Berita
Yenny Wahid: Lawan Kebencian Dengan Cinta
Islam adalah agama cinta. Agama rahmatan lil alamin. Tapi belakangan ini tren persebaran dakwah kebencian mengatasnamakan Islam semakin massif menggejala, terutama di media sosial.
Hal ini amat disayangkan oleh putri Gus Dur, Yenny Wahid, karena menodai spirit rahmatan lil alamin Islam.
Berikut petikan wawancara ABI Press dengan Yenny.
Bagaimana Ibu melihat fenomena persebaran dakwah kebencian ini?
“Kalau kita lihat saat ini kan ada urgensi kebhinekaan terancam, Pancasila terancam, dan ancaman itu datangnya melalui medium yang berbeda. Ada sebuah kampanye yang secara sistematis terjadi di sekitar kita, untuk mengalienasi anak-anak bangsa dari jatidiri kita sejatinya. Dan juga ada sebuah persebaran kebencian yang sangat kuat terjadi di media-media online dan sosmed.”
“Nah, tentunya kita tak bisa biarkan trend ini terus berlangsung tanpa ada reaksi balik. Nah, reaksi baliknya ini yang harus kita coba rumuskan bersama-sama. Tentu tak menggunakan kekerasan, tentu tidak menggunakan aksi-aksi radikal seperti mereka, tetapi justru memberikan pemahaman bahwa Islam sesungguhnya adalah agama yang pesan utamanya justru kebajikan, tentang perdamaian. Jadi itu pesan-pesan yang utama, memanusiakan manusia, dan seterusnya, itu yang harus dikeluarkan. Agar balance, atau untuk menyeimbangkan konten-konten yg bernada kebencian di luar sana.”
Di zaman teknologi ini, bagaimana menurut Ibu Yenny menghadapinya?
“Ya karena sekarang ini teknologi membuat segalanya tak terbatas lagi. Yang dulu terbatasi akses orang terhadap informasi secara terbatas karena harus bertemu secara fisik, sekarang tidak lagi. Ide bisa menyebar tanpa harus bertemu secara fisik. Nah, ide yang tersebar itu tak ada filternya lagi. Kalau penyebaran secara fisik masih bisa dialog, diskusi, tapi kalau sudah online susah. Satu-satunya cara adalah ikut menyebarkan konten-konten, tetapi yang mengajak orang pada kebaikan, perdamaian, untuk saling memanusiakan di
antara manusia sebagai makhluk ciptaan Allah.”
Ada orang yang mereaksi persebaran kebencian ini dengan keras, bagaimana menurut Bu Yenny?
“Kita jangan ikut keras, saya gak setuju kalau kita keras. Karena justru pesan utamanya Islam juga hilang kalau kita keras kepada orang. Kalau kita keras pada apa pun, ya. Kita tetap dengan cara yang lembut. Kita bukan memusuhi orang, tetapi kita memberikan perspektif yang sebenarya mengenai Islam yang lebih utuh, bahwa Islam itu tak mengajak perang-perang seperti itu, lalu gampang mengkafirkan orang, gampang mengharamkan sesuatu.”
“Semua kan ada konteksnya. Nah konteks itu yang kemudian kita berikan kepada masyarkat luas. Sehingga mereka itu punya pandangan atau perspektif yang berbeda-beda. Kita juga tak mau menggurui, tak mau menghakimi orang lain, kita juga tak memusuhi orang lain, sama sekali tidak. Kita hanya ingin memberikan perspektif yag berbeda dalam melihat sebuah hal. Nah, kalau Islam yang kita pahami, bukan Islam yang takfiri, bukan Islam yang menyebarkan kebencian, tapi Islam yang mengayomi. Islam yang memanusiakan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, dan melindungi seluruh alam semesta. Perspektif ini harus keluar.”
Di lapangan, kelompok yang sering melakukan dakwah kebencian ini, ketika dikritik ada sebagian yang mengatakan mereka bukan takfiri. Mereka tak mau digeneralisasi. Bagaimana menurut Bu Yenny?
“Nah, makanya kita juga harus hati-hati. Tak boleh ada generalisasi. Kita tidak berada dalam posisi menghakimi orang. Untuk mengatakan kita ini paling benar, sama sekali tidak. Dan kita hanya berada dalam posisi untuk menghimbau kalau ada orang melakukan kekerasan, kalau ada orang menyebarkan pesan-pesan kebencian ke masyarakat itu harus ditindak.
“Tapi kalau mereka hidup damai saja, fokus pada ibadahnya untuk dirinya, untuk masyarakat, tapi dengan cara-cara yang baik, tak ada masalah sama sekali. Kan ada banyak seperti Jamaah Tabligh, itu kan gak ada masalah. Selama mereka masih tetap mengakui NKRI. Selama mereka tidak mengajarkan agar orang kafir dimusuhi dan diintimidadasi, didiskriminasi, ya gak masalah. Tapi begitu mereka kemudian meminta agar ada perbedaan perlakuan untuk warganegara, nah, itu yang kemudian menurut saya harus ada sikap yang tegas.”
Di kalangan kelompok-kelompok yang sering menyebarkan dakwah kebencian, ketika dikritik masyarakat kita melihat masih ada suara-suara intern yang sadar dan berusaha meredamnya. Ada semacam deradikalisasi di sini. Bagaimana menurut Ibu Yenny?
“Menurut saya sih bagus ya. Kalau ada orang-orang yang meredam radikalisasi, ekspresi radikalisme ya yang sampai melukai orang lain baik secara fisik mau pun mental, bully-membully orang lain, mengkafir-kafirkan orang lain. Itu sudah termasuk bully menurut saya. Apalagi sampai rasis segala macam, itu harus dicegah.”
“Kalau mereka masuk kelompok itu tetapi juga ingin mencegah hal yang sama, mereka satu perjuangan dengan kami. Jadi buat saya, monggo saja mau siapa pun, mau sampeyan mau dakwah apa pun. Bahwa Islam yang paling bener, ya mestine, kalau orang Islam mestinya berpikir seperti itu kan? Ndak masalah. Tapi kemudian kalau berdakwah yang Kristen harus didiskriminasi, gak boleh beribadah, nah itu keliru. Jadi bedanya jelas sekali kan?”
“Kita berdakwah menyampaikan keyakinan kita itu bagus, gak apa-apa. Dakwah, kan? Dakwahnya gimana? Bil makruf. Jangan buat kekerasan.”
Terakhir ada pesan ke umat Islam di Indonesia, Bu Yenny?
“Pesan saya, saat ini Islam di dunia dipahami sebagai agama yang syarat dengan kekerasan. Nah, kita punya tugas besar untuk mengubah image ini. Untuk bisa mengubah image ini harus dimulai dari diri kita sendiri. Perjuangan itu tidak bisa dengan cara keras lawan keras. Tapi harus dengan kelembutan, harus dengan cinta. Nah, saya ingin mengajak umat Muslim, apa pun mazhabnya, apa pun keyakinannya, di mana pun dia berada. Mari kita sama-sama bersatu untuk memperlihatkan pada dunia bahwa Islam itu adalah agama yang penuh cinta kasih.” (Muhammad/Yudhi)