Berita
Komnas HAM: SBY Gagal Tuntaskan Kasus HAM dan Intoleransi Beragama
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mungkin patut berbangga dengan anugerah yang diberikan oleh Appeal of Conscience Foundation (ACF), di New York, Amerika sebagai presiden dengan penduduk Muslim terbesar di dunia yang dinilai sukses menjaga toleransi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Namun ternyata hal tersebut tidak mempengaruhi penilaian Komnas HAM terhadap SBY. Bahkan Komnas HAM menyebut SBY sebagai pemimpin yang gagal dalam pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi warganya di Indonesia, hingga masa jabatannya hampir berakhir. Mengapa?
“Kasus Muslim Syiah Sampang dan Jamaah Ahmadiyah yang hingga detik ini masih berada di pengungsian, merupakan potret yang nyata bahwa SBY telah gagal,” terang M. Imdadun Rahmat, salah satu Komisioner Komnas HAM.
Hal tersebut disampaikan Imdad dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Komnas HAM, dengan tema “Mendesak Komitmen Jokowi-Jusuf Kalla terhadap Penyelesaian Kasus Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) sebagai Agenda Prioritas Pemerintah,” yang dilaksanakan pada hari Kamis (4/9), di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.
Menurut Imdad, alasan Komnas HAM menyebut SBY telah gagal, di antaranya adalah karena SBY tidak memenuhi dan menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang telah sering disampaikan oleh Komnas HAM, baik secara lisan dengan bertemu langsung, maupun rekomendasi yang disampaikan secara tertulis. Tapi tetap saja SBY mengabaikan apa yang disampaikan oleh Komnas HAM tersebut.
“Fakta ini menjadi bukti bahwa SBY telah gagal menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warganya secara merdeka,” tegas Imdad.
Selain itu, maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang selama ini terjadi di masa kepemimpinan SBY membuktikan bahwa SBY tidak berdaya di hadapan kelompok intoleran.
Pemerintah dan aparat negara telah dengan mudah dikuasai, dikendalikan bahkan dibajak oleh kelompok intoleran. Kondisi seperti ini akan membawa Indonesia beberapa tahap lagi menuju pada statusnya sebagai negara gagal.
“Kalau negara sudah tunduk kepada kekuatan-kekuatan preman, maka negara sudah diambang status negara gagal,” tambah Imdad.
Rekomendasi Ke Jokowi
Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan agar program 100 hari pemerintahan Jokowi yang akan datang adalah membentuk pansus sebagai sinyal bahwa pemerintah serius dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh berbagai kelompok intoleran.
Pemerintahan Jokowi harus merestorasi kekuatan dan keberdayaan negara. Artinya, kekuasaan negara harus ditunjukkan kepada para pengusung kekuatan-kekuatan intoleran.
Sebaliknya, pertanggung jawaban negara juga harus ditunjukkan bagi mereka yang menjadi korban. Hal ini penting, untuk memberi tanda kepada beberapa pihak, terutama kepada publik untuk membuktikan bahwa kita bukan negara gagal. Sementara bagi para korban, untuk menunjukkan bahwa mereka masih punya harapan, mereka masih punya hak hidup. Sekaligus menegaskan bahwa sebagai minoritas, mereka punya hak dan masa depan di negeri ini.
“Bagi pelaku kekerasan beragama dan berkeyakinan, ini memberikan tanda bahwa mereka tidak bisa lagi berbuat semena-mena, dengan melanggar hukum dan hak asasi manusia,” pungkas Imdad.
Dalam catatan Komnas HAM, terdapat beberapa kasus kekerasan atas nama agama dan keyakinan pada masa pemerintahan SBY yang hingga detik ini masih belum terselesaikan. Di antaranya adalah kasus pengungsi Muslim Syiah Sampang, kasus Ahmadiyah di Transito, kasus penutupan Masjid Nur Khilafat di Ciamis, penutupan 17 Gereja di Aceh Singkil, penutupan 5 Gereja di Daerah Istimewa Yogyakarta, penutupan 7 Gereja di Cianjur serta penyegelan Gereja GKI Yasmin di Bogor serta HKBP Filadelfia di Bekasi. (Lutfi/Yudhi)
Tak Ada Alasan Pengungsi Syiah Dan Ahmadiyah Untuk Tidak Pulang