Berita
Terorisme dan Problem Struktural
Bom yang mengguncang Sarinah 14 Januari kemarin telah menghentak masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia kembali diingatkan betapa biadab dan mengerikan aksi-aksi terorisme. Tak urung kecaman pada terorisme pun mengalir deras.
Membincangkan hal ini, para pencinta kopi berkumpul di Folosofi Kopi Cafe, Kebayoran Baru dalam diskusi Terorisme Kacau di Republik Galau, Selasa (19/1).
Dalam diskusi ini pengamat politik progresif Airlangga Pribadi, mengingatkan bahwa selain masalah pemahaman teks agama yang ekstrem, yang tak boleh dilupakan, problem terorisme juga berkaitan erat dengan problem struktural pemerintahan.
“Terorisme sering dipisahkan dari kekerasan Negara. Padahal, seperti di zaman Orde Baru, ada kekerasan Negara dalam konteks kapitalisme, berupa penghancuran gagasan nasionalisme kerakyatan di basis akar rumput. Termasuk pada para pendidik dan guru. Itu tak disebut teror,” kritik Airlangga.
“Ini penting dipahami, karena sejak saat itulah dimulai relasi kekerasan antara masyarakat dan negara. Dalam kondisi seperti ini bagaimana kita bisa percaya tanpa kritisisme ketika Negara ingin kuatkan rezim security?”
Airlangga juga mengkritik sikap pemerintah yang terlihat mendua terhadap aksi-aksi teror.
“Di media sosial tersebar tagar #kamitidaktakut, tapi benarkah masyarakat benar-benar tidak takut? Benar-benar berani?” tanya Airlangga.
“Kalau berani, dimanakah keberanian kita ketika (sebagian) masyarakat diteror secara verbal? Dilarang mengekspresikan keyakinannya? Dihalang-halangi mendirikan tempat ibadahnya?”
Ini menunjukkan, kekerasan dan teror di Indonesia bukan soal kultural. Kemarahan-kemarahan tersebut bukan sekadar karena pemahaman mereka atas kitab suci, Tapi kita tak bisa lepaskan hubungan elit politik tertentu yang mendapatkan keuntungan dari provokasi-provokasi tersebut.
“Ada hubungan relasi masyarakat-negara yang meng-endorse peristiwa-peristiwa teror tersebut,” terang Airlangga.
Airlangga mencontohkan kasus Muslim Syiah Sampang, pelarangan peringatan Asyura di Bogor, dan juga kasus jamaah Ahmadiyah dan GKI Yasmin. Justru pelakunya adalah aparatur pemerintahan sendiri yang berkaitan erat dengan politik kepentingan pejabat di daerah tersebut untuk mendapatkan dukungan suara dari konstituen.
Tanpa menyelesaikan problem struktural, ekstremisme dan terorisme tak akan bisa diselesaikan. Dan justru malah bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik pragmatis sebagian elit. (Muhammad/Yudhi)