Berita
Membangun Islam Nusantara yang Berkemajuan
Duet Islam Nusantara yang diusung oleh NU dan Islam Berkemajuan yang diusung Muhammadiyah menumbuhkan harapan dan optimisme baru bagi Indonesia. Hal ini tercermin dalam Bincang Publik “Islam, Modernitas dan Keindonesiaan” yang diadakan di auditorium CSIS, Jakarta, Jumat (21/8).
Hajriyanto Y. Thohari, cendekiawan Muhammadiyah yang mengisi diskusi ini berdampingan dengan Akhmad Sahal dari NU, menjelaskan bahwa Islam Berkemajuan memiliki akar sejarah kenusantaraan yang sangat kuat.
“Islam Berkemajuan bertitik tolak dari adanya kejumudan, stagnasi dan distorsi dari apa yang ditanamkan oleh para pendiri bangsa. Terutama di masa kemerdekaan,”ujar Hajriyanto.
“Bung Karno, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, semua berpikir mengenai Islam Berkemajuan. Islam yang progresif, bergerak dan maju. Islam yang tidak sontoloyo,” lanjut Hajriyanto.
“Muhammadiyah sangat meyakini ini. Bahwa Islam adalah agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan. Dan nilai inilah yang diintegrasikan dengan keindonesiaan,” tambah Hajriyanto.
Islam Nusantara Yang Berkemajuan
Menurut Akhmad Sahal, baik Islam Nusantara maupun Islam Berkemajuan keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
“Nah, saya melihat Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan ini adalah dua cara yang berbeda, dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu kontekstualisasi Islam,”ujar Sahal.
“Yaitu bagaimana agar Islam itu sesuai dengan klaimnya. Islam itu kan mengklaim, yang sering kita dengar di khotbah-khotbah Jumat itu, salikhun li kulli zaman wal makan, Islam itu relevan pada setiap waktu dan tempat. Dan relevansi Islam itu, hanya bisa dicapai dengan memahaminya secara kontekstual. Dengan itulah Islam itu relevan dengan zaman.”
Dari sisi kontekstualisasi ini antara Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan sama esensinya, bedanya menurut Sahal adalah pada bentuk responnya.
“Muhammad Iqbal mengenai ijtihad menyatakan betapa sentralnya gerak dalam Islam. Jadi Islam bukan sesuatu yang statis, yang jumud, yang beku. Islam itu dinamis. Dan ini ciri dari kemajuan,” terang Sahal. “Inilah juga ciri Islam Nusantara yang berbasis maslahat, di mana selalu ada aspek dinamis dan kemajuan dalam maslahat. Seperti Fikih Sosialnya Kiai Sahal Mahfudz,”terang Sahal.
“Jadi, kalau Islam Berkemajuan itu merespon dalam konteks waktu, karena waktu berubah, maka pemahaman tentang keislaman harus berubah. Sementara kalau Islam Nusantara itu adalah respon dalam konteks tempat dan ruang,”terang Sahal.
Karena Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan tak bisa dipisahkan, diharapkan sinergi keduanya dapat menumbuhkan optimisme akan lahirnya Islam Nusantara yang Berkemajuan. Semoga. (Muhammad/Yudhi)