Berita
Minoritas Di Tengah Ancaman Ujar Kebencian
Ujaran-ujaran kebencian yang telah memakan banyak korban dan merusak tatanan sosial adalah ancaman nyata.
Beruntung, di tengah-tengah serangan gencar paham radikalisme dan ekstremisme yang mengoyak jalinan kebangsaan kita, upaya-upaya mendamaikan dan menyatukan umat pun makin digalang para aktivis pencinta persatuan.
Seperti yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan Center for the Study of Religion and Conflict, Arizona State University, yang menggelar Roundtable: Sectarianism and Peacebuilding in Indonesia, Kamis (28/1) di Jakarta.
Dalam diskusi ini, Prof. Mark Woodward sebagai pembicara secara lebih khusus menyebutkan salah satu tantangan utama membangun perdamaian adalah fenomena Hate Speech.
“Ujar kebencian adalah kekerasan yang simbolik. Dan sangat erat kaitannya dengan konflik etnik dan sektarian,” ujar Mark.
Mark juga menegaskan bahwa Hate Speech juga merupakan bentuk kekerasan yang memiliki efek sangat destruktif.
“Ujar kebencian mengakibatkan luka psikologis, mendefinisikan yang lain sebagai ancaman, mendehumanisasi dan bahkan mendemonisasi pihak lain. Syiah dan Ahmadiyah yang kerap menjadi korbannya,” lanjut Mark mencontohkan.
Menurut Mark, dehumanisasi dan demonisasi ini yang kemudian dijadikan sebagai pembenaran aksi-aksi kekerasan terhadap Syiah, Ahmadiyah, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.
“Dehumanisasi dan demonisasi, menyebut sebagai ‘iblis’, dan sejenisnya itu adalah justifikasi implisit untuk melakukan kekerasan. Sampai pada titik terang-terangan memprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan,” terang Mark.
Syiah sebagai Rallyng Point
Musa Kazhim dari LBH Universalia menambahkan, serangan-serangan ujar kebencian ke Syiah ini makin hari makin massif.
“Akhir-akhir ini, Syiah memang menjadi target dari kampanye massif anti-Syiah. Baik dalam skala lokal, Nasional, maupun global,” ujar Musa.
Musa menengarai, dalam beberapa kasus, seperti di Yogyakarta serangan ke Syiah makin menguat justru karena di-backing oleh kekuatan politik.
“Di Yogyakarta misalnya, sekarang kita menghadapi kampanye massif anti-Syiah. Tapi sebenarnya tujuan mereka bukan Syiah, Syiah hanya rallying point saja setelah isu Ahmadiyah reda. Tujuannya adalah Sultan.”
“Karena hampir mustahil untuk berpikir bahwa Yogya menjadi surga bagi kelompok intoleran sebanyak ini kecuali ada backing politik. Di Yogya itu Syiah hampir tidak ada, yang ada itu mahasiswa (Syiah) saja, ” tandas Musa.
Hal ini dibenarkan oleh Prof. Mark Woodward.
“Memang benar, yang ada di Yogya itu hanya mahasiswa (Syiah). Tidak ada komunitas Syiah di Yogya. Memang inilah yang membuat masalah semakin rumit, ketika segelintir orang justru mem-backing gerakan ekstrem seperti ini,” ujar Mark.
Intoleransi dan radikalisme kian hari kian mengancam kebhinnekaan bangsa. Lebih celaka lagi ketika struktur Negara malah ikut bermain di dalamnya. Negara mestinya tegas, jangan sampai sebagai pihak yang mestinya mengayomi malah justru menjadi aktor intoleransi dan kekerasan ini. (Muhammad/Yudhi)