Berita
Budaya, Bukti Identitas Kita
Derasnya arus globalisasi kian hari kian menggerus jatidiri dan identitas lokal suatu bangsa. Atas nama kemajuan dan modernitas, atau atas nama agama dan keimanan, identitas kultural dan budaya-budaya lokal dituding sebagai keterbelakangan bahkan kesyirikan.
Haruskah kita menggadai dan menjual jatidiri budaya kita atas nama globalisasi? Apa sebenarnya posisi penting budaya di tengah arus globalisasi yang menggila ini?
ABI Press kali ini menghadirkan wawancara dengan Budayawan Nusantara yang sekaligus Ketua PP Lesbumi NU, KH. Agus Sunyoto.
Apa sebenarnya peran penting budaya dalam era global sekarang ini?
“Budaya justru sangat penting terutama di zaman sekarang. Yaitu yang kita sebut zaman global. Dimana pasca runtuhnya komunisme tahun 1990-an, itu ada skenario yang dibikin golongan kapitalisme global, yaitu yang disebut ‘globalisasi’. Dimana dalam skenario proses globalisasi ini, ada usaha bagaimana semua identitas etnis, identitas budaya, bahasa, agama, itu dijadikan global.”
“Jadi istilahnya, lokalitas dihilangkan, semua global. Artinya, akan diciptakan masyarakat yang tanpa identitas. Ini yang ingin dicapai globalisasi, menghilangkan identitas masyarakat. Dalam teori sosiologi, kalau masyarakat sudah tanpa identitas, tanpa nilai, tanpa norma, itu masyarakat dalam keadaan anomali. Itu menurut Durkheim.”
Karena itu penghilangan budaya yang artinya penghilangan identitas ini harus dilawan?
“Iya. Itu artinya ya mau tidak mau orang Islam di Indonesia itu harus melakukan resistensi melawan itu. Karena kalau mereka dihilangkan identitasnya, masyarakat akan mengalami anomali dan hilang dari sejarah manusia. Kita lihat saja, berapa banyak bangsa yang hilang karena tak punya identitas kultural. Bangsa Kurdi, itu punya tokoh-tokoh besar, seperti Syeikh Sulaiman al-kurdi, Salahuddin al-Ayyubi itu orang Kurdi semua. Tapi sekarang kita tanya, dimana jejak bangsa Kurdi? Gak ada. Tinggal jadi suku-suku kecil. Kemana mereka? Sudah gak ada? Yang namanya Kurdistan itu tinggal dimana?”
“Kita lihat lagi di daerah Jordan di Kaukasus, pada bangsa … budayanya ilang sampai… di mana letak kerajaan Kaisar dulu? Ya sudah tidak ada. Kenapa? Tidak memiliki budaya. Maka mereka tak memiliki sejarah. Jadi di situ. Karena itu kalau orang Indonesia mau tetap eksis, harus melakukan resistensi, memperkuat budaya identitas kultural secara Nasional.”
Bagaimana dengan kelompok-kelompok yang atas nama agama, tapi anti budaya? Menyesatkan budaya dan membid’ahkannya?
“Itu sebenarnya bagian dari globalisasi. Karena itu lewat kelompok-kelompok agama tertentu itu dibayari orang, bahwa siapa yang masih punya identitas, budaya, habisi. Lewat kleompok-kelompok inilah orang mengatakan, loh ternyata kalian masih melakukan Tahlilan? Bid’ah! Masih melakukan Mauludan? Bid’ah! Dengan cara itu kita mau diglobalkan, dihilangkan identitas kita. Orang bayaran ini sebetulnya.”
“Lihat saja kelompok-kelompok itu bayaran semua. Ini bukan rahasia. Sekarang era global dan teknologi informasi berkembang. Kita tahu siapa mereka.”
Di Nusantara ini budaya NU dan Syiah sama, yang diserang oleh kelompok-kelompok itu. Bagaimana menurut Bapak?
“Begini. Sebetulnya proses antara bangsa itu saling berkembang, saling pengaruh-mempengaruhi. Nah itu kalau kita katakan Sunni-Syiah itu hitam putih, itu gak ada. Gak ada hitam-putih itu. Semua saling mempengaruhi. Imam-Imam Ahlusunnah, misalnya Imam Malik, Imam Abu Hanifah, itu muridnya Imam Ja’far as-Shadiq (Imam Syiah). Dimana kita mau memisahkan itu? Tidak bisa. Saling berkolerasi di situ. Jadi emang gak bisa kita pisahkan.”
Bagaimana sikap kita menghadapi orang-orang yang ingin menghancurkan identitas lokal kita ini?
“Ya satu, kita memperkuat budaya. Kelompok-kelompok yang dibayar ini kan orang jahat. Gak usah diladeni. Biarkan saja mereka. Yang penting kita memperkuat budaya kita, tradisi kita. Seperti di Jawa Timur kan ketika ada orang mengatakan, ‘Jangan melakukan Mauludan, kenapa kamu menghamburkan duit, bukin tumpeng segala?’ Orang sana cuma berkata, ‘Ini uang, uang saya sendiri, bukan uangmu. Kenapa kamu ribut? Aku punya tradisi, kujalankan sendiri. Jangan mengganggu kami.”
Bagaimana dengan tuduhan bahwa menjaga identitas budaya lokal itu terbelakang, tidak modern?
“Tidak. Modern bukan berkaitan dengan itu. Bangsa yang justru memiliki tradisi kebudayaan itu bangsa yang maju. Ambil contoh ketika di Rusia, itu diterapkan Komunisme, itu anti agama. Mesjid ditutup, orang ibadah tidak boleh, tetapi umat Islam di Rusia itu masih punya tradisi. Tradisi ini tidak dilarang dalam Komunisme karena dianggap sebagai bagian budaya. Sudah 75 tahun Komunisme dipraktikkan di Rusia. Begitu Komunisme rubuh, orang Islam di Rusia bangkit. Kenapa? Karena tradisi dan identitas mereka. Ternyata kita semua ini Muslim. Sementara orang yang tak punya tradisi, agama hanya dibatasi pada fikih, ilmu kalam dan begitu-begitu itu, habis mereka.”
“Saya ambil contoh. Ketika Walisongo menyebarkan Islam di Nusantara, itu dengan kesenian, budaya, tradisi dan macem-macem itu. Sementara di Utara kita, wilayah Mindanao, Philipina, Muslim semua itu. Waktu dijajah Spanyol, langsung 95% Katolik semua. Kenapa? Karena gak punya tradisi dan kebudayaan. Sementara kita punya itu. Meski 300 tahun lebih kita dijajah Belanda, tetap bertahan. Tetap Muslim.”
Sebagai penutup, apa pesan bagi bangsa Indonesia?
“Saya kira, jaga identitas kita. Identitas budaya kita. Komitmen kita, bahwa kita ini dasarnya Pancasila. Menghargai kebhinekaan dan seterusnya itu harus kita pegang. Jangan kita ikuti pandangan-pandangan dari luar secara membuta. Demokratisasi, Pluralisme, Fundamentalisme, jangan diikuti membuta. Teteplah komitmen rasional begini. Kalau ada yang tak setuju, ya silahkan keluar dari Indonesia.” (Muhammad/Yudhi)