Berita
Mengintip Konflik Iran-Saudi Dalam Tragedi Haji
Mekkah pada mulanya merupakan sebentang lembah tandus yang tidak dapat ditumbuhi pepohonan. Kehadiran Ismail as. membawa keberkahan bagi lembah tandus itu: mata air Zamzam memancar dari dalam tanahnya. Aliran Zamzamlah yang pertama kali mengubah wilayah gersang itu menjadi sebuah komunitas kecil tempat dimulainya peradaban baru dunia Islam sekitar 4000 tahun silam.
Ibrahim as. datang ke Mekkah untuk mendirikan Kakbah, setelah sebelumnya sempat pergi meninggalkan istrinya (Hajar) dan anaknya (Ismail as) atas perintah Allah. Keinginan mendirikan tempat ibadah untuk menyembah Allah SWT telah melekat pada diri Ibrahim as. jauh hari sebelum Allah mengukuhkan Ibrahim untuk mendirikan Baitullah. Ini lantaran Ibrahim as. telah menyaksikan kesesatan umat manusia di zamannya yang menyembah patung dan dewa-dewa.
Pada masa itulah, Allah kemudian mengajarkan Ibrahim as. tata cara manasik haji dan memerintahkan Ibrahim as. agar menyerukan kepada seluruh manusia untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Dalam perkembangannya, kota suci Mekkah dan Madinah mengalami berbagai permasalahan yang kemudian berpengaruh pada kedua kota suci itu termasuk pada pelaksanaan ibadah haji.
Pada awal kemunculan Islam yang dibawa Rasulullah SAW, kota suci Mekkah diselimuti kesesatan masyarakat jahiliah yang menyembah berhala dan paling buruk akhlaknya. Penolakan paling keras terhadap hadirnya Islam pun muncul di sana. Hal itu pula yang kemudian mendorong Nabi Muhammad SAW hijrah ke kota Madinah dan mendapat sambutan baik oleh penduduk Madinah.
Islam pun perlahan mendapat banyak dukungan dan kekuatan yang pada akhirnya dapat merebut kembali kota Mekkah dan menjadikan kota itu sebagai pusat ibadah kepada Allah SWT. Ini terjadi sekitar abad ke 6 lalu. Pda abad ke 18 atau sekitar 1200 tahun kemudian, keadaan mulai berubah ketika Dinasti Saudi berkolaborasi dengan paham Wahabi dan mendapat dukungan penuh dari kolonial Inggris berusaha menguasai dua kota suci Mekkah dan Madinah. Pada era itu Mekkah berhasil direbut kembali oleh penguasa Kerajaan Usmani (Turki). Tapi kemudian pada awal abad 20, Abdul Aziz bin Sa’ud dengan gerakan Wahabinya kembali bangkit memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam perang dunia I.
Nama aliran Wahabi sendiri diambil dari nama pendirinya Muhammad bin Abdul Wahab (1111 H/1699 M). Pada mulanya ia tumbuh dalam lingkungan Islam bermazhab Sunni (Hanbali) yang kemudian menurut beberapa sumber ia terpengaruh oleh orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Inggris memang berhasil mendirikan sekte-sekte dan agama baru di tengah umat Islam termasuk Wahabi.
Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaannya makin luas. Umat Islam di jazirah Arab difitnah sebagai ahlul bid’ah, sesat, kafir, musyrik, hingga diperangi dan dibunuh. Mereka memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan maulid dan sebagainya.
Pada tahun 1925, Raja Abdul Aziz bin Sa’ud menghancurkan pemakaman Jannatul Baqi’ tempat para keluarga, sahabat dan istri-istri Nabi dimakamkan di sana. Kejadian ini menimbulkan protes dari masyarakat Muslim dunia.
Penghancuran situs suci Hijaz oleh Saudi, yang diawali oleh Muhammad bin Abdul Wahab berlanjut hingga sekarang. Keluarga kerajaan Arab Saudi mempraktikkan bentuk Islam kaku yang disebut Wahabisme.
Protes terhadap dinasti Saudi terus berlanjut. Salah satu yang paling lantang dan keras penolakannya terhadap eksistensi penguasa Arab Saudi adalah Muslim bermazhab Syiah. Dalam hal ini Muslim Syiah yang kental dengan tradisi ziarah, tawassul, maulid dan tradisi-tradisi yang serupa sangat dirugikan dengan dihancurkannya situs-situs peninggalan Islam. Kerugian sama sebenarnya juga dirasakan mayoritas mazhab Sunni yang memiliki tradisi sama dengan Syiah pada umumnya. Selain itu Muslim bermazhab Syiah juga meyakini kedudukan suci keluarga Nabi, sehingga penghancuran makam-makam itu dianggap penghinaan terhadap Nabi, keluarga dan para sahabatnya serta umat Islam pada umumnya.
Sejak saat itulah hubungan Arab Saudi (dengan paham Wahabisme) dan Iran (mayoritas Syiah) mulai tidak akur. Selaku pihak yang vokal menyuarakan protes terhadap Arab Saudi, ekstistensi Syiah kemudian dianggap sebentuk ancaman yang membahayakan bagi kekuasaan kerajaan Arab Saudi. Beragam protes seringkali ditanggapi kekerasan oleh pihak Arab Saudi. Bahkan baru-baru ini Syekh Nimr, ulama terkemuka di Saudi dijatuhi hukuman mati lantaran melalukan protes terhadap rezim yang dikenal zalim itu.
Upaya keras Arab Saudi dalam menghalau eksistensi Syiah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan melalui berbagai cara. Salah satu yang tak asing lagi yaitu dengan melalui gerakan Wahabismenya menyebarkan isu Syiah sebagai ajaran sesat, kafir dan layak dibunuh. Bahkan melalui buku-buku dan propaganda permusuhan Sunni-Syiah seperti telah membudaya dan jadi jalan efektif membuat kaum Muslimin saling berperang.
Arab Saudi dan Pengelolaan Haji
Beragam ketidaknyamanan dirasakan jemaah haji di tangan pengelolaan Arab Saudi. Beragam tragedi terjadi. Puncaknya tragedi Mina yang menelan korban ribuan nyawa. Dalih takdir masih cukup efektif untuk meyakinkan sebagian kaum Muslimin. Bahkan dengan iming-iming “syahid” justru sebagian lagi menanggapinya dengan rasa bangga.
Namun ada pula sebagian Muslimin yang menganggap tragedi Mina ini merupakan kelalaian dan ketidakbecusan Arab Saudi dalam mengelola haji sehingga diperlukan adanya internasionalisasi pengelolaan haji dengan melibatkan dunia Islam Internasional. Lagi-lagi yang dianggap paling vokal dalam hal ini adalah Iran. Sebagai negara yang mayoritas Muslimnya bermazhab Syiah, lagi-lagi bersama stigma “sesat” yang telah melekat, gagasan internasionalisasi pengelolaan haji ini tidak mendapat dukungan banyak pihak terutama yang pro-Saudi.
Anehnya, dalam tragedi Mina banyak media yang berafiliasi terhadap Wahabisme Arab Saudi menyebut-nyebut Iran sebagai dalang di balik tragedi itu dengan beragam dalih tidak berdasar. Padahal kita tahu justru korban paling banyak adalah warga Iran. Dan apa alasan Arab Saudi menutup beberapa jalur perlintasan sehingga menyebabkan jemaah haji saling bertabrakan di bawah sengatan matahari berskala 40 derajat itu? Apakah waktu penutupan itu kebetulan ada jemaah Iran yang melintas ataukah memang sudah dikondisikan seperti itu sebelumnya?
Siapa Diuntungkan Jika Haji Dikelola Dunia Islam Internasional?
Sebagaimana diketahui dalam perjalanannya, banyak sumber menyebut Saudi dalam menguasai Mekkah atas kepentingan dan dukungan penuh kolonial Inggris. Selain itu, dengan paham Wahabisme yang melekat pada kekuasaan Arab Saudi, bertentangan dengan mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Dengan terlibatnya dunia Islam Internasional dalam pengelolaan ibadah haji, setidaknya dapat meredam tumbuh kembangnya paham Wahabi, setidaknya dalam kasus-kasus haji.
Selain itu, dengan terlibatnya dunia Islam Internasional dapat menghalau adanya intervensi negara asing baik dalam hal pengelolaan haji maupun pembangunan terkait kota suci Mekkah dan Madinah.
Alasan lain, tentu akan didapati banyak kemudahan dalam pelaksanaannya jika semua umat Islam dilibatkan, dibanding pengelolaan haji hanya dikelola satu negara saja yang faktanya banyak jemaah haji kecewa lantaran tidak mendapat pelayanan secara baik, dan sebagainya. Bagaimana bisa melayani dengan baik jika paham yang melekat pada penguasa Arab itu adalah paham Wahabisme yang menaruh kebencian terhadap mayoritas umat Islam yang dianggap ahli bid’ah, syirik dan sebagainya?
Jam dinding raksasa di atas menara yang menampung mall-mall dan hotel mewah di dalamnya menyulap Mekkah menjadi simbol kemewahan. Siapa yang menikmati? Sementara terkait situs-situs dan peninggalan Nabi, serta tempat-tempat bersejarah justru dikubur. Sebenarnya, kemana arah Arab Saudi membawa masa depan kota suci ini? Melibatkan dunia Islam Internasional setidaknya dapat berperan lebih dalam menjaga kesucian simbol-simbol keislaman dan perlahan memperbaiki jika sudah terjadi kerusakan. Setidaknya menjadi upaya juga untuk menjaga kesakralan kota suci Mekkah dengan segala peninggalan sejarahnya, yang kini diabaikan Arab Saudi dengan Wahabismenya.
Hingga saat ini Arab Saudi belum membuka diri terkait dorongan internasionalisasi ini. Menurutnya, pengelolaan haji itu merupakan wewenang penuh penguasa Arab Saudi dan upaya ikut campur negara asing, dalam hal ini dunia Islam, dianggapnya dapat mengganggu kedaulatan Arab Saudi sebagai sebuah negara. Logiskah? (Malik/Yudhi)