Berita
Dilema Media Atas Teror Thamrin: Pilih Akurasi atau Kecepatan?
Tragedi teror bom Thamrin Jakarta Pusat pertengahan Januari lalu tak hanya menimbulkan korban tewas dan luka di lokasi kejadian. Pasca peristiwa, sedikitnya 8 media mendapat teguran dan sanksi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena dinilai melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) terkait akurasi berita dan pelanggaran atas larangan menampilkan mayat korban tanpa diburamkan.
“Saya tidak tahu ya apakah (media) sudah melupakan kode etik yang dikeluarkan Dewan Pers atau menganggap remeh teguran KPI,” ucap Andi Riccardi Jatmiko, Senior Produser APTN dalam diskusi “Membedah Pemberitaan Terorisme Jalan Thamrin: Kode Etik atau Rating?” di kantor Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta, Minggu (24/1).
Andi mengakui bahwa kompetisi media yang ada (dengan jumlah lebih dari 10 televisi di Jakarta saja) tentu akan berdampak pada persaingan ketat, sehingga kecepatan peliputan di lapangan sangat dibutuhkan. Bagi Andi hal tersebut sah untuk dilakukan.
“Tapi tolong, ada banyak hal yang jangan dilupakan! Ada yang lebih penting, yaitu akurasi,” tegas Andi.
Sebab jika pemberitaan yang disajikan tidak akurat maka media yang bersangkutan harus melakukan koreksi. Sementara di tingkat Internasional, koreksi pemberitaan adalah sebuah hal yang tabu untuk dilakukan, karena hal tersebut membuktikan tak hanya medianya saja yang tidak profesional tapi juga para wartawannya.
Menurut Andi, ini semua akibat media di Indonesia masih belum terlepas dari euforia. Sejak tahun 1998, kebebasan pers dibuka begitu lebar, hingga hal-hal yang tidak memiliki nilai berita pun akhirnya tetap dimuat sebagai berita.
“Itu yang saya katakan euforia,” terang Andi.
Medsos
Pembicara lainnya, Yosep “Stanley” Adi Prasetyo selaku anggota Dewan Pers menyoroti fenomena masyarakat saat ini yang tak seharusnya menghilangkan rasa penasaran dan keingintahuan mereka dengan memungut informasi-informasi di media sosial, karena media sosial bukanlah referensi yang tepat sebagai sumber informasi.
“Terorisnya sudah mati tapi pesan terornya diteruskan oleh temen-temen wartawan dengan mengutip media sosial yang sumbernya seringkali tidak jelas,” terang Stanley.
Sementara Andi, satu suara dengan Stanley menganggap media sosial tidak layak untuk dikutip. Andi kembali mempertegas bahwa pekerja media yang profesional harus mempunyai rasa tanggung jawab terhadap lembaga media tempatnya bekerja, terhadap masyarakat dan terhadap kredibilitasnya sendiri.
“Media sosial itu tidak layak untuk dikutip, meski Anda bisa menjadikannya sebagai informasi awal,’ tegas Andi.
Update Teror Jalan Thamrin
Terkait kabar terbaru tentang bom jalan Thamrin, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes M. Iqbal mengatakan bahwa hingga saat ini 8 korban masih dirawat di rumah sakit dan dua di antaranya adalah anggota kepolisian yang kodisinya hingga saat ini masih rawan.
“Mohon doanya bagi temen-temen semua agar kondisi mereka segera membaik,” pinta Iqbal.
Dari sisi pelaku, Iqbal menerangkan bahwa dari 19 orang yang ditahan dan diperiksa oleh pihak kepolisian, 6 di antaranya sudah dipastikan terlibat dalam aksi teror bom jalan Thamrin. Hingga saat ini polisi masih terus mengembangkan penyidikan.
“Ini belum selesai. Kita masih melakukan pengejaran beberapa kelompok,” tegas Iqbal.
Sungguh menyedihkan jika kerja-kerja jurnalistik yang harus menempuh sejumlah kaidah sebagaimana telah ditetapkan Dewan Pers harus disamakan dengan info-info medsos yang kerap tak memiliki pertanggung jawaban yang jelas, apalagi jika akun yang dipakai adalah akun anonim. (Lutfi/Yudhi)