Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Maraknya Hate Speech (Ujaran Kebencian) Risaukan Netizen

“Saya merinding sekali mendengar itu”, ujar Riyati Darwin setelah membacakan status Facebook Arif Kusnandar dalam konferensi pers Forum Demokrasi Digital dengan tema “Sikap Netizen Atas Penyebaran Kebencian Rasial, Diskriminasi dan Radikalisasi di Internet” di Kafe Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (26/8). Status itu berisi ajakan untuk menghabisi etnis tertentu seperti pernah terjadi dalam kasus kerusuhan Mei 98.

“Kenapa naiknya Dolar selalu diarahkan ke kasus Mei?” tanya Riyanti. “Kami tidak setuju, kami bangsa Indonesia harus saling menghargai,” lanjutnya.

Status provokatif yang masuk dalam kategori hate speech (ujaran kebencian) milik Arif telah membuat banyak Netizen risau sebab apa yang dilakukannya sudah melewati batas dari apa yang disebut kebebasan berekspresi.

“Kasus Arif tidak bisa disebut sebagai kebebasan berekspresi, melainkan penyerangan terhadap integritas,” tegas Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Cara Arif melakukan serangan terhadap integritas pihak atau etnis tertentu, menurut Haris adalah sejarah kelam yang dulu pernah digunakan sebagai praktik politik untuk mempertahankan kekuasaan haram. Hal itu serupa aksi pengerasan perbedaan hingga berujung pembersihan entis di Ruwanda sebagai warisan kolonialisme Belgia dan Prancis.

Sementara itu Matahari Timoer dari Indonesian Center for Deradicalization and Wisdom (ICDW) menyatakan bahwa sejak pilpres 2014, ujaran kebencian menjadi sesuatu yang lazim dilakukan di medsos, bahkan telah menjadi semacam upaya peneguhan identitas kalangan tertentu.

Dalam FGD sejumlah elemen LSM pada 7 Agustus lalu, menurut Matahari, tercatat dari 20 situs berlabel Islam terdeteksi 10 dari situs online tersebut tergolong “hijau” dalam artian damai dalam menyampaikan pesannya. Sedangkan 10 lainnya “kuning” bahkan “merah”. Sayangnya, situs “hijau” rate trafiknya rendah.

“Medsos membuat orang memilih headline provokatif,” ujar Matahari.

Sementara Nia Sjarifudin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) menganggap aksi provokatif Arif sebagai akibat ketidakpahamannya tentang sejarah masa lalu, sebab etnis tertentu yang diserang Arif menurut Nia juga berkontribusi terhadap lahirnya bangsa ini. 

Ujaran kebencian saat ini bagi Nia sudah menjadi masalah kronis di negara ini sebab tidak hanya dilakukan oleh seorang Arif tapi menurutnya juga dilakukan oleh anggota DPR bahkan juga oleh pemuka agama dengan dibalut panji agama untuk menyerang kelompok lain yang berbeda pandangan dengan mereka.

“Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika bangsa ini terus menerus dibangun atas dasar kebencian,” ujar Nia.

Nia berharap pemerintah dapat menertibkan ujaran-ujaran kebencian yang semakin marak saat ini baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Nia juga menyayangkan sejumlah orang yang namanya sudah dikenal masyarakat dan memiliki pendukung juga melakukan ujaran kebencian, sementara negara tidak melakukan apa-apa. Bagi Nia, pembiaran oleh pemerintah itu juga merupakan salah satu faktor yang membuat praktik ujaran kebencian hingga saat ini terus terjadi.

“Kebencian berdasarkan ras dan agama akan membunuh kita bersama-sama,” pungkas Nia.

Konferensi pers ini merekomendasikan bagi masyarakat Indonesia yang menemukan atau menjumpai ujaran kebencian, baik di medsos maupun di dunia nyata untuk segera melaporkannya ke pihak terkait yaitu Kominfo atau pihak kepolisian. (Lutfi/Yudhi)