Berita
Solidaritas Perempuan Tuntut Keadilan Agraria dan Kesetaraan Gender
Di negeri permai ini,
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah,
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Untuk membebaskan rakyat.
Bait lagu Darah Juang yang dinyanyikan puluhan pendemo dari Solidaritas Perempuan, Selasa (22/9) di depan Istana Negara, Jakarta Pusat saat peringatan Hari Tani Nasional 24 September, sangat jelas menggambarkan apa yang menjadi tuntutan mereka yaitu keadilan agraria dengan memperhatikan prinsip kesetaraan gender dalam mengelolanya.
“Hal ini untuk kembali mengingatkan pemerintah kita bahwa permasalahan agraria di Indonesia itu masih menguat,” ungkap Puspa Dewi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, saat wawancara dengan tim ABI Press.
Dewi menambahkan bahwa, sayangnya hal ini diperparah dengan diabaikannya janji-janji Nawacita Presiden Jokowi untuk reformasi agraria yang hingga kini masih belum dilaksanakan. Ini merupakan kritik terhadap pemerintah agar segera melaksanakan reforma agraria yang sejati dengan berkesetaraan gender.
Selain itu, Dewi juga menyoroti dua hal yang saat ini merupakan persoalan utama agraria. Pertama, ketimpangan penguasaan lahan yang sangat luar biasa dan hingga detik ini masih terus terjadi.
Kedua, kebijakan-kebijakan yang dibangun sekarang tidak mengatasi persoalan tetapi justru semakin meningkatkan persoalan. Contohnya adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah sebuah produk hukum yang akan memperkuat konflik agraria.
“Apalagi saat ini pemerintah mengutamakan konteks infrastruktur, yang berarti akan ada penggusuran,” terang Dewi.
Maka Dewi berharap, ke depan pemerintah mampu membangun mekanisme penyelesaian konflik dan reforma agraria sekaligus benar-benar menerapkannya dengan prinsip-prinsip kesetaraaan gender.
“Jadi, kalau kita lihat, mengkhawatirkan sekali konflik agraria yang terjadi di negara ini,” pungkas Dewi.
Sebagai catatan, data Solidaritas Perempuan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2004-2014) mencatat setidaknya telah terjadi 1.391 konflik agraria, yang menewaskan 85 petani, 110 lainnya luka tembak dan 622 orang mengalami penganiayaan. (Lutfi/Yudhi)