehingga lazim dipahami bahwa hubungan antara pemilik siaran TV dengan publik itu ibarat hubungan produsen dan konsumen semata. Tak heran bila pada akhirnya publik hanya dipakai sebagai alat ukur untuk mengetahui tinggi-rendahnya angka rating bagi pemilik siaran TV. Dengan alasan itu pemilik siaran TV menganggap bahwa tingginya rating sebuah program dapat serta-merta dijadikan patokan akurat yang mencerminkan keinginan dan kegemaran publik. Sehingga pemilik siaran televisi pun secara gegabah menempatkan aspek moral, pendidikan, sosial dan sebagainya jauh di bawah aspek rating.
Karena itu lebih lanjut Roselina menjelaskan bahwa untuk saat ini solusi terbaik bagi dunia pertelevisian kita adalah dengan mendukung tiap upaya yang digagas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Misalnya upaya KPI belakangan ini yang tengah menyiapkan draft “Peraturan Pemanfaatan Lembaga Penyiaran untuk Kepentingan Politik” dan dengan kompak ternyata draft tersebut ditolak oleh para pemilik siaran televisi.
Sementara itu Direktur YLBH Universalia, Hertasning Ichlas saat dihubungi via telepon menjelaskan bahwa kondisi pertelevisian Indonesia saat ini adalah cerminan dari wajah negara kita. Menurutnya tayangan televisi saat ini lebih banyak mengumbar program yang menguntungkan kepentingan individu (dalam hal ini pemilik modal; politisi, pengusaha) dan sudah sekian lama abai terhadap kepentingan publik. Di sisi lain tak dapat disangkal juga bahwa dunia pertelevisian Indonesia saat ini secara umum seringkali mendapatkan serangan berupa tarikan kepentingan individu atau kepentingan pasar yang sangat dominan.
“Dalam hal ini negara selaku pihak yang berwenang mewakili kepentingan publik dan mengontrol frekwensi publik, harus mengatur dengan benar bagaimana penggunaan frekwensi publik tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Harus disadari semua pihak, terutama pengusaha atau pemilik modal tiap stasiun TV bahwa faktanya, frekwensi publik yang ada saat ini sangat terbatas. Tanpa frekwensi publik, maka para pemilik stasiun TV itu tak lebih hanya akan menjadi sebuah Production House besar namun tak akan bisa berbuat apa-apa,” paparnya lebih jauh.
Masih menurut Direktur YLBH Universalia, sesungguhnya masalah paling mendasarnya justru terletak pada pola pikir. Saat ini kebanyakan dari kita sudah tidak mengenal lagi mana yang merupakan kepentingan publik dan mana yang merupakan kepentingan pribadi. Peran televisi saat ini terbalik 180 derajat, dari peran yang seharusnya mencerdaskan publik tapi malah membodohi publik.
Terhadap anggapan yang menyebutkan bahwa rating televisi merupakan cerminan keinginan publik, Hertasning Ichlas menegaskan bahwa selera publik itu dibentuk oleh pasar dan bukan sebaliknya. Dia mencontohkan, andai saja terdapat beragam alternatif tontonan TV berkualitas dan mendidik maka akan ada pandangan yang baru tentang tontonan tersebut oleh publik. Sayangnya, karena ternyata memang tidak banyak alternatif tayangan yang dapat dijadikan sebuah pilihan, selain yang selama ini ada dan bersifat monoton, maka itulah yang pada akhirnya terpaksa dikonsumsi publik dan kemudian dianggap sebagai jenis tayangan yang disukai publik.
Maka dari itu menurut Hertasning Ichlas, tantangan produser televisi saat ini adalah membuat konten yang bernilai penting bagi publik menjadi tontonan yang menarik dan bukan sebaliknya, hanya tontonan menarik padahal sebenarnya tidak bernilai penting.
“Apabila produser televisi mampu membuat konten yang penting bagi publik menjadi menarik, maka fungsi televisi untuk mencerdaskan bangsa akan terwujud,” tegasnya di akhir wawancara. (ABI/LAB)