Berita
Perjalanan Mencari Diri: Kepulangan dan Pertanyaan Aziz
(Catatan Kesepuluh)
Dua hari setelah Arbain, yakni Sabtu pagi pekan lalu, kami bergerak meninggalkan Karbala dan balik menuju Najaf. Di perjalanan, seluruh tenda dan perlengkapan perjamuan peziarah tak lagi terlihat.
Di jalan balik itu, saya melihat truk-truk raksasa mengangkut manusia dan berbagai perkakas ke sebuah terminal di pertengahan antara Najaf-Karbala. Jalanan juga disesaki oleh pos pengamanan dan personel militer. Mereka bahkan ikut mengatur lalu-lintas. Suasana memang seperti baru ada huru-hara.
‘Evakuasi’ massal peziarah ini pun tampaknya berjalan mulus, bahkan terkesan sempurna. Mungkin karena mudahnya orang diatur sehingga operasi sebesar itu dapat berlangsung nyaris tanpa insiden. Di jalan utama kota Karbala, truk-truk pembersih berseliweran. Hasilnya pun bisa langsung terlihat: sampah yang sebelumnya berserakan mulai terangkut.
Di jalan pulang saya menyaksikan puluhan bangunan setengah jadi berjejer di jalanan. Ini invasi (bukan investasi) para pemodal asing yang, semoga saja tidak, akan mengubah segalanya. Bukan mustahil semuanya akan berbayar bagi peziarah Karbala di masa datang, hingga hilanglah semua ketulusan dan kedermawanan itu.
Begitu tiba di Najaf, kami segera mencari hotel. Cari punya cari, kami akhirnya berakhir di sebuah hotel sederhana. Tak kami sangka, pemiliknya adalah mantan Wakil Gubernur Najaf. Namanya Abu Abdul Aziz. Tapi dia memanggil dirinya Aziz. Tampaknya Aziz memang orang yang berpendidikan.
Dalam salah satu diskusi, Aziz bertanya: “Menurut Anda, apakah Yazid membunuh Al-Husein atau Al-Husein membunuh Yazid?” Ini pertanyaan seperti sebuah ujian.
Spontan saya jawab: “Sejarah menunjukkan bahwa Yazid membunuh Al-Husein. Tapi dalam perjalanannya, Al-Husein membunuh rencana Yazid dan menghidupkan misi kakeknya.” Aziz menganggukkan kepalanya.
Bagi saya pribadi, pembantaian Imam Husein di Karbala adalah peristiwa masa lalu, suatu sejarah yang telah lewat. Tapi, nilai dan misi Imam Husein kian hari kian hidup bersama seluruh manifestasi fisiknya, seperti pusara, artefak-artefak, ritus-ritus dan sebagainya. Inilah bukti nyata bahwa seorang yang syahid, seperti termaktub dalam Alquran, tidaklah mati, melainkan hidup dan mendapatkan rezeki dari Allah.
Mirza Muhammad, pelajar asal Basrah yang saya temui di Najaf, membenarkan pendapat itu. Katanya inilah makna “taghabun” dalam Alquran: pembalikan nasib di dunia — sebelum di akhirat. Menurutnya, jika ada orang yang dihinakan karena memperjuangkan kebenaran dan keadilan, Allah menjamin pembalikan nasibnya di dunia, entah berapa pun lamanya. Maka suatu saat nanti di dunia, dan pastinya kelak di akhirat, orang itu akan menjadi mulia dan tinggi.
Tidaklah mudah mengajarkan prinsip di atas pada orang yang tak memiliki akal budi, citarasa atau imajinasi yang sehat. Apalagi bagi orang materialis yang seluruh perhitungannya hanya sampai pada beberapa jengkal di depan matanya atau beberapa saat dari umurnya. Prinsip tadi baru bisa dipahami oleh orang yang akrab dengan sejarah perjalanan manusia, dari Adam hingga sekarang. Bagi tipe manusia kedua ini, prinsip di atas begitu nyata dan gamblang.
Sedikit catatan kecil: sebagai kota, Najaf, jauh berbeda dengan Karbala. Suasana yang pertama lebih santai dan asri, sedangkan Karbala lebih garang dan kering. Najaf juga merupakan pusat lembaga pendidikan agama. Usianya lebih dulu daripada Qom, Iran. Ia juga saat ini menjadi pusat belanja bagi peziarah Karbala. Wisata kuliner di Najaf juga tersedia, bahkan ada sejumlah makanan khasnya yang banyak digemari. (Abu Jawad/Yudhi)