Berita
Risiko Nyantri di Ponpes Medsos
Maraknya fenomena “hijrah” di kalangan anak muda Muslim memang bak dua sisi uang koin: patut disyukuri karena masih ada anak muda yang berkeinginan memperdalam agama di tengah masyarakat yang kian mekanis, namun di sisi lain cukup mengkhawatirkan.
Mengkhawatirkan? Apa sebabnya?
Sepengamatan pribadi penulis di iklim kampus, rata-rata anak muda yang memutuskan “hijrah” terutama di lingkungan perkotaan umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan agama secara formal atau kurang mendalami keilmuan seperti tafsir, tarikh, musthalah al hadits, dan sebagainya. Karena tidak memiliki akses ke sumber primer seperti kitab yang otoritatif atau ulama kredibel sebagai pembimbing, maka generasi “hijrah” kemudian memilih nyantri di pondok pesantren media sosial sebagai alternatif. Rupa-rupa akun berkonten religius dengan fitur like dan share bertebaran di Twitter, Facebook, hingga aplikasi ponsel pintar. Simpel, menyenangkan, dan pastinya lebih kekinian.
Hanya saja, ponpes media sosial ini juga memiliki aspek yang perlu diperhatikan.
Dengan mempertimbangkan latar belakang keilmuan yang masih pada tahap permulaan serta kondisi psikologis anak muda yang secara emosi kurang stabil, mereka akan mudah menjadi korban akun-akun media berkedok Islam yang mempromosikan pemahaman takfir kepada saudara sesama Muslim atau bahkan ideologi militan yang keliru hanya berbekal sepotong dua potong ayat agar tampak meyakinkan.
Lebih mengkhawatirkan lagi jika anak muda yang baru hijrah tersebut terlalu bersemangat membagi “pengetahuan” dari akun takfir tanpa melakukan kajian terlebih dulu, kemudian menyebarluaskannya pada sanak kerabat, teman, maupun orang terdekat. Secara tidak sadar dirinya menjadi bagian lingkaran setan “pengetahuan” yang tidak kredibel akibat salah pilih pondok pesantren media sosial.
Peran Alumni Pondok
Di sinilah alumni pondok formal yang melanjutkan pendidikan ke universitas harus memainkan perannya secara aktif di kampus.
Jika menemui fenomena “hijrah” seperti yang diamati oleh penulis, maka ada baiknya alumni, tentu melalui komunikasi baik-baik terlebih dulu, bersukarela menjadi pembimbing keilmuan bagi sesama teman yang hendak mengkaji ihwal keislaman.
Ada nilai positif jika alumni mampu memaksimalkan rekomendasi ini. Pertama, bernilai ibadah. Kedua, sarana mengasah kembali, semakin memperdalam, dan mengaktualisasikan ilmu agama yang telah didapat dari pondok formal. Ketiga, menjadi benteng intelektual bagi civitas kampus dari arus pemikiran ekstrem takfiri yang menyasar anak muda yang sedang ghirah. Keempat, mampu membimbing teman sepergaulan untuk memilih pondok media sosial yang tepat sebagai wadah nyantri. (Fikri/Yudhi)