Ikuti Kami Di Medsos

Berita

JAKATARUB : kata kunci dari toleransi adalah menerima perbedaan

Pada tahun 2014 lalu, Jawa Barat menempati posisi teratas untuk kasus tindak intoleransi di Indonesia. Hal tersebut tentu membuat resah para pengiat toleransi di wilayah Jawa Barat dan di wilayah Bandung pada khusunya.
 
Salah satunya adalah Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama (JAKATARUB) yang berada di wilayah Bandung. Jaringan yang mengambil nama dari mitologi Jawa Jaka Tarub, bertujuan untuk menjawab meningkatnya tindak intoleran terutama di wilayah Jawa Barat dan Bandung pada khususnya.
 
Lalu bagaimana pandangan Jaringan ini terkait pelanggaran intoleransi yang terjadi selama ini?
 
Berikut wawancara tim ABI Press dengan salah satu aktivis perdamaian JAKATARUB, Dian Andriasari. SH. MH.
 
Terkait kasus-kasus pelanggaran berkeyakinana, menurut Anda, apa yang harus diubah?  Regulasi atau penegakannya?
 
Saya mencoba untuk mengambarkan kondisi intoleransi di Indonesia secara sederhana, bahwa secara prinsip, piranti hukumnya sudah lengkap. Dari konstitusi dalam regulasi hukum sudah sangat jelas sekali, tapi yang menjadi permasalahan itu adalah dalam tataran penegakan hukum. Tinggal apakah ada kemauan dari negara untuk lebih berdaya melakukan perlindungan terhadap minoritas.
 
saya kira alat-alat negara dalam hal ini sistem peradilan pidana dengan mekanismenya yang memang sudah terpadu, bisa melakukan itu. Polisi bisa menciptakan perlindungan terhadap minoritas dari sisi keamanan dan dari sisi hukum. Saya kira pasal 156a itu perlu diperbaiki bahkan sebenarnya definisi menodaipun itu kan bisa memiliki banyak makna yang sering dijadikan pasal karet yang bisa menjerat siapa saja dan memang ini sudah dilaukan hak uji materi ke Mahkamah Agung tapi ditolak. Ini mengambarkan bahwa Indonesia tidak sungguh-sungguh untuk memberikan perlidungan terhadap minoritas, terutama yang di daerah-daerah.
 
Sejauh ini apabila ada kasus intoleransi dan pemerintah hanya membiarkan saja, sebaiknya apa yang dilakukan korban?
 
Gerakan perlawanana! Karena disini negara sudah bisa dipandang melakukan pembiaran dan semacam upaya sistimisasi yang terstruktur dan sistematis. Sebenarnya ini tidak bisa dibiarkan, makanya butuh suatau gerakan dan gerakannya secara formal yaitu meminta kepada pemerintah melalui penegak hukumnya untuk melindungi korban tapi ternyata tidak diberikan.
 
Maka yang bisa dilakukan itu adalah gerakan budaya dan perlawanan. Saya kira banyak lembaga bantuan hukum di Indonesia yang memang peduli terhadap kasus-kasus intoleransi dan sudah saatnya kasus ini tidak dipandang sebelah mata dan ini bukan tugas dari elemen tertentu saja tapi semua masyarakat memang harus bergerak, yang dimulai dari cara pandang masyarakat agar lebih toleran.
 
Kalau bagi Jakatarub, jika ada kasus intoleransi, pendekatannya seperti apa?
 
Pertama dilakukan pemulihan hubungan, tapi ketika tidak bisa ditempuh maka, ya kita tempuh jalur hukum untuk melakukan pembelaan bersama lembaga-lembaga bantuan hukum yang peduli terhadap kasus-kasus intoleransi di Indonesia.
 
Pada umumnya di Jawa Barat, kasus-kasus intoleransi itu dipicu oleh apa? Apakah karena kesalahpahaman komunikasi atau ada unsur politis ?
 
Bisa dikatakan sudah ada unsur politik dan kekuasaan. Kita sudah tahu kemarin pada waktu Pilpres, isu-isu agama sektarian itu begitu laku menjadi komoditi untuk dijual dan harus diakui ini bukan masalah kesalahpahaman komunikasi lagi tapi sudah masuk kerana politik dan kekuasaan. Harus diakui memang ini faktanya, penelitian-penelitian banyak membuktikan itu.
 
Sentimen sosial tadi dimanfaatkan oleh elit-elit politik , jadi isu, lalu dijual isunya sebagai komuditi.
 
Untuk Jakatarub sejauh ini, dalam memberikan pembelaan pada korban tindak intoleransi kendalanya dimana?
 
Pemerintah sangat lamban dan bahkan cenderung tidak terbuka, tidak menerima dengan tangan terbuka, cenderung mempersulit birokrasi, cenderung menutup diri, dan banyak pembiaran, banyak sekali produk-produk peraturan, baik itu berbentuk perda, pergub, perwalikota yang itu tidak memihak terhadap toleransi contohnya di Bogor dan SKB yang dikeluarkan oleh Aher itu banyak sekali dan itu sudah nyata.
 
Untuk tahun 2016 mendatang, seperti apa prediksi Anda terkait dengan Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Bandung?
 
Masih pesimis! Meskipun Bandung mulai deklarasi bahwa Bandung adalah kota ramah HAM tapi ini masih jauh panggang dari api dan ini harus dibuktikan dengan langkah-langkah nyata dan saya secara pribadi, memang masih pesimis.
 
Masih pesimis dengan sikap pemerintah yang bahkan dalam kehidupan keseharia seperti dalam pendidikan contohnya masih menebarkan isu-isu kebencian, buku-buku anti ini anti itu, seharusnya kan di dalam bidang pendidikan masyarakat itu diajak untuk terbuka terhadap perbedaan. Ini tidak! Malah mempertajam perbedaan, sehingga menjadi sebuah ujaran-ujaran kebencian, itu kan bukti nayta.
 
Bisa dijelaskan dalam perspektif hukum, toleransi sejauh mana? Sebab ada perbedaan dalam memandang toleransi di masyarakat.
 
Pertama, pangkal dari toleransi itu sudah diatur dalam konstitusional negara kita. Pasal 28 E kalau tidak salah itu sudah diamandemen, amandemen ke empat kalau tidak salah itu kan salah satu hak yang memang dijamin oleh negara non-derogable right, jadi hak yang tidak bisa diganti dengan apapun diantaranya adalah kebebasan bergama, hak untuk kebebasan beragama.
 
Disini kan ada kata-kata hak kebebasan beragama, artinya sebenarnya kalau coba kita kaji dari konsep hubungan antara negara dan agama di Indonesia, bukan negara sekuler dan negara agama pun bukan. Jadi kan masih satu di dekontruksi konsepnya dan dipertanyakan kembali, sebenarnya Indonesia itu mau seperti apa? Apakah mau jadi negara agama atau mau jadi negara sekuler sekalian.
 
Sebenarnya kalau dilihat dilandasan konstitusional itukan sudah jelas kebebasan artinya menjamin sekalipun itu adalah kaum minoritas. Jadi produk dari kebebasan itu adalah toleransi itu sendiri. Yang pangkalnya adalah kebebasan beragama, produknya atau turunannya adalah seharusnya toleransi. Mesikupun dari pangkal ke turunannya itu sangat tidak kontradiktif, disatu sisi negara menjamin kebebasan dalam konstitusionalnya tapi dalam prakteknya toleransi mempunyai harga yang mahal  bahkan harus ditebus dengan darah, air mata dan penderitaan dari warga negara itu sendiri.
 
Apa pesan-pesan untuk warga kota Bandung, agar lebih toleran untuk menghadapi isu-isu tentang keberagaman?
 
Pemerintah dalam hal ini memiliki tanggung jawab yang besar, pemerintah juga tidak bisa terus mengandalkan bahwa masyarakat sudah dewasa. Kita belum menjadi masyarakat madani, jadi pemerintah harus mendorong masyarakat untuk lebih toleran, bukan lantas membuat produk-produk atau regulasi yang seolah-olah itu mempertajam perbedaan dan menyulut api kebencian.
 
Pemerintah harus memulai dengan membuat kerangka kebijakan yang mendorong untuk toleransi yang bisa dinikmati oleh warga Bandung itu sendiri. Jadi jangan sampai minoritas itu menjadi ketakutan, menjadi terintimidasi hak-hak sipilnya, hak-hak sipolnya bahkan banyak yang terengut. Jadi mulai dari membuat kebijakan yang memihak keberagaman, memihak toleransi.
 
Apa harapan dari Jakatarub bagi warga Bandung berpartisipasi dalam mewujudkan toleransi?
 
Masyarakat bandung lebih terbuka terhadap perbedaan, bahwa kata kunci dari toleransi itu adalah menerima perbedaan.
(Wildan)
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *