Berita
Bernama Tuhan atau Berlagak Tuhan?
Minggu terakhir ini media massa kita diributkan pemberitaan tentang seorang warga Banyuwangi bernama Tuhan. Ya, nama itu adalah nama asli sejak lahir seperti tertera di KTP miliknya. Hal itu sontak mendapat respon beragam dari berbagai kalangan tak terkecuali para ulama.
Tuhan, sontak menjadi sorotan. Ada pro dan kontra, ada juga yang membuat olok-olok gara-gara namanya yang dianggap tak lazim tersebut. Tak hanya di media cetak, TV atau online, nama warga Banyuwangi itu pun menjadi topik diskusi para Netizen di medsos.
Lalu seperti apa sikap terbaik kita dalam menghadapi fenomena nama Tuhan yang digunakan oleh warga Banyuwangi tersebut?
Berikut wawancara ABI Press dengan Cendekiawan Muslim, Dr. Mushin Labib.
Terkait pro-kontra penggunaan nama “Tuhan”oleh seorang warga Banyuwangi, Jawa Timur, bagaimana pandangan Anda tentang hal ini?
Persoalan ini bisa dilihat dengan serius bisa juga dengan santai. Bisa ditanggapi dengan serius bisa ditanggapi dengan santai. Kalau tanggapan yang santai, sebetulnya semua nama baik itu namanya Allah. Artinya ada nama yang kalau itu kita tunjukkan, itu sebenarnya milik Tuhan, milik Allah. Seperti kita katakan, oh dia kuat, kuat itu predikat yang sebetulnya hanya milik Allah. Oh, orang ini kaya.
Padahal ndak ada yang kaya itu kecuali hanya Allah. Sebetulnya, nama-nama yang kita miliki itu bukan milik kita. Jadi kalau kita mau memberikan sifat kepada seseorang, sebenarnya itu bukan sifat beneran. Kalau sifat beneran, berarti sama dengan Allah. Jadi sebetulnya nama-nama yang kita pakai itu ada pada Allah, bukan pada manusia. Kalau ada orang menggunakan nama ndak pakai Abdul Rojak dipanggil Rojak, pemberi rejeki, wah ini juga harus diganti dong kalau memang itu harus dianggap sebagai nama Tuhan. Karena semua nama baik hanya milik Allah, asmaul husna bukan hanya 99, apa saja nama ataupun predikat baik itu milik Allah.
Jadi yang seperti saya bilang kuat, kuat satu-satunya itu Allah, yang kaya hanya Allah, yang alim hanya Allah. Jadi ndak bisa kita bilang orang ini berilmu karena yang punya ilmu hanya Allah. Maka saat kita berikan kepada manusia, itu namanya pemberian nama-nama ini secara umum. Itu ndak sejati. Bukan hanya pada nama “Tuhan” saja. Apalagi ada kemungkinan pemberian nama Tuhan itu juga diberikan oleh orang tuanya karena memang ndak ngerti atau asal-asalan saja.
Mungkin dulu ada kepanjangan namanya, atau entah apa. Lagipula nama Tuhan itu kan bahasa Indonesia, awalannya tuan. Sedangkan orang Jawa juga menyebut Tuhan dengan istilah pangeran, atau gusti pangeran. Pangeran itu kalau dalam bahasa Indonesia artinya raja, anak raja atau pengganti raja. Padahal Tuhan itu kan ndak bisa disebut raja. Karena raja dalam pengertian umum ya julukan untuk orang biasa. Tapi kita ini menyebut Tuhan, Gusti atau Pengeran, apa juga harus diganti?
Orang-orang Kristen saja namanya Yesus padahal Yesus juga dianggap manisfestasi Tuhan. Jangan lupa Muhammad juga sifat Tuhan, yang dipuji, satu-satunya yang berhak dipuji kan Tuhan. Alhamdulillah, pujian hanya milik Allah. Tapi Muhammad, Ali, artinya apa? Artinya yang tinggi, itu juga sifat Allah. Jadi secara umum sebetulnya ndak perlu terlalu beraksi berlebihan terhadap nama-nama. Lagian masih banyak yang lebih penting untuk diurus, buat apa kok sampek ngurusi itu. Selama orang itu tidak mengklaim dirinya sebagai Tuhan, ya ndak apa-apa.
Lalu, apa yang tidak boleh dari kata Tuhan jika digunakan pada manusia?
Yang ndak boleh itu mengaku diri sebagai Tuhan, itu ndak boleh. Tapi kalau pemberian nama, begitu banyak nama yang sebetunya ya nama Tuhan itu dipakai dalam pengertian, dalam bahasa Indonesianya.
Yang ndak boleh itu kalau ada orang namanya Allah. Saya sendiri kurang setuju kalau ada orang yang menggunakan nama Allah, karena itu adalah kata personal. Ada yang mengatakan kata Allah itu serapan, ada yang mengatakan itu asli bahsa Arab. Yang mengatakan serapan itu adalah berasal dari bahasa Aramain, makanya ada kesamaan dengan panggilan-panggilan Tuhan di dalam Yahudi maupun dalam Kristen, seperti Yelohe, Elli, Yahwe dan sebagainya. Itu ada kemiripan, tapi sebagian mengatakan itu dari asli bahasa Arab.
Jadi Allah itu katanya bentuk definitif atau bentuk makrifah dari Ilah. Makanya kemudian dibedakan ada t kecil ada T besar pada kata “Tuhan.” Lagi pula kata Tuhan itu kan oleh orang Islam sendiri masih dipersoalkan. Maka ada kalimat dalam Islam “Tiada tuhan kecuali Allah”, itu berarti yang tidak boleh itu pakai nama Allah, mestinya begitu. Kalau cuma nama Tuhan kan banyak orang mengaku Tuhan.
Kita sendiri menuhankan apa saja yang membuat kita bergantung kepadanya itu namanya juga tuhan. Lalu banyak orang mengakafir-kafirkan orang lain itu sebenarnya dia berlagak Tuhan. Karena yang berhak memasukkan ke neraka dan surga, kan Tuhan. Nah, orang-orang yang megkafir-kafirkan itu justru yang menjadi Tuhan. Itu yang mestinya diperbaiki, bukan orang Banyuwangi yang bernama Tuhan, orang yang polos, yang kerjaannya tukang kayu. Jelas dia ndak punya angan-angan menjadi Tuhan, pasti itu sekadar nama saja.
Tapi ada kekhawatiran, nama Tuhan akan dijadikan olok-olok? Sebab akan dipersepsi lain oleh banyak orang?
Begini, masalah orang menyalahgunakan itu bukan hanya terhadap nama tuhan, mengolok-olok itu. Nama apapun bisa diolok-olok, tapi itu kan tidak berhubungan langsung dengan nama itu. Itu berhubungan dengan pribadi orang yang mengolok-olok. Mungkin kalau ndak sampai direspon berlebiihan begini orang juga ndak bakal tahu. Biasa saja orang menyikapinya, biasa saja orang dipanggil Tuhan. Tapi kalau itu sampai dijadikan berita, karena mencemooh berlebihan itu akhirnya sampai ada yang mengatakan misalnya begini: “Saya tadi bertemu Tuhan, berjalan dengan Tuhan.”
Kemarin saja saya menemukan nama perempuan, namanya “Siksa Kubur, gimana? Coba, apa harus diganti juga? Lalu nama Saiton, harus diganti juga? Wah, ini lembaga penamaan baru ini jadinya. Itu menurut saya. Walaupun boleh jadi dia punya hak untuk mengganti nama sewaktu-waktu, sebaiknya orang itu punya nama yang sejak awal tidak potensial menjadi bahan olok-olokan. Itu perlu. Tapi sudahlah, banyak agenda yang lebih perlu, lebih penting untuk disikapi dibandingkan persoalan ini. Ada persoalan korupsi atas nama agama, korupsi haji, pengkafiran, intoleransi, mengkafir-kafirkan orang tanpa dasar. Itu yang lebih penting untuk disikapi ketimbang cuma soal nama.
Terkait penolakan orang yang menggunakan nama Tuhan untuk mengganti namanya?
Ya hak dia. Seperti yang saya katakan, seperti orang Islam itu kan katanya membedakan antara Tuhan dengan Allah? Kalau sudah dibedakan begitu, berarti orang Banyuwangi bernama Tuhan itu, dia bukan Allah kan? Berarti ndak sekaligus ngaku bernama Allah kan? Lha kalau dia ngaku juga bernama Allah mungkin agak bermasalah, ya. Saya sendiri akan mempertanyakan.
Tapi kalau cuma nama Tuhan, toh penafsiran umum pada kalimat “tiada tuhan selain Allah”, ya berarti tidak semua tuhan itu Allah. Itu kan dianggap sebagai tuhan tapi bukan Allah. Kalau Allah satu, kalau tuhan banyak, kesannya begitu. Artinya, yang mengaku-ngaku atau yang menganggap tuhan itu banyak. Termasuk apapun yang kita anggap itu sebagai tempat kita bergantung, kadang-kadang istri kita jadi Tuhan, kadang-kadang suami kita jadi Tuhan, kadang-kadang anak jadi Tuhan, kadang-kadang, majikan jadi Tuhan, atasan jadi Tuhan, kadang-kadang harta jadi Tuhan. Ya, itu tuhan-tuhan semua, tempat kebergantungan. Tapi saya punya dugaan positif bahwa itu mungkin karena tak utuh ayahnya memberi tahu. Maklum masyarakat di pedalaman, ya. Atau mungkin juga seperti yang tadi Anda katakan, nama itu ada hubungannya dengan bahasa setempat. Jadi kita dalam menyikapinya juga harus dengan memperhatikan konteks. Mungkin saja nanti ada suatu daerah di luar negeri, nama Tuhan itu ternyata benda apa, apa mau kita urus juga?
Jadi kita harus tahu wilayah privat. Jika apa yang diyakini orang itu berbeda dengan kita, tidak harus artinya melecehkan kita. Anda punya keyakinan, saya punya keyakinan. Jika keyakinan Anda berbeda dengan saya, tidak bisa saya menafsirkan Anda menodai keyakinan saya. Saya meyakini bahwa Nabi Isa itu adalah nabi, tapi Anda menyakini misalnya Nabi Isa itu anak Tuhan. Maka saya tidak bisa serta-merta mengatakan, “Kamu melecehkan Tuhan.” Kalau semua mau diurus dengan cara begitu, ya ndak ada yang akan selesai. Begitu juga antar umat Islam, sesama umat Islam, baik itu kelompok maupun individu punya keyakinan berbeda, jangan yang berbeda keyakinan menganggap “Saya kan menganggap gini, tokoh ini kan saya agungkan, saya muliakan, saya anggap ini hebat, kamu tidak anggap dia hebat?”
Ya hak dia, dong. Bukan berarti itu melecehkan. Apakah supaya tidak dianggap melecehkan, harus sama dengan orang itu? Ini kan sering kali orang salah paham.
Kalau semua orang begitu, bahwa semua orang berbeda berarti menodai keyakinanya, sama-sama menganggap saling menodai, ya ini parah. Jadi perlu toleransi untuk memahami itu. Perlu mengedepankan akal sehat dan sangka baik. Seperti halnya ketika menamai anaknya, Tuhan, pasti orang tuanya mempunyai alasan-alasan khusus. Tidak mungkin supaya anaknya bercita-cita menjadi tuhan.
Batasan-batasan untuk memberi nama putra-putri kita itu apa?
Ya kalau itu memang tradisi yang baik, memberi nama anak dengan nama yang baik, karena nama adalah doa, meskipun tidak otomatis orang bernama baik kemudian perilakunya baik, ndak begitu. Karena yang lebih penting itu kan jiwanya. Buat apa nama baik tapi jiwanya buruk. Nah, memang dianjurkan untuk hal yang berhubungan dengan nama Allah atau sifat-sifat Allah itu ada sambungan kata “Hamba”. Seperti Hamba Allah atau Abdullah, atau Abdul Rahim, Abdul Qodir. Mungkin sebaiknya disambungkan begitu. Tapi itu untuk ke depannya. Bagi yang sudah terjadi, ndak bisa Anda memaksa orang mengganti nama begitu saja. Anda hanya boleh berpendapat, tapi ndak bisa masuk ke wilayah privat orang. Anda ulama? Ya, boleh jadi Anda ulama, tapi kan negara ini bukan dipimpin oleh ulama. Di negara ini ada Pancasila, ada konstitusi, ada undang-undang, ada hukum. Jadi selama dianggap tidak melanggar semua itu, maka hak dia untuk punya nama. Mengapa?
Karena itu perlu kejelasan posisi: wewenang para ulama ini apa saja, supaya tidak masuk ke wilayah yang sepertinya bukan urusan ulama. Lha ini kalau dibiarkan terus begini, nanti bisa-bisa merantak (menjalar) kemana-mana yang diurus. Akhirnya setiap nama orang harus punya label halalnya. Apa seperti daging begitu? Susah kalau begitu.
Walaupun seperti saya katakan sebelumnya, memang kita dianjurkan untuk memberikan nama-nama yang baik kepada anak-anak kita, nama-nama baik itu salah satunya adalah memberikan kata Hamba atau Abd ketika disandingkan dengan nama Allah atau dengan kata sifat-sifat Allah. Juga nama-nama nabi atau kata yang punya makna positif, seperti misalnya, apa saja yang positif, seperti shabr yang artinya orang sabar, kan juga bagus. Banyak hal yang positif. Nama juga tidak harus bahasa Arab, yang penting maknanya bagus, karena itu mengandung doa di dalamnya. Karena itu orang tuanya, kalau nama anaknya baik, ya kemungkinan itu akan berpengaruh meskipun itu tidak otomatis. Sama halnya orang bernama Saiton boleh jadi perilakunya justru seperti malaikat. Banyak orang namanya mulia seperti Muhammad, bisa menjadi koruptor. Menurut saya nama itu penting tapi bukan faktor penentu.
Adakah nama lain yang tidak boleh dipakai selain nama “Allah”?
Saya katakan tidak boleh itu dalam artian rasanya kok tidak mungkin. Apakah boleh atau tidak, saya tidak mau ikut-ikut, tidak sedang berpendapat boleh atau tidak. Itu bukan wilayah saya. Seperti nama Saiton kalau bisa jangan gunakan, ndak bagus. Karena rasanya kalau Saiton itu mungkin yang memberi nama ndak tahu, yang dia tahu itu setan, kalau Saiton jangan-jangan mungkin bernilai positif.
Tapi kembali lagi ke soal tadi, yang ndak ngaku Tuhan berlagak seperti Tuhan itu lebih banyak, itu yang lebih layak diurus. Jangan-jangan yang meributkan nama Tuhan ini juga berlagak seperti Tuhan. Sama seperti orang yang suka mengkafirkan orang, menyesatkan orang, kita ndak tahu.
Bagaimana halnya mereka yang mengolok-olok?
Wah, itu salahnya bukan dari yang punya nama, yang mengolok-olok justru yang salah. Jangan karena ada orang mengolok-olok kemudian orang yang diolok-olok yang disalahkan. Yang salah tetap yang mengolok-olok. Jangankan nama Tuhan, nama siapa saja tidak bleh diolok-olok. Ndak boleh mengolok-olok. Ndak harus nunggu orang tersinggung. Ndak nunggu ada yang tersinggung baru dikatakan itu buruk.
Nabi itu salah satu akhlaknya tidak pernah memanggil orang dengan julukannya, apalagi julukan yang diberikan orang lain yang dia sendiri merasa terganggu dengan julukan itu, ndak pernah Nabi begitu. Atau memanggil nama orang dengan panggilan tak utuh, misalnya namanya Abdul Rojak lalu dipanggil “Jak…Jak…Jak…”atau “Rojak… Rojak”, tapi pasti akan memanggilnya Abdul Rojak, ndak dipenggal.
Saya tidak mengatakan bahwa nama Tuhan itu baik sebagai nama orang, tapi saya lebih fokus pada prioritas. Buat saya masih banyak agenda yang lebih penting daripada ngurusin itu. Ini ndak ada hubungannya secara langsung dengan persoalan ibadah, tidak ada hubungannya langsung dengan peningkatan ekonomi. Artinya, kita ndak bisa menekan Dollar dengan meributkan dan memperebutkan soal itu. Tidak bisa juga kita mengatasi narkoba dengan itu.
Itu yang lebih penting. Tidak bisa kita melihat soal ekstremisme dengan melihat itu. Ini urutan yang ke sekian kalau memang harus dibahas, kecuali energinya cukup.
Mungkin kalau semua masalah yang urgen sudah selesai, baru kita masuk ke masalah itu.
Itu kritik saya kepada orang-orang, atau siapa saja lah, apakah dia ulama atau bukan. Karena jangan sampai ulama justru rabun prioritas, tidak paham mana yang harus dibahas, tidak tahu mana urusan yang lebih utama?
Terkait penggunaan-punggunaan nama, agar tidak menjadi polemik, apa saran Anda?
Jadi dalam Islam itu sudah ada riwayat-riwayat yang mengatakan bahkan kita dianjurkan untuk minta nama kepada orang yang baik, karena ada pengaruh dari nama yang diberikan. Jadi nama itu biasanya diberikan di hari ke tujuh sambil aqiqah, ada seremonial untuk pemberian nama dan dipilihkan nama yang baik-baik, karena nama adalah doa. Ada riwayatnya itu. Nama itu kan identitas yang akan kita bawa sampai mati, juga kata yang paling sering kita dengar. Artinya bagaimana kalau itu mestinya diperhatikan oleh orang tua agar tidak asal memberi nama. Asal ada di Alquran. Saat Alquran dibuka, matanya melihat nama itu, ya sudah. Mungkin asal muasal nama Saiton itu juga begitu, kita kan ndak tahu. Karena ndak tahu artinya. Karena itulah menurut saya, nama itu ndak harus bahasa Arab, yang penting punya arti positif. Misalnya Chandra, itu kan bagus.
Perlu diperhatikan juga, karena nama bahasa Arab itu sudah sering dipakai orang. Saat nama kita sama, akhirnya untuk membedakan malah diganti atau mendapat julukan. Akhirnya nama yang aslinya bagus seperti Muhammad, tiba-tiba dipanggil Mad Kuda, karena dia penjual kuda. Panggilan itu dipakai sekadar untuk membedakan dengan nama Muhammad dari orang lain dengan profesi yang lain.
Jadi lebih baik nama yang khas. Selain baik, khas, gampangnya itu kalau membuat akun email itu ndak susah karena ndak banyak yang sama. Ciri khas, sehingga dia tidak akan diberi julukan apapun. Kemudian serahkan kepada orang yang menurut kita baik dalam memberikan nama karena ada pengaruhnya. Kemudian ada upacara saat memberi nama supaya diingat bahwa ini bukan asal memberi nama melainkan memang sengaja memberi nama yang positif. Nama positif itu maknanya positif. Ya kalau bisa yang ada di Alquran atau di dalam hadis. Kalau tidak, ya nama yang memiliki makna positif meski tidak ada di dalam hadis maupun Alquran.
Nah, terkait dengan nama-nama yang sudah ada, karena memang belum ada aturan penertiban soal nama, belum ada dasarnya, belum ada Undang-Undangnya, maka ndak boleh kita bertindak macem-macem soal itu. Lagipula tinggal dilihat saja, kalau namanya Allah saya setuju untuk diganti, tapi kalau namanya Tuhan, toh nama Wisnu kan banyak juga, padahal itu tuhan juga dalam pengertian agama Hindu. Begitu juga Dewa, Gusti, Pangeran, hampir sama dengan Pangeran atau Gusti yang bagi orang Jawa mengacu pada nama-nama Tuhan juga.
Artinya nama-nama yang dijadikan dasar untuk menunjuk pada sebuah wujud yang tak terbatas yang menciptakan kita. Sebaiknya ya tetap saja.
Walaupun nama Tuhan itu terasa ganjil, tapi bagi saya belum masuk darurat yang perlu diurus seakan-akan semua masalah sudah diurus. Mengapa kita menghebohkan masalah-masalah yang sebenarnya ndak terlalu mendesak? Masalah kita, menurut saya dalam bangsa ini, korupsi, narkoba dan hedonisme. Paling penting juga adalah intoleransi dan ekstremisme.
Jadi orang-orang yang mau melakukan pemaksaan penggantian nama itu mungkin saja memang punya kecenderungan untuk menjadi Tuhan. Istilahnya, tuhan-tuhan bertulang.
Apakah kesimpulan dari wawancara ini berarti perilaku orang-orang yang berlagak menjadi Tuhan lebih berbahaya daripada orang yang menggunakan nama Tuhan?
Iya, lebih baik orang tidak bernama Muhammad tapi berperilaku seperti Nabi Muhammad, daripada namanya Muhammad tapi perilakunya seperti Abu Jahal. Lebih baik awam tapi berperilaku seperti orang ngerti agama daripada yang mengaku ngerti agama tapi perilakunya sama dengan koruptor atau provokator.
Jadi yang lebih penting itu perilaku. Utamanya perilaku. Dulu memang Nabi punya cara-cara untuk mengganti nama sebagian sahabat. Ada sahabat yang namanya berarti duka, lalu diganti oleh Nabi. Kalau duka, nanti secara psikologis khawatirnya sedih terus. Lalu diganti oleh Nabi, tapi itu pun atas kerelaan orang yang punya nama. Kalau ndak gitu, kan ini wilayah privat orang, Nabi itu toleran.
Kata kuncinya adalah perilaku lebih utama dari sekadar nama?
Ya. Meskipun nama-nama baik itu juga baik tetapi lebih penting adalah perilaku yang baik.
Mungkin saja karena dulu kita pernah dengar “Berakhlaklah dengan aklhak Tuhan,” mungkin orangtua yang memberi nama Tuhan agar anaknya berhati-hati dengan dirinya, karena namanya kan nama mulia, jadi pasti dia akan menjaga nama itu.
Begitulah kalau kita mau bersangka baik dengan orang tuanya yang mungkin berharap nanti perilaku anaknya juga akan meniru sifat Tuhan. Apa sifat Tuhan? Sifat Tuhan itu kebaikan, sifat Tuhan itu kasih sayang dan banyak lagi. Mungkin itu tujuannya.
Pasti saya yakin tujuannya bukan supaya anak itu bercita-cita untuk menjadi tuhan.
Intinya, saya kira lebih baik orang bernama Tuhan tapi berperilaku layaknya hamba, daripada orang yang namanya bukan Tuhan tapi berperilaku sok seperti Tuhan. (Lutfi/Yudhi)