Berita
Korelasi Intoleransi Dengan Kinerja Buruk Pejabat
Kasus Wali Kota Bima Arya yang melarang peringatan Asyura di Bogor menuai banyak protes karena tindakannya dinilai mengkhianati konstitusi dan sumpah jabatan untuk melindungi warganya. Bima Arya malah menjadi aktor intoleran, ketika ia mestinya menjamin kebebasan beribadah setiap warganegara.
Menurut banyak orang yang mengenal Bima, hal ini akibat kinerjanya sebagai wali kota yang minim prestasi, khususnya dalam menyejahterakan warga Bogor, sehingga ditempuhlah atraksi politik yang tak elok ini.
ABI Press kali ini menghadirkan wawancara dengan seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakkir, tentang apa sebenarnya hubungan antara intoleransi dengan buruk atau gagalnya peran pemerintah dalam menyejahterakan rakyat.
Apakah benar, ada korelasi antara intoleransi dengan buruknya kinerja seorang pejabat atau suatu pemerintahan?
“Memang seperti itu. Bima Arya itu kan secara prestasi kinerjanya di bawah rata-rata. Dan kecenderungannya sudah lama. Wahid Institute bikin tiap tahun itu kan selalu ada, meskipun mereka tidak menganalisis secara spesifik, tapi kalau mau dilihat secara detail, bisa dilihat bahwa di daerah-daerah yang terjadi intoleransi itu, adalah daerah-daerah yang mengalami kemacetan dalam pembangunan. Daerah yang pemerintahnya buruk, pelayanan publiknya juga buruk. Dan di situlah biasa terjadi kasus-kasus intoleransi. Tapi di daerah yang dinilai berprestasi dalam konteks pembangunan sosial masyarakat setempat itu relatif lebih sedikit terjadi.”
Bisa berikan contoh daerahnya?
“Di Surabaya misalnya, atau kita lihat di Kalimantan, yang terkenal kota yang bagus, atau di Sulawesi. Cek saja di kota-kota yang dianggap 10 kota terbaik di Indonesia. Atau di Jakarta pada masa Ahok ini ya, relatif isu-isu intoleransi itu tidak muncul.”
“Ini juga menunjukkan bahwa (celakanya) negara tidak hanya membiarkan, tapi juga bermain dalam isu-isu intoleransi. Nah kalau negaranya bekerja dengan baik, meskipun tidak secara spesifik dia mengerjakan program-program yang sifatnya, yang kemudian dianggap bagian dari toleransi dalam pengertian aktivis toleransi, secara tidak langsung mereka menciptakan kondisi yang mencegah intoleransi terjadi.”
“Hipotesis saya, di daerah yang kinerjanya itu baik, maka intoleransi relatif sedikit. Sebaliknya di daerah yang kinerjanya buruk, maka di situ potensi intoleransi itu tinggi.”
Apakah ini hanya terjadi di Indonesia saja, atau juga di tempat lain?
“Ini fenomena global, tak hanya di Indonesia. Di Barat hal yang sama melanda kolompok imigran Muslim. Mereka itu kan secara ekonomi termarginalkan, mereka mengalami maldistribusi. Secara kultural mereka juga dianggap minoritas. Juga mengalami misrekognisi yang secara politik juga pinggiran, karena tak punya akses pada politik.”
“Contoh di Eropa itu, gerakan xenophobia itu kan muncul seiring dengan merosotnya program welfare-state. Di mana negara kolaps karena membutuhkan uang banyak, lalu negara memilih jalan yang lebih liberal, mereka harus mengurangi subsidi ke program sosial, muncullah saat itu entah itu rasisme, xenopobia, anti-Islam. Jadi ada koneksinya.”
“Artinya gerakan-gerakan yang sifatnya anti, entah itu anti kelompok lain atau bahkan anti pendatang dan orang asing, itu selalu berkorelasi dengan menurunnya kinerja negara dalam menyelengggaran public goods.”
“Itu sebenernya sama seperti di kita. Di Indonesia kan sejak negara tidak hadir dalam gerakan self crisis yang baik pada masyarakat. Dengan program-program yang lebih mementingkan sektor privat dari sektor publik, maka sejak saat itulah muncul radikalisme identitas yang membuat orang-orang yang minoritas dianggap bukan bagian dari ‘kita’.”
Jadi aspek ekonomi, kultural dan politik itu tak bisa dipisahkan?
“Betul sekali. Selalu di mana pun, secara politik minoritas itu mengalami 3 dilema ini. Dilema maldistribusi, misrekongnisi dan misinterpretasi. Dari aspek ekonomi, kultural dan politik. Jadi tidak pernah satu atau dua. Selalu ini selalu berkaitan. Makanya saya tidak percaya bahwa kalau ada isu minoritas itu hanya soal agama, soal budaya, atau ini hanya soal ekonomi. Selau bersifat simultan semuanya.”
“Dan masalahnya lagi adalah pada aspek misinterpretasi tadi, masalahnya sekarang tidak hanya dalam konteks nasional, tapi juga globalisasi turut mengembalikan pengaruh terhadap proses intoleransi dan minoritisasi tadi ya.”
Apa hubungannya intoleransi ini dengan globalisasi?
“Karena globalisasi, terutama teknologi, apa yang terjadi di satu tempat itu secara cepat menjadi satu isu yang kemudian dianggap jadi isu di tempat lain. Minoritisasi imigran Muslim di Eropa itu membuat negara-negara Barat kemudian merasa itu ancaman bagi negaranya. Ada globalisasi ancaman terhadap identitas mereka dari Islamic terorist. Dan itu direproduksi oleh media di ruang publik.”
“Hal-hal yang kayak gini belum muncul pada 20 tahun lalu. Persoalan sosial injustice itu pada awalnya hanya dianggap persoalan negara bangsa. Tapi sejak 20 tahun lalu, sejak runtuhnya Soviet, akhir 90-an, kita selalu melihat ada interkoneksi global.”
“Nah, kelompok intoleransi di Indonesia itu, tak bisa dipahami hanya akibat dari politik domestik. Itu juga adalah akibat perubahan politik global yang lebih luas. Dulu kan kita juga tahu ada konflik Timteng ya? Tapi sampai tahun 90 an awal kita tak merasa itu konflik ‘kita’. Sejak 60-an ada lah semacam simpati pada Palestina, misalnya, tapi itu tak sekuat simpati kuat seperti 90-an awal. Atau dulu orang Indonesia tak peduli Reza Pahlevi itu bagaimana, tiran ato gimana tak peduli. Tapi sejak 80-90-an itu globlisasi membuat kita merasa isu di dunia sana itu juga isu di dunia sini.”
“Ada perasaan interkonektif. Dan itu kan sebenarnya bersamaan dengan liberalisme dalam bidang ekonomi, deregulasi politik, yang ternyata punya efek samping yang kita sebut sebagai intoleransi dan radikalisme agama.”
Kalau kita melihat dalam kasus intoleransi, selain soal keadilan sosial yang buruk, juga muncul penegasan identitas yang kuat, bahkan radikal. Fenomena apa ini?
“Gerakan-gerakan intoleransi sosial dan seterusnya itu memang bersamaan dengan globalisasi dan liberalisasi. Itu fenomena yang terjadi tak hanya di Barat dan di Timur. Dan dalam konteks ini, identitas jadi sangat penting di situ. Orang dulu merasa, idealnya itu kita harus jadi modern. Makanya ada pondok modern Gontor. Modernitas ingin dicapai oleh semua orang di seluruh dunia. Tapi setelah itu modernitas itu malah diangap buruk. Malah orang kembali ke identitas yang non modern, entah itu etnic, agama, kedaerahan. Itu tahun 80-an. Jadi ada semacam gerakan arus balik modernitas. Dan ini terjadi karena aspek refleksi dari modernitas yang jadi warisan rezim-rezim otoriter.”
“Orang kan anggap Orba itu otoriter. Gak boleh omong SARA secara bebas karena ingin dianggap modern. Jadi, lupakan Islam, lupakan etnis, lupakan SARA. Niatnya untuk menguatkan identitas ‘kekitaan’ kita sebagai bangsa. Tapi kemudian, ini dilakukan secara represeif, bukan demokratis. Maka ketika rezim Orba runtuh maka terjadi arus balik itu tadi. Orang ingin mencari dan menegaskan identitas yang dulu ditekan oleh rezim. Ini terjadi di mana-mana. Arus balik modernitas, karena kejatuhan modernitas itu sendiri di masing-masing negara.”
“Masalahnya, kemampuan demokrasi kita kan mengalami penyusutan di zaman Orba. Kita malah menutup-nutupi. Maka yang terjadi adalah ledakan yang tak bisa kita kontrol lagi. Kita sampai sekarang masih bisa menangkap satu usaha menutup-nutupi seperti di zaman Orba. Mengatakan kami baik-baik saja. Padahal pasti ada itu masalah. Gak mungkin itu tidak ada. Seperti suara anti-Syiah, anti-Ahmadiyah, anti-Wahhabi. Itu ada. Dan nyata.”
“Di masa lalu kan selalu ditekan hal-hal seperti itu, dikatakan baik-baik saja. Nah sekarang kan harus dikatakan, bahwa itu harus dibongkar. Jangan ditutup-tutupi, karenan nanti akibatnya jauh lebih buruk.”
Kalau harus diberi ruang dan tidak ditutup-tutupi, bagaimana cara menyikapinya?
“Di daerah yang pemimpin publiknya itu cukup kuat, yang mampu menyediakan arena demokrasi yang cukup terbuka, kelompok intoleran ruang lingkupnya terbatasi oleh partisipasi yang lebih luas dari keompok sipil lain. Tapi itu mensyaratkan adanya satu situasi pemerintah dan negara itu selain buka akses aspirasi seluasnya juga memastikan mereka terpenuhi akses kebutuhan eknominya.”
“Tidak bisa dalam masyarakat yang secara ekonomi tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Jadi partisipasi dan kebutuhan ekonomi itu simultan. Tapi di saat yang sama juga pemenuhan kebutuhan dasar tak bisa dilakukan tanpa mengindahkan kompleksitas identitas. Artinya mereka harus mengerti kelompok-kelompok secara etnis atau agama. Dan itu harus diperhatikan betul supaya tidak sampai ke konflik yang mengarah ke kekerasan.”
Jadi yang diperlukan adalah keseimbangan dari sisi struktural, kultural dan ekonomi itu tadi?
“Persis. Titik poinnya adalah bagaimana menemukan titik keseimbangan. Dan itu titiknya ada pada mekanisme demokratis pada level pemerintahan. Dimulai dari sistem pemilu yang baik, hasilkan calon yang baik. Juga pada level kultural. Formal, informal harus bersamaan.”
“Level struktural dan kultural ini harus simultan. Pada level struktural kita upayakan satu sistem yang lebih partisipatif. Pada level kultural kita usahakan pada sistem yag lebih terbuka. Mengusahakan yang satu tanpa yang lain tak akan berhasil. Kedua hal ini simultan, bersamaan. Kalau pada aspek kultural, atau identitas golongan, itu hanya akan jatuh pada klaim identitas. Itu tidak cukup. Harus juga dengan pendekatan struktural.” (Muhammad/Yudhi)