Berita
Tradisionalitas dan Modernitas
Jayabaya ratusan tahun lalu telah mengingatkan dalam ramalannya, bahwa ‘sak semongso-mongso wong Jowo bakal kari separo’ (suatu saat nanti orang Jawa akan tinggal separuh).
Bukan jumlah secara kuantitas, tetapi orang Jawa mulai banyak yang melupakan ajaran leluhurnya sendiri.
Dan ini tak hanya terjadi pada kaum Jawa. Semakin hari kita lihat identitas dan kearifan lokal-tradisional Nusantara semakin hilang digerus modernitas yang digadang-gadang superior. Mengejek tradisionalitas seolah terbelakang, dianggap kuno, tidak maju dan pejoratif-pejoratif lainnya.
Namun benarkah bahwa modernitas itu superior jika dibandingkan nilai-nilai tradisionalitas dan kearifan lokal budaya asli kita?
Sastrow Ngatawi, Budayawan, mantan Ketua PP Lesbumi NU membantah hal ini.
Berikut penjelasannya saat diskusi di Wahid Institute.
Ada pandangan bahwa nilai tradisionalitas itu lebih terbelakang, kuno dan inferior dari modernitas, bagaimana pendapat Anda?
“Iya, selama ini orang berpikiran bahwa modern dan tradisional itu benturan. Tesa dan antitesa. Kalau Anda ingin jadi orang hebat, jadilah orang modern. Jangan jadi orang tradisional. Kalau Anda masih berpegang tradisi, jadi orang tradisional Anda gak bisa jadi orang modern atau hebat. Selama ini begitu. Hubungannya konfrontatif-kontradiktif, dan modernitas menempati posisi superioritas, tradisionalitas menjadi inferioritas. Selama ini begitu.”
“Sehingga atas kampanye kehebatan modernitas ini, kaum tradisional tersingkir, karena tak mampu melawan. Dan kedua terserap, sehingga merelakan diri untuk meninggalkan seluruh atribut tradisionalitasnya dan berbondong-bondong masuk menjadi orang modern dengan ciri orang rasional itu. Gus Dur tidak, dengan lakunya tanpa berkata ia ngomong, tradisionalitas itu baik, modernitas itu baru separoh dari kehidupan. Yang separuh itu adalah ada di tradisionalitas, yang kuncinya adalah spiritualitas.”
Jadi tradisionalitas dan modernitas itu saling melengkapi?
“Iya. Gus Dur tidak memposisikan tradisionalitas dan modernitas itu secara vis a vis. Secara diametral, kemudian membentukannya, membentuk hubungan tesa-antitesa. Sehingga hubungan antara modernitas dan rasionalitas itu bagi Gus Dur didudukkan sejajar. Kemudian dibentuk hubungan yang komplementer, bukan kontradiktif.”
“Makanya Gus Dur habis ngomong ndakik-ndakik teori modernisme, post-modernisme, post macem-macem, mbalik nang kuburan. Ziarah. Hanya untuk mengatakan, sing separoh iki ana ning kene. Yang separoh itu ada di sini. Gus Dur memasukkan unsur spiritualisme sebagai bagian dari konstruk kebudayaan. Jadi Gus Dur ingin mengembalikan bahwa konstruksi kebudayaan Nusantara itu adalah rajutan atau pertautan antara rasionalitas dan spiritualitas. Hilang satu itu bukan Nusantara.”
Bisa lebih diterangkan konstruksi kebudayaan Nusantara itu seperti apa menurut Gus Dur?
“Yang saya pahami, Gus Dur ingin mengembalikan akar budaya Nusantara yang sebetulnya. Yaitu kembali kepada konstruk kebudayaan yang mempertautkan antara rasionalitas dan spiritualitas. Karena orang macam Gus Dur itu selain mempelajari pemikiran-pemikiran filsafat yang rasional positivistik, beliau juga memahami dan mendalami pemikiran-pemikiran dan laku spiritual. Serat Centhini Dus Dur tahu. Suwik Sujinah, Wedothomo Gus Dur tahu.”
“Dari situ Gus Dur menjabarkan, bahwa yang namanya manusia dalam falsafah pemikiran Nusantara itu adalah pertautan antara akal atau rasio, hati atau roso pangroso dan spiritualitas. Ini bentuknya akumulatif, bukan alternatif. Jadi manusia utuh, insan kamil itu, ya ini. Hilang satu tak disebut manusia.”
“Dari konstruk pemahaman yang mempertautkan antara rasionalitas, spiritualitas dan roso pangroso itu maka konstruk kebudayaan manusia Nusantara yaitu pertautan antara rasionalitas dan spiritualitas. Maka bisa dipahami ketika Jayabaya memprediksi bahwa ing tembe jaman ndang, sak semongso-mongso wong Jowo ke bakal kari separo…” (di masa depan nanti orang Jawa akan tinggal separuh). Ramalan Jayabaya ini bukan dalam pengertian kuantitatif, bukan secara nominal orang Jawa tinggal separuh, bukan. Tapi jadi separuh itu orang Jawa hanya menggunakan rasionalitasnya saja, spiritualitasnya tidak dipakai. Karena dianggap ini klenik, ini takhayul, tidak ada ukurannya yang jelas, dan sebagainya.”
“Padahal itu sama, cuma kemudian oleh filsafat Barat dipotong cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada. Eksistensi manusia hanya diakui sejauh dia bisa menggunakan akal rasionalnya. Roso (rasa) nggak boleh ikut, karena menurut dia itu subyektif. Padahal roso dalam pengertian falsafat Nusantara itu bukan subyektifisme.”
Bagaimana ‘roso’ itu tidak subyektif? Bukankah ia menggunakan hati, bukan rasionalitas?
“Kalau baca Suryamentaraman tentang raos (rasa), posisi rasa itu bukan subjektifisme, tetapi justru alat ukur yang senantiasa mengontrol supaya manusia itu tetap bisa dengan tegak, jejek, ajeg, pada sisi kemanusiaan. Sehingga dia tidak larut oleh sisi emosinya, tidak larut oleh nafsunya, oleh keinginannya, yang bahasa ilmiahnya tidak larut dalam subyektifitas.”
“Orang Barat mengatakan cogito ergo sum, roso gak boleh ikut karena itu subyektif, semua gak boleh ikut karena gak jelas ukurannya, gak bisa diverifikasi menurut dia. Padahal fakta menunjukkan, kalau kita mau fair, antara rasionalitas dan spiritualitas, ini kan sama. Kalau di ranah rasional, itu melahirkan pengetahuan, tapi di ranah spiritual melahirkan ngelmu.”
“Kalau dalam filsafat Nusantara itu dibedakan antara pengetahuan (rasional), kaweruh, dengan ngelmu. Kalau kaweruh atau pengetahuan itu dasarnya adalah akal, yang terjangkau akal dan terdeteksi, tersentuh indera. Tapi kalau ngelmu itu suatu kedalaman dari spiritual batin yang menghasilkan sesuatu dalam kehidupan ini. Ini ngelmu. Maka dalam Wedhotomo disebutkan ngelmu iku lelakuning kanti laku wekasane kanti kaskalu lawan turangkoro. Lah ini perbedaannya di sini.”
“Jadi kalau kaweruh itu pijakannya rasional, positivistik, material. Kalau ngelmu itu pijakannya metarasional, non positivistik, non material. Selebihnya sama. Bahwa ilmu perlu metodologi, spiritual juga perlu metodologi. Bahwa ilmu bisa diverifikasi, spiritual juga bisa diverifikasi. Contoh konkret orang sakit datang ke Kiai minta didoain, dikasih air putih didoain sembuh. Banyak yang terbukti begitu. Orang sakit ke dokter dikasih resep dokter sembuh, banyak yang terbukti. Kok yang ini diakui yang ini nggak. Atau Kiai kasi h omben-omben banyak yang gak sembuh. Sama, banyak juga dokter ngasih resep tapi gak sembuh juga.”
Jadi sebenarnya kita harusnya tidak inferior dan harusnya bangga dengan nilai tradisionalitas kita?
“Gus Dur dengan bangga, tidak tedeng aling-aling, secara terbuka, bahkan mengumumkannya. Berziarah, laku spiritual, dan lain-lainnya itu. Bagi orang kayak Gus Dur, dibilangin ahli klenik, ahli spiritual, itu sama bangganya dianggap intelektual atau akademisi atau apa pun namanya itu. Cuma ini di ruang sini, itu di ruang situ. Itu saja.”
“Justru ini merupakan gerakan kultural. Mengangkat harkat, martabat dan khazanah tradisionalitas dalam permukaan yang sama bobotnya dengan yang katanya superior modernitas itu.”
“Wong di sana (Barat) juga sama kok pake spiritualitas. Orang modern di Amerika di manapun pake spiritual. Cuma posisi spiritual di kalangan mereka itu kayak istri simpanan. Disayang dan dibutuhkan, tapi gak boleh eksis. Sebab kalau eksis ngrusak sistem. Coba istri simpanan disuruh eksis, ayo Mbok Wedhok lak langsung perang, rumahtangga hancur semua itu gak karu-karuan.”
“Sama, kalau ini wilayah spiritual diakui dengan metodologi yang bisa diverifikasi, seluruh konstruksi bangunan filosofisnya Barat bisa hancur. Padahal itu yang dibodoh-bodohkan ke kita supaya kita belajar itu semua. Sampai kita ikut-ikutan memandang yang sisi sininya (tradisional)nya itu inferior. Padahal metodologinya sama kok, untuk jadi dokter kan juga butuh seleksi. Sama, ahli spiritual juga bisa gitu, juga bisa dideteksi begitu. Untuk jadi dokter Anda harus serius, yang lain pada pacaran kamu masih tetep belajar tentang ilmu fisiologi. Yang lain nonton bioskop, kamu sibuk di laboratorium. Yang spiritual juga sama, yang lain pada tidur dia masih bangun wiridan tengah malam. Yang lain makan enak-enak, yang ini puasa, ndak makan. Sama kan? Apanya yang beda?”
Apa pesan bagi masyarakat yang sekarang terpukau dengan modernitas dan malah meninggalkan nilai-nilai tradisionalitas kita ini?
“Kalau Gus Dur mengingatkan kepada kita, untuk kembali kepada khazanah, kepada sumber potensi, dari ilmu pengetahuan yang sudah dibangun oleh para leluhur para sesepuh kita. Baliken nang kene, baliken ning ngomah. Jangan terlalu lama Anda tersesat di belantara peradaban orang lain. Anak-anak Nusantara sekarang sudah jadi generasi yang tersesat di belantara peradaban. Jadi pemulung ide dan pengais gagasan peradaban dari bangsa lain. Dan dengan bangganya mengaku intelektual dan akademisi. Padahal mereka tak lebih dari fotokopi dan pemulung ide, pengais gagasan.”
“Gus Dur mengingatkan, pulanglah ke rumah Nusantara Anda, mumpung belum terlalu jauh Anda tersesat. mumpung belum terlalu jauh Anda hilang ditelan peradaban. Baliko ngomah.” (Muhammad/Yudhi)