Berita
Perlunya Kerangka Hukum Nasional Penanganan Pengungsi Rohingya
Konflik sektarian di Myanmar mengakibatkan terusir dan dipersekusinya kelompok Muslim Rohingya. Hingga kini mereka masih belum memiliki status kewarganegaraan yang jelas di Myanmar. Dengan kata lain, belum jelas kapan masalah itu bakal selesai.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya arus migrasi kelompok Muslim Rohingya terutama pada akhir Oktober ketika cuaca sangat mendukung untuk berlayar. Apalagi November mendatang, Myanmar akan menghadapi pemilu. Di masa kampanye, kemungkinan besar para calon kontestannya akan mendaur ulang isu-isu politik, termasuk soal Rohingya.
Kekhawatiran itu disampaikan Papang Hidayat, peneliti Amnesty International wilayah Indonesia, Timor-Leste, Asia Tenggara dan Pasific dalam siaran Pers “Peluncuran Laporan Amnesty International: Dangerous Journeys, The Refugee and Trafficking Crisis in Southeast Asia” di LBH Jakarta (22/10).
Pada tahun 2012, menurut Papang ada 8000 pengungsi Rohingya. Dari jumlah itu, tercatat yang diselamatkan di Aceh kurang lebih 2000 orang, sementara yang mendarat di Malaysia sekitar 1500 orang. Lalu dimana 4500-an pengungsi lainnya?
“Kita khawatir mereka tenggelam di laut atau masuk jejaring perdaganagn manusia,” ujar Papang.
Maka dari itu, Indonesia memerlukan aturan atau kerangka hukum domestik yang jelas untuk bisa mengatur persoalan pengungsi.
Selain itu diperlukan juga langkah dan upaya bersama yang terorganisir semacam operasi SAR, pencarian dan penyelamatan antar negara di kawasan, misalnya antara Indonesia, Thailand dan Malaysia untuk mengantisipasi musim berlayar yang dapat digunakan warga Rohingya untuk kembali mengungsi.
“Jangan sampai terulang seperti Mei lalu, terjadi ping pong tanggung jawab di laut,” tegas Papang.
Sejalan dengan apa yang disampaikan Amnesty International, Ketua SUAKA yaitu Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pengungsi, Febi Yonesta yang juga menjadi pembicara dalam siaran pers hari itu mengatakan bahwa persoalan mendasar dari penanganan pengungsi adalah ketiadaan kerangka hukum Nasional yang kooperasional.
“Yang penting di lapangan ada rujukan operasional,” terang Febi.
Sehingga aparatur daerah dan lintas instansi, termasuk Kepolisian dan Imigrasi bisa bersama-sama melakukan penanganan atas para pencari suaka dan pengungsi dengan lebih baik.
“Khususnya penanganan yang baik terhadap para pengungsi Rohingya,” pungkas Febi. (Lutfi/Yudhi)