Berita
Mengenang 10 tahun Haul Cak Nur
“Cak Nur mampu memberi kecerahan terhadap intelektual-intelektual Indonesia dalam segi kebangsaan dan keagamaan, sehingga Gus Dur menyebutnya sebagai Bapak Bangsa,”tegas Lukman Hakim Saifuddin pada acara Haul ke-10 Cak Nur (Nurcholis Madjid) di Soehanna Hall, The Energy Tower, SCBD, Jakarta, Sabtu (29/8) malam.
Menurut Menteri Agama RI, ada empat fase yang diciptakan Cak Nur di masanya;
Fase pertama, masuknya Cak Nur dalam komunitas bangsa yang tradisional.
Ia bisa menyebarkan informasi, gagasan kebangsaan, dan tatanan masyarakat melalui majalah serta buku. Karena beliau rajin membaca buku dan artikel seiring perkembangan zaman. Ketika mayoritas masyarakat bertaklid buta kepada sosialis dan komunis, ia memilih bersikap kritis terhadap kedua paham tersebut.
Termasuk saat bergabung dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ia turut berkontribusi dengan menanamkan pondasi yang kuat terhadap kader-kadernya.
Fase kedua, tampilnya Cak Nur sebagai Natsir muda. Ia memiliki reputasi berskala Internasional, punya kontribusi terhadap kemerdekaan rakyat Afrika, pemikir bangsa yang berpengaruh. Beliau sempat punya hubungan yang dekat dengan Masyumi, tetapi pada awal tahun 1970 ia mengkritiknya, karena menganggap bahwa Masyumi gagal berpikir sosial-politik.
Fase ketiga, Cak Nur mendorong modernisasi.
Cak Nur berpikir menggunakan rasionalisasi bukan dengan Westernisasi, yang pada era tersebut budaya Barat mulai tak terbendung akibat kehadiran teknologi yang masif. Menurut beliau, tindakan yang tepat ialah menjadi orang modern tapi juga religius karena Islam pembawa kebaikan bagi semua kalangan. Maka dari itu, ia cenderung mengedepankan inklusifisme dan toleransi beragama dalam Islam dengan kondisi modern.
Fase keempat, Cak Nur turut mengantar Reformasi.
Cak Nur adalah satu dari lima tokoh nasional yang meminta Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden dengan langsung menyurat kepadanya. Dan menurut sebagian kalangan itu cara yang khusnul khatimah. Hal seperti itulah yang seharusnya dilakukan ketika pada kenyataannya sebagian penguasa tahta lengser dengan kerusakan intelektual, sosial, dan budaya, seperti Husni Mubarak dan Khaddafi.
Cak Nur memilih fokus mengajar umat dan bangsa melalui karya tulis, artikel, training, hingga mendirikan kampus, untuk menciptakan generasi Indonesia yang berperadaban. Dan menurut beliau, nilai Islam harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial-politik tanpa harus menjadikannya sebagai konstitusi negara.
“Cak Nur juga memiliki tiga sikap teladan,” lanjut anak dari sahabat Cak Nur tersebut.
Pertama, keterbukaan dan dialog. Dua hal itu adalah ajaran agama, yang tujuannya untuk membentuk kearifan dan kebijaksanaan dalam merespon hal baru untuk menyelesaikan konflik dengan damai.
Kedua, kesalehan sosial, dengan cara memanusiakan manusia. Kemuliaan manusia bukan hanya berupa iman kepada Tuhan, tetapi juga harus terefleksikan dalam perbuatan baik, seperti mencitrakan Islam yang bermanfaat bagi kehidupan setiap zaman.
Ketiga, keberagaman dalam kemajemukan, yang kita wajib menjaganya. Beliau mengajarkan kita cara terbaik merespon perbedaan suku, bangsa, ras, dan lain-lain. Tetapi masih banyak pemikiran-pemikiran beliau yang disalahpahami.
“Dan tugas kita lah untuk mengisi ruang-ruang tersebut,” tutupnya. (Aldo/Yudhi)