Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Tanggapan atas Tanggapan Fahmi Salim

Pengantar

Seperti dimuat dalam tulisan berjudul Menjawab 20 Tuduhan Palsu Atas Syiah beberapa waktu lalu, disebutkan bahwa akhir-akhir ini di berbagai media sosial marak beredar berbagai tuduhan terhadap Syiah dari para hater yang pada umumnya berpijak pada karangan dan rekaan belaka. Sementara publik yang menerima berbagai tuduhan dan fitnahan murahan semacam itu pada umumnya juga tidak cukup punya waktu untuk melakukan cross check secara mandiri. Tak jarang pula mereka memang tak punya kemampuan untuk secara langsung mengecek ke sumber-sumber asli berbahasa asing yang seolah-olah dirujuk oleh para hater tersebut.

Respon positif yang didapatkan redaksi dari para viewer dan pembaca tulisan Menjawab 20 Tuduhan Palsu Atas Syiah  tersebut, setidaknya menunjukkan bahwa selama ini memang telah terjadi apa yang bisa disebut sebagai pembodohan dan pembohongan publik, baik oleh orang-perorang maupun kelompok tertentu yang anti toleransi dan anti ukhuwah dengan beragam cara, dan harus diakui bahwa korban terbesarnya adalah publik yang dalam hal ini memang tak cukup punya waktu untuk melakukan cross check lebih lanjut atau karena faktor ketidakmampuan mengakses rujukan yang validitasnya terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan.

Demi menghindarkan publik berulangkali mengalami nasib sial terperosok ke lubang yang sama, di tengah bombardir informasi dan stigma buruk atas Syiah, salah satunya dengan kampanye dan slogan bahwa “Sunni – Syiah Mustahil Bersatu,” kali ini ABI Press akan menurunkan sebuah tulisan berupa Tanggapan atas Tanggapan terhadap tulisan Fahmi Salim, yang sesuai pengakuannya sendiri adalah seorang alumnus S2 Universitas al-Azhar, sekaligus Sekertaris Komisi Dakwah MUI Pusat dan Ketua MIUMI DKI Jakarta, yang secara sepihak menyatakan bahwa seruan ukhuwah Islamiyah yang diprakarsai banyak tokoh dan ulama terkemuka dari kedua mazhab Sunni dan Syiah sebagai “lagu lama” dan “gagasan basi” belaka.

Demi memperjelas alur dan kronologi munculnya tulisan berisi Tanggapan atas Tanggapan ini, berikut ABI Press muat juga tulisan yang pada awalnya ditanggapi (atau lebih tepatnya dikritik) oleh Fahmi Salim di Republika.

Sunni dan Syiah Bersatu, Mungkinkah? (Bag 1) 

Selama berabad-abad lamanya, hubungan antara Sunni dan Syiah terus diwarnai perselisihan. Berbagai dialog untuk mempertemukan kedua aliran dalam Islam itu kerap dilakukan. Namun, ketegangan di antara kedua kubu itu tak juga kunjung mereda.

Akankah kedua aliran besar dalam Islam itu bersatu? Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah, berupaya mencari benang merah yang bisa menautkan antara Sunni dan Syiah. Tokoh kelahiran Troblus, Lebanon pada 1924 itu mencoba menghadirkan perspektif yang berbeda dan mengkaji kedua aliran itu secara fair, tanpa menghilangkan bobot dan nilai akademik.

Kitab ini mengkaji tentang kemungkinan mempersatukan antara dua kubu Sunni dan Syiah. Ar-Rifa’i menyertakan beberapa kajian penting dalam kitabnya. Ia mengupas bahasan tentang sebab kemunculan faham keagamaan Syiah, alasan penting bersatu, varian sekte yang ada dalam Syiah, serta prinsip-prinsip dan faham keagamaan mereka.

Bebarapa hal penting menjadi perhatian ar-Rifa’i, di antaranya perbedaan hukum nikah mut’ah, konsep imamah, dan kemunculan Imam al-Mahdi. Ulasan tentang persoalan itu diuraikan dengan mengomparasikan pandangan kedua belah pihak. Kesimpulannya, diarahkan untuk mencari persamaan yang mempertemukan Sunni dan Syiah.

Ar-Rifa’i menegaskan, mempertemukan kedua kubu itu bukanlah hal yang mustahil. Perbedaan yang selama ini mencuat, kata dia, pada hakikatnya bukan persoalan prinsip, melainkan masalah khilafiah yang dapat ditoleransi. Pada tataran ijtihad dan tradisi ilmiah lain, misalnya, terbuka peluang Sunni-Syiah bertemu.

Setidaknya, menurut dia, pemandangan tentang sikap saling menghormati dan toleransi diteladankan oleh para ulama Salaf. Imam Abu Hanifah mewakili Sunni dan Imam Ja’far bin ash-Shadiq mewakili Syiah. Meski berbeda mazhab dan cara pandang, kedua tokoh tak saling bermusuhan dan tidak saling menafikan.

Menurut ar-Rifa’i, keduanya justru saling meningkatkan sikap hormat dan menghormati. Dalam sebuah kisah dijelaskan bagaimana kedua pemimpin yang berbeda aliran itu hidup berdampingan dalam ukhuwah Islamiah.

Dikisahkan, Zaid bin Ali seorang pemimpin kelompok Syiah Zaidiyyah—menerima pelajaran fikih dan dasar akidah dari Abu Hanifah yang notabene tersohor sebagai imam di kalangan Sunni. Demikian sebaliknya, Abu Hanifah mempelajari hadis dan disiplin ilmu lainnya dari Imam Ja’far ash-Shadiq.

Bahkan, Abu Hanifah berguru langsung ke tokoh Syiah tersebut selama dua tahun penuh. Pujian pun kerap dilontarkan Abu Hanifah ke gurunya itu. Tak pernah bertemu guru lebih fakih dibanding Ja’far bin Muhammad.”

Tanggapan Fahmi Salim yang Mengkritik Republika

Yth. Redaksi Republika

Republika masih angkat soal Taqrib antara Sunni dan Syiah di koran hari Ahad 8 Nov hal. 18 di rubrik Islam Digest..

Sunni dan Syiah Bersatu, Mungkinkah? (Bag 1) 

Sedikit tanggapan saya:

Pertama, tulisan itu hanya mengulang lagu lama Pak Quraish Shihab, cuma sedikit diupgrade menggunakan buku terbitan Lebanon karya Ust. Musthafa Rifai sbb kalau mengacu ke buku QS maka para pembaca sdh paham gagasan yg basi. Apalagi tim penulis pondok pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur telah membantahnya secara ilmiah.

Kesalahan kedua, tulisan itu memposisikan Imam Ja’far Shadiq sbg tokoh syiah dan juga Imam Zaid bin Ali, padahal keduanya adalah imam ahlussunnah wal jamaah. Untuk lebih jauh membuktikan kesunnian Imam Jakfar dan jauhnya akidah beliau dari klaim Syiah silakan baca buku biografi Imam Jakfar yg ditulis oleh sarjana ahli Tafsir jebolan Universitas al-Azhar, Dr. Muchlis M Hanafi yg diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati.

Ketiga, informasi yg tdk update, bahwa lembaga taqrib di Al-Azhar sudah lama non aktif karena banyak ditentang oleh para ulama besar Al-Azhar sendiri spt Syekh Muhammad Arafah (anggota Hay’ah Kibar Ulama Azhar), Syekh Hasanain Makhluf (mantan Mufti Agung Mesir), Syekh Gad elHaq Ali Gad elHaq mantan grand Syekh al-Azhar, Dr. Abdul Mun’im Annimr (mantan wakil Grand Syekh al-Azhar dan menteri wakaf Mesir), serta Syekh Athiyyah Shaqr (ketua komisi fatwa al-Azhar) dll krn terbukti terkuak taqiyahnya Al-Qummi dan tak sesuai harapan krn Abdul Husain al-Musawi salah satu penggerak motor Taqrib ternyata menerbitkan kitab al-Muraja’at isinya surat menyurat fiktif dia dg yg diklaim sbg Syekh al-Azhar yaitu Fadhilatu Syekh Salim al-Bisyri, sehingga Syekh Gad elHaq perintahkan Ulama Azhar utk mentahqiq dan membantah buku fiktif tsb. Syekh Prof. Dr. Yusuf Qardhawi yg hendak menghidupkan lembaga Taqrib itu pun pada akhirnya menyerah tidak mau lagi berdialog dg kaum Syiah karena 3 permintaannya kpd mereka utk mengakui status kesempurnaan Quran, tidak mencaci sahabat Nabi, mencegah penyebaran madzhab Syiah di negeri2 sunni atau sebaliknya, tidak diindahkan bahkan kerap dilanggar oleh Syiah dengan dalih Taqrib untuk menyebarkan paham Syiah di tengah masyarakat sunni. (Lebih jauh baca kitab Fatawa Muashirah jilid 4, hal. 251 dst). Di kitab Fatawa itu, Syekh Qardhawi menyatakan: “Perbedaan yg sebenarnya antara madzhab Ahlussunnah dg Syiah imamiyyah adalah dalam ushul bukan dalam furu’. Oleh karena itu pernyataan paling jelas bagi perbedaan ini ialah perbedaan dua firqah aqidah, Ahlussunnah dan syiah imamiyyah, bukan antara dua madzhab fiqih.” (hal. 254)

Keempat, sampai hari ini sejak diwacanakan pengajaran fiqih jakfari syiah di Al-Azhar tahun 60 an tidak pernah terwujud krn banyak ditentang para Ulama guru besar syariah di Al-Azhar. Yg terealisir adalah proyek mausu’ah fiqih 8 madzhab di masa orde Presiden Gamal Abd Nasser. Selebihnya tdk pernah diajarkan fiqih syiah baik Jakfari dan Zaidi di lingkungan al-Azhar. Sbb al-Azhar hanya mengakui keabsahan 4 madzhab ahlussunnah saja yg berhak diikuti. Ini bisa dibuktikan oleh banyak alumni al-Azhar yg sejak awal masuk mendaftar harus mengisi pilihan madzhab fiqih apa yg hendak diajarkan, dan tak pernah dijumpai pilihan madzhab Jakfari dan Zaidi di formulir pendaftaran kuliah Al-Azhar.

Sekian. Wallahu waliyyu attaufiq.

Fahmi Salim, alumnus S2 Universitas al-Azhar. Sekertaris Komisi Dakwah MUI pusat dan Ketua MIUMI DKI Jakarta.

Berikut ini tulisan berisi Tanggapan atas Tanggapan yang kami maksud:

Tanggapan atas Tanggapan Fahmi Salim

Pertama-tama, kita patut mengapresiasi Saudara Fahmi Salim atas upayanya menanggapi tulisan berseri Republika tentang pendekatan antar mazhab Islam berikut ini: http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/13/lxq9m5-sunni-dan-syiah-bersatu-mungkinkah-bag-1#

Kita sepakat dan mendukung cara dialog. Mari kita berdialog dengan pikiran jernih dan hati tenang terkait berbagai perbedaan dan persamaan kita. Dan tentu, seperti semua dialog lain, yang inipun harus bertujuan mencari persamaan demi terciptanya perdamaian dan persaudaraan. Dalam rangka dialog itulah kami ingin memberikan beberapa tanggapan atas tanggapan ringkas Saudara Fahmi Salim atas tulisan di Republika di atas.

Pertama, tulisan Dr. Musthafa Ar-Rafi’i tidak mengulang apa yang telah disampaikan oleh Ustaz Prof. Quraish Shihab (QS). Meski memiliki semangat taqrib (pendekatan antar mazhab) yang sama, tapi kedua buku itu tetap memiliki pendekatan dan isi yang berbeda. Ungkapan Fahmi Salim bahwa gagasan mereka basi sebenarnya lebih merupakan pandangan subjektif. Apalagi prestasi dan kredibilitas keulamaan kedua penulis di atas tidak diragukan lagi di dunia akademis, terutama dalam ilmu-imu Alquran. Ditambah lagi tampaknya Saudara Fahmi Salim telah memberikan penilaian tanpa membaca isi kedua buku tersebut. Buktinya, seperti halnya penulis Republika, Saudara Fahmi Salim menuliskan nama penulisnya secara salah, yakni Ar-Rifai. Padahal yang benar nama penulis buku tersebut adalah Ar-Rafi’i. Kami menyarankan agar Saudara Fahmi Salim membaca kembali buku tersebut sebelum menjatuhkan penilaian.

Kedua, Fahmi Salim menyatakan bahwa Imam Ja’far Shadiq dan Imam Zaid bin Ali sebagai Imam Ahlussunnah wal Jamaah. Untuk lebih jauh membuktikan kesunnian Imam Ja’far dan jauhnya akidah beliau dari klaim Syiah silakan baca buku biografi Imam Ja’far yg ditulis oleh sarjana ahli tafsir jebolan Universitas al-Azhar, Dr. Muchlis M Hanafi yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati.

Pernyataan Saudara Fahmi Salim dan “pembuktian” Dr. Muchlis M Hanafi—jika memang benar mengarah pada kesimpulan di atas—meniscayakan perombakan seluruh kurikulum, materi pendidikan, sejarah pemikiran Islam dan studi keislaman lain yang selama ini telah terbit dan mengklasifikasikan mazhab Zaidi dan Ja’fari di luar mazhab Ahlussunah wal Jamaah. Semuanya harus dirombak dan disusun ulang berdasarkan pernyataan Saudara Fahmi Salim dan Dr. Muchlis Hanafi. Jika memang ada konsensus baru seperti itu, maka tentu ini berarti tidak ada lagi mazhab Sunni dan Syiah karena mereka semua sudah menyatu dalam payung Ahlussunnah wal Jamaah.

Namun demikian, konsekuensi dari pernyataan Saudara Fahmi Salim dan pembuktian Dr. Muchlis M Hanafi—sekali lagi jika memang benar mengarah pada kesimpulan di atas—bakal melahirkan revolusi di dunia Islam, bukan saja di tingkat teoritis tetapi juga di tingkat praktis. Selain itu, berdasarkan klasifikasi itu, harus dinyatakan bahwa mazhab Sunni tertua adalah Zaidiyyah (karena Imam Zaid bin Ali lahir pada 76 H., dan karenanya), urutan kedua adalah mazhab fiqih Ja’fari karena Imam Ja’far merupakan guru dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, dua pendiri mazhab tertua lainnya. Yang jelas, setelah konsensus baru itu, nomenklatur mazhab dalam Islam bakal dihilangkan, karena semuanya masuk dalam satu nomenklatur mazhab Sunni.

Ketiga, soal informasi yang tidak update tentang lembaga taqrib di Al-Azhar yang sudah lama non aktif. Menurut Saudara Fahmi Salim, lembaga itu tidak aktif lagi karena banyak ditentang oleh para ulama besar Al-Azhar sendiri, seperti Syekh Muhammad Arafah (anggota Hay’ah Kibar Ulama Azhar), Syekh Hasanain Makhluf (mantan Mufti Agung Mesir), Syekh Gad el-Haq Ali Gad el-Haq (mantan Grand Syekh Al-Azhar), Dr. Abdul Mun’im Annimr (mantan Wakil Grand Syekh Al-Azhar dan Menteri Wakaf Mesir), serta Syekh Athiyyah Shaqr (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar) dan lain-lain, karena terbukti terkuak taqiyahnya Al-Qummi dan tak sesuai harapan karena Abdul Husain al-Musawi salah satu penggerak motor taqrib ternyata menerbitkan kitab al-Muraja’at yang isinya surat menyurat fiktif dia dengan yang diklaim sebagai Syekh Al-Azhar, yaitu Fadhilatu Syekh Salim al-Bisyri, sehingga Syekh Gad el-Haq perintahkan Ulama Azhar untuk mentahqiq dan membantah buku fiktif tersebut.

Saudara Fahmi Salim mengungkapkan semua itu tanpa menyertakan satu bukti valid dari informasi yang dia ungkapkan. Lagipula, ketidaksetujuan ulama yang dia sebutkan tidak menggugurkan persetujuan sekian banyak ulama Al-Azhar lain seperti Syaikh Al-Azhar Syaikh Syaltut, Syaikh Muhammad Abu Zuhra, Syaikh Muhammad Al-Ghazali dan lain-lain. Karya-karya ulama Al-Azhar yang saya sebutkan terakhir ini jauh melampaui karya-karya ulama Al-Azhar yang disebutkan oleh Saudara Fahmi Salim sebagai tidak setuju dengan taqrib.

Alasan penolakan ulama Al-Azhar melakukan pendekatan karena Syiah menggunakan taqiyah juga alasan yang mengada-ada. Pasalnya, taqiyah adalah sikap dan praktik orang Mukmin yang diabadikan oleh Alquran. Rujuk Alquran surah Ali Imran ayat 28: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti (tuqatan) dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” Jadi, memelihari diri (taqiyyah) dari sesuatu yang ditakutkan dan membahayakan adalah sikap yang dibenarkan oleh Alquran dan akal sehat. Apakah ada yang merasa dirinya lebih baik dan lebih mulia daripada sikap orang Mukmin yang disebutkan dalam ayat di atas? Tentu saja tidak. Namun, untuk dapat memahami prinsip taqiyyah dalam ayat di atas, orang perlu mengetahui etimologi dan kaidah bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf. Melalui ilmu-ilmu alat bahasa Arab itulah kita mengetahui bahwa taqiyyah memiliki akar kata yang sama dengan kata tuqatan yang dipakai dalam ayat di atas.

Alasan bahwa “Syekh Prof. Dr. Yusuf Qardhawi yang hendak menghidupkan lembaga Taqrib itu pun pada akhirnya menyerah tidak mau lagi berdialog dengan kaum Syiah karena 3 permintaannya untuk mengakui status kesempurnaan Alquran, tidak mencaci Sahabat Nabi, mencegah penyebaran mazhab Syiah di negeri-negeri Sunni atau sebaliknya, tidak diindahkan bahkan kerap dilanggar oleh Syiah dengan dalih Taqrib untuk menyebarkan paham Syiah di tengah masyarakat Sunni” juga tidak dapat diterima. Selain karena permintaan itu sudah ada sebelum diminta, yakni bahwa jumhur ulama Syiah mengakui kesempurnaan Alquran dan tidak mencaci maki Sahabat, mereka juga sudah sepakat untuk tidak mendakwahkan Syiah di kalangan Sunni melalui Deklarasi Qatar. Sampai sekarang Dr. Yusuf Qardhawi atau siapa pun tidak bisa membuktikan ada gelombang dakwah Syiah yang dilakukan oleh lembaga atau organisasi Syiah. Permintaan bukti dan data valid ini pernah disampaikan secara terbuka oleh Sekjen Hizbullah Hasan Nashrallah beberapa tahun silam, agar dia atau tokoh Syiah lain bisa secara terang-terangan mencegah atau menolak aksi yang dituduhkan itu—bila memang benar-benar terjadi. Dalam kenyataannya, seperti kata Sayyid Hasan Nashrallah, secara praktis, lebih mudah bagi Iran menambah jumlah Syiah dengan meminta warganya memperbanyak anak ketimbang melakukan dakwah di kalangan mayoritas Sunni. Biaya untuk yang pertama jauh lebih ringan ketimbang usaha yang kedua—jika memang benar-benar itu mau dilakukan.

Keempat, di poin keempat ini, Saudara Fahmi Salim menggugurkan klaimnya sendiri soal Imam Ja’far, mazhab Ja’fari, Imam Zaid dan mazhab Zaidi. Di sini dia mengakui bahwa pengajaran mazhab Ja’fari dan mazhab Zaidi  (yang berada di luar empat mazhab Sunni) di lingkungan Al-Azhar tidak terealisir. Alasannya, Al-Azhar hanya mengakui keabsahan 4 mazhab Ahlussunnah saja yang berhak diikuti. Ini bisa dibuktikan oleh banyak alumni Al-Azhar yang sejak awal masuk mendaftar harus mengisi pilihan mazhab fiqih apa yang hendak diajarkan, dan tak pernah dijumpai pilihan mazhab Ja’fari dan Zaidi di formulir pendaftaran kuliah Al-Azhar.

Jadi, benarkah mazhab Ja’fari tidak diajarkan di Al-Azhar? Jawabannya tidak benar. Hingga hari ini fiqih Ja’fari dan Zaidi tetap diajarkan sebagai bagian dari studi mazhab-mazhab fiqih Islam. Menteri Awqaf Mesir yang sekarang, Muhammad Mukhtar Jum’ah sendiri mengakuinya dan membanggakannya dalam wawancara dengan media Al-Bawab. Berikut ini linknya: http://www.albawabhnews.com/802209

Selain itu, jika klaim Saudara Fahmi Salim soal jauhnya Imam Ja’far dan Imam Zaid serta kedua mazhab mereka dari Syiah itu benar, maka justru seharusnya dia mendukung pengajaran keduanya di lingkuran Al-Azhar dan di berbagai perguruan tinggi Islam lain, minimal untuk membuktikan bahwa kedua Imam itu bukan Imam Syiah tapi Imam Ahlussunnah wal Jamaah. (Musa/Yudhi)

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *