Berita
Seberapa Efektif Surat Edaran Penanganan Hate Speech Atasi Intoleransi?
Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech 8 Oktober 2015 lalu hingga kini masih menuai pro dan kontra. Di satu sisi SE ini diapresiasi dan dianggap sebagai langkah positif mencegah akibat buruk hate speech, di sisi lain dikhawatirkan bisa menjadi celah untuk membungkam kebebasan berekspresi.
ABI Press kali ini menghadirkan wawancara dengan Atika Yuanita P., S.H., M.H., Litbang LBH Jakarta untuk lebih memahami hal ini.
Bagaimana pendapat Anda mengenai Surat Edaran ini?
“Kita sudah baca Surat Edaran (SE) itu, dan kita lihat bahwa sebenarnya agak gambling juga di penerapan, karena kita di satu sisi mendukung kebebasan berekspresi, terus di sisi yang lain untuk beberapa kasus khususnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan itu menguntungkan. Tapi di satu sisi yaitu di sisi kebebasan berekspresi itu akan mengganjal di UU ITE, yang seperti kita ketahui bahwa di situ banyak celah di UU ITE. Apalagi di penerapan, di UU aja ada banyak celah.”
“Terkait dengan SE ini, secara keseluruhan kita mendukung. Tapi kan tetap, mau sebagus apa pun kalau implementasinya di lapangan tetap tak bisa kita kontrol itu akan sulit. Memang ini agak simalakama. Karena di Amerika sendiri ada 2 mazhab. Misalnya, hate speech itu pantas gak pelakunya dapat pidana? Satunya bilang iya, mazhab satunya tidak. Di Amerika lebih fokus hate speech itu tidak diberi pidana, misalnya sanksinya berupa denda atau seperti itu, seperti di perdata, bukan pidana. Karena kerugian publiknya susah dihukum. Kalau hate speech yang dirugikan siapa, sebesar apa gitu. Tapi kalau menyasar ke orang, bisa diukur. Nah, kita belum tahu juga karena belum tahu penerapannya di lapangan.”
Bagaimana Anda sendiri melihat reaksi jaringan aktivis KBB terkait SE ini?
“Untuk di jaringan KBB bilangnya, beberapa lembaga punya andil mendesak kepolisian ya harus penyelesaian kasusnya dipidanakan. Tapi di jaringan yang lain bilang, aduh itu kita gak main lah. Lagian ini kan tingkatnya SE, dan ini berlaku internal dan masih ada UU yang lebih tinggi. Itu yang menjadi patokan kita. Itu SE jadi patokan buat polisi untuk ngingetin, hei kalian punya surat edaran loh, di internal sendiri. Kalau di internal tak diterapin gimana yang di luar? Sebenernya fungsinya lebih seperti itu sih. Lebih ke penguat untuk beberapa kasus. Tapi untuk yang lain kita punya UU yang lain.”
Bagaimana nanti rencana penerapannya untuk kasus KBB?
“Kalau untuk jaringan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) itu kita mau coba SE ini untuk penekanan. Jadi masih coba dulu, kasus apa yang mau kita naikin untuk menekan pihak kepolisian, kasus harus ditangani. Karena yang selama ini tak tertangani kan kasus kekerasan KBB. Mana pelakunya? Kenapa harus korban terus yang dipidanakan? Dan biasanya itu lebih tinggi si korban sanksi pidananya daripada si pelaku. Itu yang mau kita coba, efektif nggak di lapangan.”
“Salah satu kenapa dikeluarkan SE itu kan karena hate speech semakin meluas. Dan ancamannya terhadap demokrasi, kerukunan dan segala macam. Kenapa dikeluarkan oleh Kapolri salah satunya itu, bahwa semakin meningkatnya hate speech semakin dampaknya meluas bisa menumpahkan gejolak-gejolak di masyarakat.”
Apakah SE ini secara praktis bisa lebih efektif menangani hate speech seperti di khotbah-khotbah atau selebaran-selebaran provokatif yang beredar itu?
“Biasanya gini, pihak kepolisian, berdasarkan pengalaman lebih mendengar internalnya, Kapolrinya, maka untuk kasus KBB mungkin bisa lebih efektif. Sebetulnya memang itu kan tugas kepolisian untuk mencari pelakunya. Kalau misalnya kita melakukan itu, SE sudah keluar, tapi implementasi di lapangan kita gak tahu. Kita juga belum coba per kasus penekanannya, misal LBH menyurati atau apa. Dan itu kan sifatnya SE bukan UU, jadi kita mengacu pada UU saja. LBH kemungkinan baru penekanannya pada pilah-pilah lah untuk kasus mana yang bisa dipakai masuk ke situ untuk positif, mana yang nggak.”
Bagaimana dengan kekhawatiran nanti SE ini bisa membungkam kebebasan berekspresi?
“Nah, kalau masuknya kan ke kebebasan berekspresi, orang kan ketika berbicara di depan umum akan berkait dengan ITE. Ini yang saya sebut gambling, kalau itu diterapkan pada kebebasan berekspresi. Karena akan kena di mana-mana kan? Misal di publish atau komentar atau kritik sama orang patokannya akan di KUHP itu kan bisa penghinaan, fitnah. Ini yang memang bikin kita bingung. Nah ini bahayanya memang di situ. Minusnya di situ.”
“Makanya, SE ini di satu sisi bisa dijadikan standard buat kita untuk ingatkan kepolisian bahwa sudah ada SE yang sifatnya internal. Tapi di sisi lain, tidak usah mengacu ke situ titik tekannya. Mengacu saja ke UU yang lebih tinggi. Jadi lebih implementatif.”
“SE kita mengacunya pada UU yang lebih tinggi saja. Misal KUHP, UU ITE, karena akan balik lagi ke sini. Juga UU penyelesaian konflik sosial, itu juga kembalinya ke KUHP dan ITE untuk sanksi pidana. Itu memang dua hal yang harus kita cermati. Lebih ke penekanan ke internal. Kalau keluar pasti gak gitu berdampak.”
Dengan SE ini, kita melihat polisi semakin kuat posisinya, bagaimana pendapat Anda?
“Nah, kita juga khawatirnya di situ. Ini semakin kayak melegitimasi peran polisi. Karena di situ di klausul pencegahannya, polisi bisa investigasi ke masyarakat. Jadi kalau pada masa gejolak bisa kayak intelijen. Tapi pada konflik sosial seperti itu, penyelesaian polisi bisa musyawarah. Saya juga agak bingung juga ngebayanginnya, nanti implementasinya seperti apa? Itu kan kayak diskresi menyelesaikan itu.”
Masyarakat sendiri bagaimana mesti menyikapinya?
“Kita harap masyarakat lebih aktif. Polisi dikasih kewenangan seperti itu, misal pencegahan, misal sudah terjadi ada gejolak-gejolak sosial karena hate speech, polisi bisa lakukan pencegahan, pertemukan antara pelaku dan korban. Ya saat itu diharapkan masyarakat lebih aware, lebih memperhatikan sejauh mana sih kewenangan polisi, polisi sudah melakukan apa saja.”
“Makanya yang penting dari momen ini adalah pendokumentasian. Inilah peran-peran kita, khususnya LBH Jakarta. Masyarkaat juga harus disadarkan bahwa bahaya-bahaya itu seperti apa. Terus masyarakat perlu melakukan, misalkan salah satunya pendokumentasian. Misal ada konflik sosial, kalau masyarakat tidak merasa itu konflik dan bisa diselesaikan sendiri tanpa campur tangan kepolisian boleh kan? Misal dengan pemuka adat.”
Untuk polisi, apa yang harus ditekankan?
“Ini polisi diberikan kewenangan sampai seperti ini. Ya kita harapkan mereka mengayomi, melindungi masyarakat. Bukannya malah mengkriminalisasi masyarakat. Mengayomi, melindungi masyarakat, sesuai dengan sumpah dan tugas polisi itu sendiri.” (Muhammad/Yudhi)