Berita
Meneladani Etos Kerja Imam Ali Ridha as
Tak hanya menjadi teladan dalam hal kesalehan, keilmuan dan ketinggian akhlak, para Imam Ahlulbait juga menjadi teladan utama dalam etos kerja. Hal ini disampaikan oleh Ustaz Abdullah Beik, MA dalam peringatan Milad Imam Ali ar-Ridha bin Musa as di Hang Lekir, Jakarta, Kamis (28/8).
Usai membaca doa Kumail bersama jamaah, Ustaz Abdullah Beik yang mengisi ceramah menceritakan secara singkat sejarah hidup Imam Ali Ridha as, yang hidup di masa Makmun.
Di masa itu kondisinya berbeda dengan kondisi Imam-Imam sebelumnya yang dicurigai dan dimusuhi, Makmun yang seorang politikus justru mendekati Imam Ali Ridha untuk mendapatkan legitimasi kekuasaannya.
“Makmun mendekati Imam Ali Ridha untuk melanggengkan kekuasaannya, karena itu ia memaksa Imam pindah dari Madinah ke sebuah desa yang kering dan tandus bernama Mar (Khurasan saat ini),” terang Ustaz Beik.
Tiba di Mar, sebuah desa tertinggal yang kering, tandus dan miskin ini, Imam Ali Ridha langsung melakukan bakti sosial. Imam membuat sumur, airnya dialirkan ke ladang-ladang hingga menjadi subur dan mengubah desa Mar menjadi sejahtera.
“Ini pelajaran penting yang patut kita tiru bersama,” ujar Ustaz Beik. “Bakti kepada masyarakat dan memiliki etos bekerja keras.”
“Etos kerja keras ini merupakan contoh para Imam. Imam Ali as juga membuat sumur yang dikenal dengan nama Bi’ir Ali atau Abyar Ali untuk menyejahterakan masyarakat. Begitu juga Imam Ali ar-Ridha, beliau pun bekerja keras dan mencangkul tanah,” lanjut Ustaz Beik.
“Saat dikritik oleh seorang ulama, al-Munkadir, bahwa ulama harus jauh dari dunia, Imam Ali Ridha justru berkata bahwa beliau justru bangga kalau malaikat datang saat beliau sedang bekerja keras memenuhi kebutuhan tanpa bergantung kepada manusia.”
Strategi Imamah Imam Ali Ridha as
Di masa kepemimpinan Makmun, Imam Ali Ridha as menghadapi situasi yang berbeda dengan Imam-Imam sebelumnya. Ia tidak dimusuhi, tapi justru dirangkul. Bahkan Imam dipaksa menjadi Khalifah untuk menggantikan Makmun, namun Imam Ali Ridha as menolak tegas.
“Imam ingin menyampaikan bahwa ada penyelewengan besar yang terjadi, kalau Imam menerimanya maka itu akan membenarkan bahwa kepemimpinan itu diangkat oleh manusia,” terang Ustaz Beik.
“Imam ingin kritik pengangkatan ‘khilafah’ turun temurun dari bapak ke anak.”
“Karena menolak, Imam pun dipaksa menjadi putera mahkota. Imam terpaksa menerima, tapi itu pun dengan syarat-syarat keras, yaitu Imam tidak mau ikut serta dalam urusan ketatanegaraan. Baik mengangkat mau pun memberhentikan jabatan. Imam ingin menunjukkan bahwa jabatan putera mahkota itu formalitas saja. Hanya simbol kosong. Dan ia sama sekali tak menyetujuinya,” ujar Ustaz Beik.
Meski diangkat menjadi putra mahkota, Imam Ali ar-Ridha tetap melayani umat. Saat terjadi kekeringan, Imam memimpin salat Istisqa setelah sebelumnya menyuruh masyarakat berpuasa selama 3 hari. Beliau pun mengimami Salat Ied. Begitu juga dalam hal keilmuan Imam melakukan dialog dengan berbagai pemuka agama dan mengungguli pemuka agama lainnya. Sehingga masyarakat Muslim jatuh hati dan patuh kepada Imam.
“Ini semua adalah strategi Imam Ali ar-Ridha as untuk menunjukkan bahwa posisi beliau adalah seorang Imam, yang harus di depan sebagai pemimpin umat. Mau disebut apa pun tetap saya adalah Imam, itu yang disampaikan Imam Ali ar-Ridha as,” terang Ustaz Beik. (Muhammad/Yudhi)