Berita
Menakar Toleransi di Bumi Pertiwi
Dunia tengah dilanda berbagai krisis besar, salah satunya krisis intoleransi yang telah mengoyak banyak bangsa dan negara. Di saat inilah, 16 November yang dijadikan sebagai peringatan Hari Toleransi Dunia menjadi momentum yang sangat baik untuk mengembalikan semangat toleransi untuk menciptakan kedamaian.
Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani menyebutkan membangun toleransi memang menjadi tantangan. Secara global, isu intoleransi dan radikalisasi sendiri masih menjadi salah satu isu utama.
“Secara umum dunia radikalisasi masih menjadi salah satu isu utama di tingkat global. Artinya ada beberapa negara yang serius menghadapi persoalan ini,” ujar Ismail.
“Tapi jangan lupa, radikalisme bukan semata faktor ideologi. Tapi juga misalkan karena kurang kesejahteraan orang bisa jadi radikal, di mana agama adalah instrumen untuk meradikalisir. Di tingkat global saya kira kecenderungan konservatisme tingkat global memang menguat, tapi artikulasinya bermacam-macam.”
Toleransi di Indonesia
Di Tanah Air, tingkat toleransi rakyat Indonesia yang aslinya biasa hidup dalam kebhinekaan juga mendapat tantangan dan serangan yang tak kalah mengkhawatirkan. Secara umum, Indonesia masyarakatnya masih toleran, dan bahkan menurut Ismail isu toleransi menjadi salah satu isu diplomasi Indonesia di kancah internasional.
“Isu toleransi adalah isu ketiga diplomasi politik Indonesia di kancah internasional. Pendek kata sebagai negeri terbesar demokratis dengan Muslim terbesar di dunia. Karena itu pasti pemerintah akan memperhatikan dari tahun ke tahun,” terang Ismail.
Dari hasil riset Setara Institute yang meneliti 94 kota di Indonesia dalam hal mempromosikan dan mempraktikkan toleransi, sepuluh besar kota yang terbaik menjaga toleransi di kotanya adalah Pematang Siantar, Salatiga, Singkawang, Manado, Tual, Sibolga, Ambon, Sorong Pontianak dan Palangka Raya. Sementara 10 terburuk adalah Bogor, Bekasi, Banda Aceh, Tangerang, Depok, Bandung, Serang, Mataram, Sukabumi, Banjar dan Tasikmalaya.
“Kita tolok ukurnya melihat dari aturan tertulis, tindakan pejabat pemerintah dan ancaman kekerasan masyarakat pada suatu daerah. Dan yang paling buruk memang Jawa Barat, di mana Bogor yang paling tinggi. Ada 90 Perda diskrimnatif di Jawa Barat ini,” tutur Ismail.
Jawa Barat Paling Intoleran
“Riset kami tahun 2008-2011 mengkornfirmasi bahwa di Jabodetabek itu situasi intoleransi memang membahayakan. Pertama, Jakarta dan wilayah sekitarnya adalah parameter, maka seluruh ideologi apa pun pasti akan berkontes di Jakarta. Artinya, dia tempat bersemainya berbagai macam ideologi, jadi wajar situasi selalu panas,” terang Ismail.
Secara khusus, menurut Ismail daerah yang paling intoleran adalah Jawa Barat. “Jawa Barat selain penduduk besar, juga karena kesejarahan. Di Jawa Barat itu tak ada dominasi keagamaan yang dominan. Ada NU, Muhamamdiyah, Persis, FUI, dan lain-lain. Semua berkontes. Beda di Jatim yang dominasi NU dan Jateng yang abangan, itu adem aja. Tak terlalu tinggi. Tapi Jabar, karena tak ada yang dominan, kita menyebutnya perebutan otoritas keagamaan.”
“Ada 90 Perda diskriminatif di Jabar itu mengakomodir aspirasi sosiologis-politik kelompok intoleran. Juga politisasi identitas agama, menjadikan agama sebagai alat politik. Contoh, di Depok dulu Badrul Kamal ketika berkontes menyebut lawannya Ahmadiyah, maka gak dipilih lagi. Atau Fauzi Bahar di Sumatera Barat, juga Bima Arya di Bandung yang mengeluarkan Perda pelarangan peringatan Asyura Muslim Syiah di Bogor itu.”
“Dan ini berimplikasi di situ (tingkat toleransi/intoleransi). Misalnya seberapa besar dia memberikan pengaruh ke Wali Kota. Itulah indikator kekuatan politik dia,” papar Ismail.
“Kelompok intoleran kan juga ikut berkontes. FUI itu juga didirikan di Bandung, tokoh-tokohnya di Bandung. Dan mereka sangat efektif mengorganisir gerakan anti-Syiah.”
Menurut Ismail jika ini terus dibiarkan, Syiah akan sangat dirugikan. “Yang pasti, stigmatisasi sesat itu akan melekat pada temen-temen penganut Syiah. Lalu dampak ikutannya adalah diskriminasi, dan yang paling berbahaya adalah yang ketiga, tertanamnya pengetahuan itu pada generasi muda kita, bahwa Syiah adalah kelompok yang sesat. Jadi promosi kebencian ini tak tak hanya berlaku hari ini. Tetapi di masa mendatang, secara terus-menerus kelompok intoleran ini bisa melakukan diskriminasi dan persekusi,” ujar Ismail.
Hari Toleransi Bagi Korban Intoleransi
Bagaimana Hari Toleransi Dunia dimaknai oleh korban intoleransi yang sampai sekarang masih terlunta-lunta nasibnya karena terusir dari tanahnya sendiri ini?
Iklil Al Milal, koordinator pengungsi Syiah Sampang yang sudah 3 tahun terusir dari tanah kelahirannya bersama ratusan warga Muslim Syiah Sampang lainnya menyayangkan di Hari Toleransi ini masih banyak kelompok-kelompok yang menodai toleransi.
“Di Hari Toleransi ini masih banyak kelompok-kelompok yang masih mengadudomba saudara-saudara sesama Muslim. Intoleransi inilah yang ujungnya adalah kekerasan seperti yang menimpa kami,” ujar Iklil.
“Kalau intoleran itu ujung-ujungnya pasti untuk mereka merusak dan menyerang. Terbukti pada kita akhirnya kelompok intoleran itu mengusir kita dari rumah, menyerang kita, membunuh kita. Itu kan terbukti jadi terorisme. Dan itu jelas melanggar hukum dan Undang-Undang.”
Menurut Iklil, di sinilah mestinya seluruh pihak ikut bergerak menyuarakan dan mempromosikan toleransi. “Siapa lagi yang menyuarakan kalau bukan kita untuk mengajak menghargai dan menghormati? Seharusnya di Hari Toleransi Dunia ini, kita harus toleran. Kembalilah ke agama kita masing-masing. Intinya agama itu kan toleransi, kasih sayang dan cinta?” ujar Iklil. “Semua orang menginginkan hidup damai dan dihormati keyakinan dan cara hidupnya. Mari kita bangun itu semua, bersama-sama,” tambahnya. (Muhammad/Yudhi)