Opini
Alunan Nada Dalam Dilema
“Aku sudah hapus semua file musik. Itu haram. Kalo nggak percaya, lihat saja ayat dan hadisnya, sudah jelas kok itu kalo musik haram,” kata seorang sahabat ketika saya menanyakan apakah dia memiliki lagu-lagu baru yang mungkin cocok di kuping dan bisa saya kopi.
Ya, agak terkejut memang dengan sikapnya sekarang yang mengharamkan musik secara mutlak. Sangat bertolak belakang dengan ketika saya mengenalnya di sekolah menengah dulu. Tapi itu adalah pilihan pribadinya dan saya toh tetap menghormatinya sekalipun tidak sepenuhnya menyetujui pendapatnya. Lagipula ikhtilaf ini tergolong isu klasik, pikir saya kala itu.
Setelah sekian lama peristiwa itu mengendap, sebuah artikel online di malam hari kembali menyentil ingatan akan percakapan dengan sahabat saya dulu. Dalam artikel berformat transkrip wawancara tersebut dibahas mengenai kemunculan gerakan baru di Tanah Air yang menyasar kawula muda maupun musisi untuk bertobat dari musik (baik sekadar mendengarkan apalagi memainkannya) karena dianggap melenakan dari kewajiban ibadah sehingga diharamkan oleh agama.[1]
Gerakan ini unik karena menggunakan pendekatan kekinian dalam berdakwah seperti video pendek dengan efek tata sinema yang canggih. Hasilnya pun tidak main-main: banyak musisi lokal baik dari band indie maupun band terkenal yang berbalik arah mengharamkan profesi lama mereka. Lebih ekstrem lagi, salah satu musisi mengekspresikan “pertobatannya” dengan menghancurkan gitar miliknya.
Ikhtilaf klasik yang kembali diangkat, dirias agar sesuai dengan napas era kontemporer ini kemudian menggelitik saya untuk angkat pendapat lewat tulisan.
Apakah semua jenis musik benar-benar sedahsyat itu melenakan jiwa individu layaknya bandul hipnotis sehingga dapat melemahkan keimanan dan karenanya haram? Baiknya saya jawab saja dengan argumentasi dan tidak terjebak pada ayat.
Sayyid Hossein Nasr pernah menyebutkan bahwa idealnya, seni selain indah untuk dinikmati juga harus mampu menambah keimanan kepada Sang Pencipta. Ringkasnya, seni untuk spiritualitas. Sama seperti filsafat, Nasr menunjukkan bahwa karya seni termasuk musik jika mampu dikelola dengan apik justru dapat menjadi jalan alternatif bagi manusia untuk “menemukan Tuhan”.
Pesan-pesan ketauhidan, kritik sosial, dan nilai moral Islam bisa lebih tersampaikan secara asyik dan tidak membosankan khususnya bagi anak muda.
Sebagai contoh pada era 90-an awal misalnya, kita bisa melihat fenomena munculnya genre nasyid seperti grup Raihan yang mampu membawakan pesan cinta kepada Allah dan Rasul.
Di satu sisi memang tidak salah kekhawatiran pihak yang mengharamkan musik karena ada realita yang menunjukkan bahwa musik zaman sekarang memiliki konten yang tidak edukatif bagi pendengar khususnya anak muda. Namun di sisi lain, pengharaman mutlak atas musik juga kurang bijak. Sebab, ini sama saja dengan menutup salah satu jalan untuk “menemukan Tuhan”secara kreatif serta mengabaikan fitrah manusia untuk menikmati keindahan dalam wujud alunan nada yang harmonis dan tentu dengan lirik yang bernas. (Fikri/Yudhi)
[1] http://forummbb.org/2015/08/hey-kafir-musik-itu-haram/ “Hey Kafir, Musik itu Haram!”(Wawancara dengan Wendi Putranto, editor majalah Rolling Stone Indonesia).