Berita
Perjalanan Mencari Diri: Kifah Jabburi
(Catatan Kesembilan)
Irak. Ribuan tahun negeri seribu satu malam ini berlumur darah. Kekuasaan demi kekuasaan berganti lewat pertumpahan darah. Kekerasan menjadi pemandangan sehari-hari. Lembaran budaya bangsa bertabur sejenis pemujaan atas keperkasaan dan kelelakian ini. Nama-nama marga dan suku di sini menunjukkan itu semua. Selain sebagai watak umum masyarakat Arab, kekerasan boleh dikata ciri khas yang melekat pada suku-suku di Irak.
Barangkali itulah sebabnya Daesh, atau di belahan dunia lain kerap disebut ISIS, lahir di negara ini; dari mazhab Salafi dengan bungkus kebrutalan yang begitu fantastis. Tapi bisa jadi, dengan semua latar itu, di negeri ini Daesh bakal digerinda hingga menjadi tepung.
Irak menyimpan banyak kejutan. Di sini, banyak hal yang sepertinya mustahil bisa mendadak berbalik 180 derajat. Peringatan Arbain contohnya. Inilah prosesi kolosal yang jitu membalikkan watak bangsa Irak yang keras lantaran kuatnya ingatan publik pada kemuliaan dan keluhuran Imam Husein.
Orang bisa melihat itu semua pada planet kecil dalam diri Kifah Jabbur. Dia remaja asal Basra. Seperti banyak pelayan para peziarah lain, dia lahir dan tumbuh dalam budaya Irak yang bermandikan darah. Tapi di Hari Arbain, dia melayani peziarah yang tak dia kenal dengan begitu mengalir, tulus, penuh penghargaan dan khidmat.
Kelembutan Kifah tidaklah alami. Dia bukan seperti remaja di Jawa yang dari kecilnya digembleng lingkungan untuk berbudaya tinggi. Tapi, di Hari Arbain, dia dan sebayanya berubah jadi lembut dengan energi lain. Dan kelembutannya mengalir deras, lebih daripada umumnya orang yang berbudaya tinggi.
Saya seperti bisa membaca watak kasar dan suka perang dari raut wajah Kifah. Di Basrah, tempat kelahirannya, perang antara suku dapat cepat berkembang dari sekadar baku pukul hingga pertempuran menggunakan persenjataan berat selama berhari-hari — tanpa henti.
Kifah bercerita saat terjadi perang suku, dia biasa menyaksikan dari jauh bola-bola api berhamburan di angkasa. Suku-suku di Basrah bertempur menggunakan PK, Dushka, RPG dan sebagainya.
Tapi itu baru separuh cerita. Kifah miskin, lahir dan besar dari kalangan miskin. Dari pakaian dan cara bicaranya, saya tahu dia orang jelata, berpendapatan dan berpendidikan rendah.
Lalu, bagaimana bisa dia dan kawan-kawannya bisa jadi selembut ini? Bagaimana mereka bisa memberi pelayanan demikian alami dan mengalir seperti ini? Bagaimana bisa orang seperti dia mendadak disiplin dan terampil memijat peziarah yang keletihan berjalan?
Kifah menjawab dengan ketegasan. Satu-satunya yang membuat dia bisa berubah sedramatis itu hanyalah Imam Husein, katanya.
Kifah sanksi orang Irak bisa mempertontonkan kedermawanan dan pelayanan sosial untuk peziarah Husein di luar Hari Arbain. Bahkan, jika sekiranya semua yang bekerja dapat bayaran tinggi, katanya.
Lalu apa yang merasuki mereka? Mengapa mereka seperti punya seni-seni pelayanan berkelas seperti ini? Bagi Kifah, semangat Imam Husein lah yang merasuki jiwa para pelayan Karbala, membuat mereka seperti dimabuk cinta, memunculkan beragam seni pelayanan dari dalam hati mereka yang di hari-hari biasa tak pernah ada.
Bagi saya sendiri, jalan kaki pada ziarah Arbain ini sudah jadi candu. Atau setidaknya sejenis dopping. Dengan long march ke Karbala dan menyaksikan pemandangan pelayanan kolosal untuk para peziarah, saya merasa baterei kemanusiaan saya terisi kembali. Saya berharap dapat mentransfernya ke keluarga dan lingkungan di Indonesia nanti. Semoga. (Abu Jawad/Yudhi)