Berita
Launching Biografi Mantan Capres RI 1978
Nama Judilherry Justam, pria kelahrian Bukittinggi, 67 tahun silam ini pernah membuat geger pada tahun 1978, tepatnya pada tanggal 8 Maret ketika, mantan alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini mencoba mencalokan diri sebagai Presiden Republik Indonesia bersama Armien Daulay untuk melawan Soeharto.
Pencalonannya ke gedung DPR/MPR pada masa itu merupakan sebuah perlawanan terhadap dominasi Orba yang dipelopori oleh Soeharto. Meskipun pada akhirnya Sidang Umum MPR 1978 menetapkan Soeharto sebagai calon tunggal, namun apa yang dilakukannya membuktikan bahwa pencalonan sebagai Presiden pada masa itu bukanlah hal yang tabu dan bisa dilakukan semua orang.
Kini setelah 37 tahun berlalu Judil membungkus kenangan perjalanan hidupnya yang berliku dalam sebuah buku biografi berjudul “Anak Tentara melawan ORBA”yang diluncurkan Kamis (27/8) di gedung Kementerian Kesehatan RI.
“Pergerakan yang kita lakukan zaman dulu tidak didasari oleh ideologi, tapi didasari oleh perasaan terdalam terhadap sikap Orde Baru,” kata Hariman Siregar, aktivis Malari 1974, saat menjadi pembicara dalam acara peluncuran dan diskusi buku biografi tersebut.
Biografi, oto-biografi, atau memoar biasanya diterbitkan untuk menceritakan kondisi suatu zaman.“Buku biografi Judilherry ini kita buat agar kalian bisa melihat dan memahami kondisi pemerintahan di era Orde Baru,”tambah Candra Gautama, sang editor.
Sekitar 200 orang menghadiri peluncuran dan diskusi buku Judilherry. Termasuk para aktivis angkatan 1966-1978 seperti Hariman Siregar, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, dan Bambang Sulistomo, serta Mayjen Hariadi Darmawan yang sekaligus menjadi pembicara. Ahmad Yani (politikus PPP) dan Kak Seto Mulyadi (Mantan Ketum Komisi Perlindungan Anak) juga turut hadir di acara tersebut.
Judilherry, pria kelahiran 27 September 1948, aktif mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) hingga kini.
“Judilherry bisa memisahkan antara jiwa idealisme kritis dengan pragmatisme, dan ia adalah pribadi yang baik dan konsisten. Ia adalah aktivis sejati, terbukti setelah lulus pun ia menjadi salah satu penggagas petisi 50,”ungkap Rahman Tolleng, aktivis angkatan 1966. (Fuad/Yudhi)
Continue Reading