Berita
Maarif Institute Gelar Public Expose Indeks Kota Islami
Adakah kota yang Islami? Bagaimana menilai Islami tidaknya suatu kota? Bukankah predikat Islami sering dilekatkan dengan individu, bahkan dalam menilai individu saja terkadang kurang objektif apalagi menilai suatu kota yang variabelnya lebih kompleks?
Terkait hal ini, MAARIF Institute menggelar Public Expose “Indeks Kota Islami” di aula PP Muhammadiyah Jakarta (27/8).
Direktur Riset MAARIF Institute sekaligus Ketua Tim Indeks Kota Islami (IKI), Ahmad Imam Mujadid Rais, MA menjelaskan, dalam penyusunannya IKI akan berlandaskan pada prinsip-prinsip muqashid syariah.
”Prinsip-prinsip ini akan dielaborasikan ke dalam beberapa dimensi seperti aspek keagamaan (al-kitab), kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan (al-hukma), peradaban (al-nubuwwah), selain kemakmuran dan keunggulan,” Ahmad Mujadid menjelaskan.
Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh MAARIF Institute, untuk mendefinisikan kota Islami harus diawali dengan terminologi Islam. Apa itu Islam? Islam adalah ad-din wa an ni’mah (agama dan peradaban), Islam sebagai agama harus membawa perubahan nyata berupa ni’mah(keadaan baik/ al-halahal-hasanah , al-Asfahani) bagi yang lain. Untuk mengukurnya, MAARIF Institute menggunakan metodologi maqashid syariah dalam keilmuan Ushul Fiqh: hifzh al-mal (menjaga harta benda), hifzh al-nafs (menjaga kehidupan), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), serta hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan).
“Berdasarkan 6 prinsip tujuan tersebut, kami menyusun definisi kerja bahwa Kota Islami adalah kota yang aman, sejahtera dan bahagia,” kata Ahmad Mujadid.
Dalam penyusunan IKI ini MAARIF Intitute rencananya akan menargetkan waktu 5 bulan ke depan dan akan dirilis hasilnya pada Januari 2016.
Metodologi yang digunakan mencakup 3 komponen (aman, sejahtera, bahagia) dengan 9 variabel dan 41 indikator turunannya, serta mengambil sampel penelitian di 93 kota.
Dalam public expose ini, MAARIF Institute juga menghadirkan beberapa penanggap di antarannya; Prof. Siti Zuhro (Profesor Riset LIPI), Prof. Muhammad Ali, Ph. D (Associate Professor University California, Amerika), serta KH. Husein Muhammad (Pengasuh Ponpes Dar At-Tauhid, Cirebon).
Prof. Siti Zuhro menilai, dalam membuat indeks, membutuhkan waktu, biaya dan kevalidan data yang akurat.
“Dalam memilih 93 kota, apa indikatornya? Dipilih karena apa? Kota mana yang dipilih? Untuk mendapat kerangka yang jelas, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan memilih kota karena suka-suka,” paparnya.
Selain itu, menurutnya, mengetahui tentang otonomi daerah yang sangat beragam sangat diperlukan.
Sebuah metodologi, menurut Siti Zuhro akan menentukan berkualitas atau tidaknya hasil penelitian. Ia juga menyebut, dalam membentuk sebuah indeks juga memerlukan biaya milyaran, karena melibatkan banyak elemen yang harus dilibatkan. Hal lain yang bisa dilakukan menurutnya yaitu bekerjasama dengan lembaga-lembaga survei yang sudah komersial, maupun dengan pihak pemerintahan.
Namun secara keseluruhan, Siti Zuhro menganggap upaya MAARIF Institute dalam menerbitkan IKI adalah upaya yang sangat bagus dan perlu mendapat apresiai dan dukungan. (Malik/Yudhi)