Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Surat Sayyid Ali Khamenei Kepada Remaja Barat

Kejadian pahit yang muncul akibat terorisme buta di Perancis sekali lagi mendorong saya untuk berbicara kepada kalian, kaum remaja. Bagi saya, sayangnya, justru insiden-insiden semacam itu yang dapat menciptakan kerangka bagi suatu percakapan. Bagaimanapun, sejujurnya, jika hal-hal yang menyakitkan tak melempangkan jalan untuk mencari solusi, maka kerusakan yang ditimbulkan akan berlipat ganda.

Rasa sakit seorang manusia di mana pun di dunia ini akan menyedihkan sesama manusia lain. Pemandangan seorang anak kehilangan nyawanya di depan orang-orang-orang yang dicintainya, seorang ibu yang kegembiraannya berubah menjadi duka, seorang suami yang melarikan jenazah pasangannya ke suatu tempat dan orang yang tak tahu apakah dia sedang menyaksikan babak terakhir dari hidupnya—itulah rangkaian pemandangan yang mengguncang emosi dan perasaan manusia manapun. Siapa saja yang memiliki belas kasih dan perikemanusiaan pastilah akan terpengaruh dan terusik menyaksikan pemandangan di atas, entah itu terjadi di Perancis, Palestina, Irak, Lebanon atau Suriah.

Saya benar-benar percaya bahwa hanya kalian kaum remaja yang dengan mengambil pelajaran dari kesulitan masa kini untuk menemukan pemecahan baru dalam  membangun masa depan.

Tak diragukan lagi, satu setengah milyar Muslim juga memiliki perasaan yang sama, muak, dan marah atas tindakan para pelaku dan yang bertanggungjawab atas musibah tersebut. Masalahnya, bagaimanapun, jika sakit hari ini tak kita gunakan untuk membangun masa depan yang lebih baik dan lebih aman, maka ia hanya akan menjadi kenangan getir yang sia-sia. Dan sekali lagi saya percaya kaum muda mampu mengambil pelajaran dari berbagai musibah ini untuk membangun masa depan dan menghentikan jalan sesat Barat yang telah membawanya pada kebuntuan sampai saat ini.

Benar bahwa terorisme adalah rasa sakit dan keprihatinan kita bersama. Namun, sudah seharusnya kalian ketahui bahwa kegusaran dan kegundahan yang kalian rasakan sejak beberapa kejadian akhir-akhir ini berbeda dengan rasa sakit rakyat Irak, Yaman, Suriah dan Afghanistan yang mereka rasakan selama beberapa tahun terakhir. Ada dua perbedaan mencolok. Pertama, dunia Islam telah menjadi korban teror dan keganasan di wilayah yang jauh lebih luas, jumlah yang jauh lebih besar dan waktu yang jauh lebih lama. Kedua, celakanya, kekerasan ini didukung oleh beberapa kekuatan utama dunia melalui pelbagai metode dan cara yang efektif.

Hari ini, hanya sedikit sekali yang tidak mengetahui peran Amerika Serikat dalam menciptakan, merawat dan mempersenjatai Al-Qaeda, Taliban dan penerus-penerusnya yang bejat. Selain dukungan langsung itu, sejumlah rezim yang jelas-jelas mendukung terorisme takfiri—sekalipun memiliki sistem politik paling terbelakang—berjajar rapi sebagai sekutu Barat. Di sisi lain, kekuatan demokrat yang paling cerah dan dinamis di kawasan justru ditindas tanpa ampun. Sikap penuh prasangka Barat atas gerakan kebangkitan di dunia Islam adalah contoh yang menonjol dari kebijakan-kebijakan kontradiktif yang berlaku di sana.

Aspek lain dari kebijakan kontradiktif ini tampak dari dukungan (Barat) atas terorisme negara yang dijalankan Israel. Rakyat tertindas Palestina telah mengalami terorisme terkejam selama 60 tahun terakhir. Jika masyarakat Eropa bersembunyi beberapa hari dan tidak keluar ke tempat-tempat keramaian, maka keluarga Palestina bahkan tidak lagi aman di rumah-rumah mereka akibat mesin pembunuh dan penghancur rezim Zionis. Kekerasan keji apa yang hari ini bisa dibandingkan dengan pembangunan pemukiman Yahudi yang dilakukan oleh rezim Zionis?

Rezim ini—tanpa pernah secara serius dan terang-terangan dikecam oleh sekutu-sekutu  paling berpengaruhnya atau bahkan oleh apa yang disebut dengan organisasi-organisasi internasional—tiap hari menghancurkan perumahan rakyat Palestina dan merusak ladang dan kebun mereka. Penghancuran itu dilakukan bahkan tanpa memberi waktu bagi para pemilik rumah untuk sekadar mengumpulkan barang-barang atau hasil-hasil bumi mereka dan biasanya terjadi di depan mata dan tangisan wanita dan anak-anak yang ketakutan menyaksikan pemukulan brutal anggota keluarga mereka yang terkadang diseret ke ruang penyiksaan yang mengerikan. Di dunia saat ini, apakah kita bisa menemukan kekerasan dalam skala, skop dan jangka waktu seperti ini?

Kalau tindakan menembak mati perempuan di tengah jalan karena “kejahatan” memprotes tentara yang bersenjata lengkap bukan terorisme, maka tindakan apakah itu? Tidakkah barbarisme ini, walaupun dilakukan oleh angkatan bersenjata dari pemerintahan pendudukan, layak disebut ekstremisme? Atau mungkin karena pemandangan itu sudah berlangsung selama 60 tahun, maka ia tidak lagi menghentakkan kesadaran kita?

Invasi militer ke dunia Islam beberapa tahun belakangan—dengan korban nyawa yang tak terhitung—adalah contoh lain logika kontradiktif Barat. Negara-negara korban serangan, di samping kehilangan nyawa, juga kehilangan infrastruktur ekonomi dan industri.  Gerak pertumbuhan dan pembangunan mereka terhenti atau setidaknya melambat. Dalam beberapa kasus, serangan itu telah membuat mereka mundur beberapa dekade ke belakang. Sekalipun begitu, mereka dipaksa secara kasar untuk tidak melihat diri mereka sebagai tertindas.

Bagaimana mungkin negeri yang menjadi puing-puing, dengan kota-kota dan wilayah-wilayah yang berselimut debu, dipaksa untuk tidak memandang dirinya sebagai korban penindasan? Alih-alih mengecoh korban untuk mengabaikan dan melupakan nestapa, bukankah permintaan maaf yang jujur lebih baik?

Rasa sakit yang telah dialami dunia Islam bertahun-tahun ini akibat kemunafikan dan sikap mendua para penjajah, sama sekali tidak lebih ringan dibandingkan dengan kerugian material yang mereka rasakan.

Para remaja yang mulia!

Saya berharap kalian—sekarang atau di masa depan—dapat mengubah mentalitas buruk di balik sikap mendua ini, mentalitas yang kepiawaian tertingginya adalah menyembunyikan tujuan-tujuan jangka panjang dan menghiasi tujuan-tujuan jahatnya.

Dalam hemat saya, langkah pertama menciptakan keamanan dan kedamaian adalah memperbaiki mentalitas yang memupuk kekerasan ini. Selama standar ganda mendominasi kebijakan-kebijakan Barat, terorisme—di mata para pendukung kuatnya—terbagi menjadi tipe yang baik dan jahat, dan selama kepentingan pemerintah dan negara melampaui nilai-nilai kemanusiaan dan etika, maka akar kekerasan tidak perlu dicari di tempat-tempat lain.

Sayangnya, akar-akar ini telah menancap dalam budaya politik Barat selama bertahun-tahun dan telah mengakibatkan invasi yang senyap dan halus.

Banyak negara di dunia berbangga dengan budaya lokal dan nasionalnya, budaya-budaya yang melalui perkembangan dan regenerasi memupuk masyarakat manusia selama berabad-abad. Tidak terkecuali di dunia Islam. Namun, di era sekarang, dunia Barat dengan menggunakan alat-alat canggihnya terus memaksakan kloning dan penggandaan budayanya dalam skala global.

Saya memandang pemaksaan budaya Barat atas berbagai masyarakat dan peremehan budaya-budaya yang independen merupakan bentuk kekerasan yang senyap dan gangguan yang ekstrem.

Merendahkan budaya-budaya yang kaya dan melecehkan bagian-bagiannya yang paling terhormat selama ini terus terjadi di tengah tawaran budaya alternatif yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi sebagai pengganti. Sebagai contoh, dua unsur dominan dalam budaya Barat, yakni agresi dan keasusilaan sebenarnya telah merendahkan martabat dan harkat wilayah asal budaya tersebut.

Jadi, pertanyaannya adalah: apakah kami berdosa karena tak ingin budaya yang agresif, vulgar  dan muspra? Apakah kita disalahkan karena mencegah banjir keasusilaan yang diarahkan kepada remaja kita dalam bentuk seni abal-abal?

Saya tidak menolak arti dan nilai penting interaksi budaya. Manakala interaksi ini berlangsung dalam suasana alami dan dengan sikap saling menghargai, maka ia akan melahirkan pertumbuhan, perkembangan dan pengayaan. Sebaliknya, interaksi yang timpang akan melahirkan pemaksaan-pemaksaan yang mengganggu.

Dengan menyesal saya harus katakan bahwa kelompok-kelompok jahat seperti Daesh (ISIS) adalah telur yang keluar dari hasil perkawinan dengan budaya-budaya asing tersebut. Jika masalahnya memang ideologis (ada dalam ajaran itu sendiri), maka kami tentu sudah menyaksikan fenomena serupa sebelum era kolonialis. Tapi sejarah menunjukkan sebaliknya. Catatan sejarah yang absah dengan jelas memperlihatkan bagaimana kedatangan kolonialis membawa pikiran-pikiran ekstremis dan jumud kepada suku-suku primitif itulah yang menyemai ekstremisme di kawasan ini.

Bagaimana bisa sampah seperti Daesh muncul dari ideologi agama yang paling etis dan manusiawi yang salah satu intinya adalah prinsip siapa yang membunuh satu nyawa sama dengan membunuh seluruh manusia?

Orang mestinya bertanya bagaimana bisa orang-orang yang lahir dan terdidik secara intelektual dan mental di Eropa dapat tertarik pada kelompok-kelompok seperti Daesh? Mungkinkah orang percaya bahwa mereka jadi begitu ekstremis hingga dapat memberondong tubuh sesamanya dengan peluru hanya dengan satu dua kali perjalanan ke medan perang?

Tentu saja, orang tak dapat melupakan efek dari masa hidup yang panjang dalam lingkungan budaya sakit yang memuja kekerasan. Di sini kita memerlukan sejumlah analisis yang menyeluruh, yang mencakup aspek kerusakan yang nyata tampak mata dan yang tersembunyi. Barangkali suatu kebencian akut—yang tertanam selama bertahun-tahun dalam situasi pertumbuhan ekonomi dan industri yang sarat ketimpangan dan boleh jadi diperparah oleh prasangka hukum dan struktur—yang menciptakan ide-ide yang tiap beberapa tahun tampak sebagai sikap yang sakit.

Apapun juga, kalian adalah generasi yang harus menyingkap lapisan-lapisan luar dari masyarakat kalian sendiri sekaligus mengurai benang-benang kusut yang menimbulkan dendam kesumat dalam masyarakat kalian. Jurang ini mesti didekatkan, bukan diperlebar.

Reaksi yang terburu-buru adalah kesalahan besar dalam memerangi terorisme, yang ujungnya hanya akan memperlama pertikaian. Reaksi gegabah dan emosional hanya akan mengisolasi, mengancam dan menggelisahkan masyarakat Muslim yang hidup di Eropa dan Amerika—yang kini berjumlah jutaan warga yang taat hukum dan sadar akan perannya masing-masing—sehingga mereka kehilangan hak-hak asasinya bukan hanya tidak akan memecahkan masalah, melainkan justru akan makin meningkatkan pertikaian dan kebencian.

Sikap dan reaksi palsu, terutama yang mengambil jalur hukum, hanya akan menambah polarisasi yang ada, membuka krisis-krisis baru di masa depan dan tidak bakal menghasilkan apa-apa.

Menurut pelbagai laporan yang kami terima, beberapa negara Eropa mengeluarkan panduan untuk memata-matai warganegara Muslim. Perilaku ini jelas tidak adil dan kita semua tahu bahwa meneruskan ketidakadilan memiliki karakteristik menuai hasil yang terbalik.

Di samping itu, dunia Barat telah lama mengenal baik masyarakat Muslim—baik ketika mereka menjadi tamu di negeri-negeri Muslim dan tertarik pada kekayaan tuan rumah maupun ketika mereka menjadi tuan rumah dan mengambil manfaat dari kerja keras dan pemikiran umat Islam—mereka pada umumnya mengambil untung dari kebaikan dan ketabahan umat Islam.

Oleh karena itu, saya ingin kalian, kaum remaja, melapangkan jalan bagi interaksi yang jujur dan bermartabat dengan dunia Islam, interaksi yang berpijak pada pemahaman yang benar, wawasan yang mendalam dan pelajaran-pelajaran penting dari berbagai pengalaman mengerikan yang telah terjadi.

Dengan begitu, tidak terlalu lama lagi, kalian akan menyaksikan bangunan kokoh yang bisa menciptakan kepercayaan, yang mendinginkan mahkota arsiteknya, menyebarkan hangatnya ketenteraman dan kedamaian pada sebanyak mungkin manusia dan secercah harapan di masa depan yang cerah yang akan menerangi permukaan bumi ini.

8 Azar 1394 – 29 November 2015

Sayyid Ali Khamenei

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *