Berita
Perjalanan Mencari Diri: Peleburan
(Catatan Keenam)
Ziarah Arbain adalah hari peleburan. Orang-orang miskin melebur dengan orang kaya, orang tua dengan remaja dan anak-anak. Orang awam melebur dengan ulama dan umara. Orang Arab melebur dengan orang Persia –yang biasanya jarang berakrab-akraban. Semua ego melebur dalam ego yang lebih besar; ‘ego’ Imam Husein dan nilai yang diperjuangkannya.
Di sini di Karbala ini, semua bangsa dan etnik seperti dipersatukan dengan tulus, diaduk dalam satu tujuan, satu fokus, satu arah. Ini bukan hal yang biasa. Hanya energi agung yang bisa mendamaikan pertentangan-pertentangan itu dalam langkah yang sama.
Sepanjang jalan menuju Karbala, saya mendengar para peziarah saling mendoakan. “Semoga Allah merahmati kedua orangtua kalian”, “Semoga Allah membalas kebaikan kalian”, dan doa-doa lain.
Dari pengeras suara saya mendengar orang bilang: “Wahai para pencinta Husein, ini adalah milik kalian. Semua dari kalian untuk kalian.” Dan dari pengeras suara saya juga dengar kisah-kisah menakjubkan yang melejitkan jiwa dan rasa.
Yang menakjubkan juga, para pelayan ini justru mendoakan para peziarah yang dilayani. Mereka seperti mendapat kebanggaan dan kegairahan melayani. Siapapun yang hanya mendengar laporan pandangan mata, tanpa melihat sendiri, mungkin takkan percaya dengan semua ini.
Ya, hanya Imam Husein yang bisa menggerakkan puluhan juta orang ini ke arahnya, mempertemukan mereka dalam suasana saling berkorban yang langka, di tengah derasnya arus materialisme dan kapitalisme yang menggila ini. Hanya dia dan yang sejalan dengannya.
Semua manusia layak mempelajari sejarah Imam Husein, dan layak menyaksikan sendiri pelayanan dan pengorbanan orang-orang yang telah mengenal dan mencintainya. Semua bangsa patut belajar dari kedermawanan bangsa Irak yang, meski dirundung berbagai nestapa, tetap memberikan yang terbaik dalam pelayanan untuk tetamu Imam Husein. Dan umat manusia wajib menjaga kelangsungan semua ini, agar tidak diterkam kejamnya mesin kapitalisme yang menghilangkan semua nilai-nilai di atas.
Terus-terang saya tak lagi menyaksikan suasana itu dalam diri bangsa kita, kecuali mungkin di kalangan masyarakat pedesaan yang belum terlalu diwabahi materialisme dan kapitalisme. Meski, tentu saja, media massa telah banyak merusak sisi-sisi moral mereka. (Abu Jawad/Yudhi)