Berita
Aksi Kamisan Kenang Setengah Abad G30S Di Depan Istana
Tragedi G30S yang terjadi setengah abad lalu telah mengakibatkan 7 orang dibunuh pada malam tersebut. Namun ternyata jika kita cermati seluruh rangkain cerita sejarah maka bukan hanya 7 Jenderal tersebut yang dibunuh, namun hampir tiga juta jiwa rakyat Indonesia.
Maka bagi para korban tragedi G30S yang pada hari ini hadir dalam Aksi Kamisan di depan Istana (1/10) menganggap lebih tepat memaknai G30S dengan cara mengenang dan bukan memperingati. Yaitu mengenang mereka, para korban pembunuhan saat itu termasuk juga rakyat Indonesia.
“Karena kejadian itu di luar konteks yang sesungguhnya. Jadi kalaupun kita akan mengenangnya justru peristiwa pembunuhan massal sesudah tanggal 1 Oktober itu,” terang Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65-66, saat diwawancarai tim ABI Press.
Tuntutan Para Korban
Sebagai korban tragedi G30S, Bedjo Untung meminta dua hal kepada pemerintah, yaitu:
1. Adanya pengakuan bahwa negara telah melakukan kelalaian dan mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM berat tahun 1965.
2. Meminta Pemerintah merehabilitasi umum untuk memulihkan nama baik dan juga reparasi, yaitu dikembalikannya hak-hak korban yang dulu dimilikinya.
Sementara itu Koesnandar, Sekjen Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KROB), saat ditemui ABI Press di lokasi Kamisan juga menuntut hal yang sama seperti yang Bedjo Untung sampaikan. Agar dilakukan rehabilitasi dan kompensasi terhadap para korban tragedi 65.
Ke depan, Koesnandar berharap agar anak-anak bangsa tidak lagi diberi sejarah kelam dan harus bisa memanfaatkan kekayaann alam yang berlimpah di Indonesia ini.
“Jangan sampai dihancurkan orang luar,” tegas Koesnandar.
Pengadilan Internasional
Namun bila kasus pelanggaran HAM berat 65 ini tidak bisa diselesaikan oleh sistem hukum di negara kita, maka para korban akan membawanya ke Pengadilan HAM Internasional.
“Tidak ada jalan lain selain membawa kasus ini ke pengadilan HAM Internasional”, tegas Bedjo Untung.
Hal itu dilakukan sebagai langkah terakhir dengan tujuan agar para korban mendapatkan kepastian hukum, karena itu adalah hak-hak para korban. (Lutfi/Yudhi)
Maka bagi para korban tragedi G30S yang pada hari ini hadir dalam Aksi Kamisan di depan Istana (1/10) menganggap lebih tepat memaknai G30S dengan cara mengenang dan bukan memperingati. Yaitu mengenang mereka, para korban pembunuhan saat itu termasuk juga rakyat Indonesia.
“Karena kejadian itu di luar konteks yang sesungguhnya. Jadi kalaupun kita akan mengenangnya justru peristiwa pembunuhan massal sesudah tanggal 1 Oktober itu,” terang Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65-66, saat diwawancarai tim ABI Press.
Tuntutan Para Korban
Sebagai korban tragedi G30S, Bedjo Untung meminta dua hal kepada pemerintah, yaitu:
1. Adanya pengakuan bahwa negara telah melakukan kelalaian dan mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM berat tahun 1965.
2. Meminta Pemerintah merehabilitasi umum untuk memulihkan nama baik dan juga reparasi, yaitu dikembalikannya hak-hak korban yang dulu dimilikinya.
Sementara itu Koesnandar, Sekjen Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KROB), saat ditemui ABI Press di lokasi Kamisan juga menuntut hal yang sama seperti yang Bedjo Untung sampaikan. Agar dilakukan rehabilitasi dan kompensasi terhadap para korban tragedi 65.
Ke depan, Koesnandar berharap agar anak-anak bangsa tidak lagi diberi sejarah kelam dan harus bisa memanfaatkan kekayaann alam yang berlimpah di Indonesia ini.
“Jangan sampai dihancurkan orang luar,” tegas Koesnandar.
Pengadilan Internasional
Namun bila kasus pelanggaran HAM berat 65 ini tidak bisa diselesaikan oleh sistem hukum di negara kita, maka para korban akan membawanya ke Pengadilan HAM Internasional.
“Tidak ada jalan lain selain membawa kasus ini ke pengadilan HAM Internasional”, tegas Bedjo Untung.
Hal itu dilakukan sebagai langkah terakhir dengan tujuan agar para korban mendapatkan kepastian hukum, karena itu adalah hak-hak para korban. (Lutfi/Yudhi)
Continue Reading