Berita
Bangun Kultur Moderat Perlunak Konservatisme
Paradigma konservatif selalu ada di setiap zaman. Di setiap kelompok, selalu ada orang-orang yang secara pemikiran cenderung konservatif dan literalistik. Bahkan pada kelompok yang getol menyuarakan sikap moderat pun, jejak-jejak konservatifnya terkadang amat kental.
Celakanya cara pandang konservatif inilah yang menjadi embrio sikap ekstremitas dan takfirisme.
Bagaimana sebaiknya kita menyikapi hal ini? Berikut wawancara ABI Press dengan cendekiawan muda Muhammadiyah, Najib Burhani.
Bagaimana pandangan Anda mengenai pemikiran konservatif yang menjadi embrio sikap ekstrem yang kita lihat dewasa ini?
“Memang betul sikap konservatif itu ada. Di Indonesia itu banyak perundang-undangan yang katakanlah lebih cenderung hanya membela yang mayoritas. Seperti PNPS dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang hanya mengakui yang Esa saja, yang hanya mengakui yang mayoritas (Islam).”
“Jika dihubungkan dengan NU dan Muhammadiyah misalnya, kita mengakui bahwa banyak buku-buku di dalam pesantren atau banyak kiai-kiai tradisional itu yang cara berpikirnya bisa dikategorikan konservatif. Karena buku bacaannya itu memang mengajarkan seperti itu. Tetapi bagaimana kemudian kita menciptakan kultur yang berbeda dari konservatisme itu. Di antaranya adalah membuat makna ajaran itu bukan aktif, tapi pasif.”
“Yang kedua adalah membuat counter culture yang saya kira tradisi washatiyah dalam NU itu bisa jadi counter culture yang bisa menjadi landasan kitab-kitab atau buku-buku yang cenderung konservatif.”
Ketika hal itu dilaksanakan, sering muncul resistensi dari sebagian masyarakat. Bagaimana kita mesti menyikapinya?
“Kalau mendadak dan dipaksakan memang tidak mungkin. Karena justru akan menimbulkan resistensi. Yang harus kita lakukan adalah mengembangkan dan menciptakan kultur itu tidak konservatif, tidak kaku, dan sebagainya. Biasanya orang berpikir biarlah UU itu ada, tapi nilainya diberi makna berbeda (tidak terlalu konservatif) dan kulturnya dibentuk sebagai sesuatu yang lebih toleran. Karena kalau ada perubahan pada landasan itu protapnya akan berat dan akan membuat resistensi di masyarakat.”
“Tradisi semisal Islam Nusantara yang ditekankan dengan ramah, tradisi Islam Berkemajuan yang menekankan pada spirit kosmopolitan, mau berdialog dengan peradaban yang berbeda, kultur yang berbeda, ini adalah salah satu cara menghidupkan suasana yang ramah, yang toleran, secara kultural. Jadi proses itu terjadi secara pelan-pelan untuk menciptakan habit. Ini adalah habitous, proses men-train diri kita menjadi baik tanpa harus melakukan perubahan (radikal) terlebih dulu terhadap UU dan kitab-kitab (yang konservatif) itu.”
“Ini adalah proses pembalikan. Kalau dalam Negara, dalam kitab-kitab itu kita ubah dulu UU-nya baru masyarakat terbentuk. Nah, karena proses itu tak bisa terjadi secara serta-merta, secara cepat, maka kita melakukan proses sebaliknya, yaitu mengubah kultur. Kita menciptakan kultur yang baik secara pelan-pelan. Baru nanti tanpa harus dipaksakan maka UU dan landasan yang cenderung konservatif itu bisa dengan mudah diganti atau dilakukan revisi. Jadi tradisi Islam Berkemajuan yang kosmopolitan, tradisi Islam Nusantara yang ramah, itu semua adalah proses melakukan edukasi kepada masyarakat untuk menjadi masyarakat yang baik.”
Jadi, cara yang paling efektif itu adalah cara yang tidak frontal?
“Ya, memang di dalam setiap kelompok pasti ada yang sangat lunak, ada yang sangat keras. Ada yang ekstremis dalam cara pandang. Ini adalah kontekstasi yang selalu terjadi. Kita selalu melihat di NU seperti itu, di Muhammadiyah seperti itu, di Syiah seperti itu.”
“Nah, dulu upaya untuk melakukan pembenahan atau membawa ke arah lebih baik ini tidak berhasil karena kita terjebak dalam jargon-jargon. Misalnya Islam Liberal, yang sebenernya adalah upaya mengcounter terhadap tradisi konservatif itu. Tapi kemudian justru melahirkan resistensi dalam masyarakat. Nah, yang perlu dilakukan baik di NU, Muhammadiyah, Syiah itu adalah bagaimana counter itu berjalan, bagaimana perubahan kultur ke arah moderat itu terjadi tanpa harus terasa, tanpa harus menimbulkan resistensi itu tadi.”
“Jangan sampai kemudian terjebak dalam klaim-klaim yang saling menuduh dan bermusuhan yang kemudian resistensinya bisa jadi malah lebih kuat. Apalagi kalau kita bicara dalam konteks Indonesia, yang biasanya para penulis menyebutnya ‘godly nationalism’, nasionalisme ketuhanan yang frame berpikirnya sebenernya kita lihat tadi masih konservatif. Kalau itu tidak dilawan pelan-pelan maka itu ibarat membangkitkan macan yang lagi tidur.”
“Saya tak tahu seberapa banyak kelompok ekstrem di tiap kelompok itu. Tetapi proses perbaikan ini upayanya tidak bisa jika langsung mendikotomikan kedua kelompok itu secara berhadap-hadapan. Karena kalau seperti itu yang terjadi adalah logika dominasi. Yang lebih banyak dia yang menindas.”
Apa modal yang kita punyai untuk menciptakan kultur moderat guna memperlunak pandangan konservatif ini?
“Pertama, secara kultural kita memiliki budaya Indonesia yang dalam hal ini tidak terlalu agresif dalam menghadapi kelompok yang berbeda. Ada toleransi terhadap keragaman. Dan itu terjadi dari zaman dulu dengan kehadiran Hindu, Budha, Kristen, Islam. Kita cenderung menerima keterbukaan, bukan menutup diri.”
“Yang kedua, ada banyak dalam ajaran agama, dalam kemasyarakatan ini yang bersedia, yang mengajarkan untuk bersikap baik kepada sesama dan toleran terhadap kemerdekaan. Jadi itu yang perlu. Jadi ada modal sosial, lalu ada modal konstitusional. Modal tekstual dalam ajaran kita yang bisa dikembangkan menjadi tradisi yang toleran, yang ramah itu tadi. Dan saya kira juga ada modal sosial, modal kultural dan seterusnya yang perlu digali dan perlu dikembangkan.”
Seberapa optimis menurut Anda hal ini bisa berhasil?
“Saya kira kalau dibandingkan negara lain kita tentu optimis dengan Indonesia. Tetapi optimisme itu tadi tidak kemudian menghilangkan kewaspadaan terhadap diri kita. Misalnya saya menyebutkan ada orang yang mengatakan yang pelaku kekerasaan di Indonesia itu kelompok minoritas, seperti FPI. Tiny minority, kelompok minoritas yang berisik. Beberapa orang menyebut seperti itu.”
“Tapi kalau kita mengatakan seperti itu, kita seperti menutup diri bahwa paham konservatif itu menyebar di masyarakat. Ketika kita mengatakan seperti itu maka kita kemudian tidak berusaha untuk menahan dan mengantisipasi kelompok konservatif (ekstrem) itu berkuasa. Tetapi kalau kita menyadari bahwa ini ada pada masyarakat, dan kemudian menumbuhkan semangat untuk bagaimana mengubahnya secara kultural dan mengantisipasinya, maka kita akan lebih optimis dalam menata masa depan. Optimis ini bukan sekadar optimis, tapi ada kalkulasi, ada kesadaran bahwa sebetulnya ada banyak potensi ke kanan atau ke kiri.”
Apa tugas terpenting kita menjaga semangat dan optimisme menghidupkan kultur moderat ini?
“Nah, tugas kitalah kemudian bagaimana kita menjaga agar tetap moderat. Tidak kemudian mengatakan, o tidak ada yang konservatif itu. Tidak ada ekstremitas itu, itu soal kecil, tidak berbahaya. Tidak seperti itu. Tapi kita mengakui dan menyadari (ekstremitas) itu ada. Nah, pengetahuan tentang adanya hal ini dalam masyarakat inilah yang melahirkan kesadaran dan optimisme, bukan dengan cara menutupi bahwa itu tidak ada.”
“Kalau menutup diri dari fakta, yang terjadi kemudian respon kita, antisipasi kita akan lebih lambat atau lebih negatif. Tapi kalau kita menyadari ada banyak embrio, ada banyak benih-benih konservatisme (dan ekstremisme) dalam masyarakat, maka kita siap. Dan mari kemudian yang punya potensi sosial kultural itu kita manfaatkan. Mari kita hadapi bersama. Kita seimbangkan.” (Muhammad/Yudhi)