Berita
Menyikapi Peringatan Sejarah G30S
Museum Lubang Buaya sepi pengunjung di akhir bulan September 2015 ini (30/9). Dalam rangka menyambut upacara Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, pengelola museum sengaja menutup area yang di dalamnya terdapat monumen Pancasila Sakti ini untuk umum. Area ini ditutup sejak tanggal 25 September hingga 1 Oktober.
Rombongan tentara berseragam lengkap terlihat sudah siap mengamankan area upacara yang dijadwalkan esok hari dan sedianya akan dihadiri Presiden RI.
Hari Kesaktian Pancasila lahir dari rentetan peristiwa G30S yang diperingati setahun sekali. Peristiwa sejarah yang sarat kontroversi ini menjadi bahan diskusi menarik terutama bagi pemerhati Hak Asasi Manusia. Rentetan peristiwa G30S ini juga menelan korban jutaan warganegara Indonesia yang dianggap sebagai PKI maupun simpatisan PKI. Mereka diculik, dibunuh dan sebagian lagi dijadikan tahanan politik tanpa melalui proses peradilan terlebih dahulu. Dalam hukum agama maupun negara, proses penghakiman seperti ini tidak ada pembenarannya.
Lalu kemudian, muncul banyak pertanyaan. Apakah yang membunuh 7 Jenderal atas dasar kepentingan PKI sebagai sebuah gerakan politik, ataukah ada pihak tertentu yang menghendaki 7 Jenderal itu dibunuh dan PKI dikondisikan sebagai dalang terjadinya hal itu? Dalam analisa yang tersebar melalui media sosial, Mayjen Soeharto disebut-sebut terlibat dalam peristiwa berdarah ini. Soeharto dalam hal ini juga disebut sebagai penggerak penumpasan PKI melalui kekuatan militer. Keberhasilan memberangus PKI dan tertanamnya kebencian rakyat terhadap partai berlambang palu-arit ini kemudian menjadi alat pembenar bahwa PKI adalah dalang di balik terbunuhnya 7 Jenderal yang diabadikan dalam monumen Kesaktian Pancasila. Pertanyaan lain, kalau semua anggota PKI bersalah, kenapa harus ditindak melalui proses penculikan, penyiksaan bahkan pembunuhan terhadap jutaan orang? Kenapa tidak melalui proses peradilan? Jika memang harus dihukum mati, kan bisa melalui proses? Para pegiat HAM selalu menuntut keadilan bahkan hingga hari ini.
Pro-kontra terhadap sejarah ini cukup membingungkan bagi masyarakat Indonesia. Salah satunya Kasnoto, pengunjung monumen Pancasila Sakti. Meskipun area ditutup, namun beberapa orang masih bisa berlalu-lalang masuk area itu. “Iya memang, saya juga bingung. Cerita sejarah versi orang ini begini, versi orang lain beda lagi penafsirannya, lama-lama pusing juga,”kata Kasnoto kepada ABI Press.
Sembari melepas penat, pria berusia 40 tahun ini sengaja datang ke Lubang Buaya untuk menyaksikan peninggalan peristiwa sejarah yang sarat kontroversi itu.
Lalu, hal apa yang paling penting untuk direnungi dalam momen peringatan peristiwa sejarah ini? Di satu sisi, mereka memperingati hari Kesaktian Pancasila dan merenungi terenggutnya nyawa 7 Jenderal. Di sisi lain, juga ada terutama pegiat HAM di Indonesia merenungi terbunuhnya jutaan warganegara Indonesia yang juga menjadi korban peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 itu. Setidaknya masih ada korban, atau saksi hidup dalam peristiwa ini yang kini selalu menyuarakan hak dan keadilan di depan Istana Negara RI setiap Kamis sore yang dikenal sebagai aksi damai “Kamisan”.
G30S tidak hanya berbicara tentang terbunuhnya 7 Jenderal, tidak hanya berbicara tentang benar atau tidaknya PKI melakukan kudeta, melainkan juga awal dari ‘’kelengseran’’ Soekarno sebagai presiden dan kelanggengan Soeharto sebagai penguasa.
Sebagai bangsa Indonesia saat ini, yang hidup jauh dari masa terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah yang telah berlalu, sangat penting melihat sebuah sajian cerita sejarah dari dua sisi; Pro maupun kontra. Sehingga kita dapat menganalisa dan menyikapinya secara adil agar tidak mudah terpengaruh ke salah satu pihak. Dari peristiwa sejarah G30S boleh jadi PKI dan 7 Jenderal yang gugur memiliki posisi yang sama, sebagai korban, “tumbal” kekuasaan politik yang sedang berkuasa kala itu. (Malik/Yudhi)