Laporan Utama
Memahami Sebab dan Dampak Hate Speech
Dalam tulisan pertama (Hate Speech: Ujar Benci Sarat Provokasi) telah dijelaskan berbagai definisi dan pandangan dari beberapa kalangan, baik dari dalam maupun luar negeri tentang apa yang dimaksud dengan hate speech.
Kali ini, untuk mengetahui lebih lanjut tentang hate speech, ABI Press mendatangi beberapa NGO yang menangani kasus-kasus tindak kekerasan akibat hate speech. Di antaranya adalah LBH Jakarta.
Menilik makin maraknya aksi-aksi kekerasan atas nama agama khususnya terhadap kelompok minoritas di Indonesia, Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta (Mayong), membenarkan bahwa salah satu sumber masalah intoleransi dan diskriminasi adalah makin meningkatnya syiar kebencian atau hate speech di Tanah Air.
Salah satu kriteria hate speech menurutnya adalah upaya terang-terangan seseorang untuk mengajak orang lain melakukan perusakan, sengaja melukai (baik fisik maupun mental) pihak tertentu, atau hal negatif lain yang memiliki potensi ke arah itu.
Sayangnya, agama juga seringkali menjadi salah satu sumber motivasi pelaku hate speech. Mayong menengarai, dangkalnya pemahaman agama seseorang terhadap sumber-sumber agama acapkali menjadi penyebab penafsiran secara keliru atasnya sehingga menyebabkan timbulnya ujaran kebencian terhadap pemahaman agama dan keyakinan lain.
Lebih aneh lagi, hate speech bisa juga terjadi atas dasar sengitnya persaingan antar pemuka agama. Sebagai contoh, bila ada pemuka agama atau ‘pendatang baru’ yang membawa pemahaman dan pemikiran yang juga baru masuk ke dalam suatu wilayah. Sementara agama serta ulama lokal tidak memiliki langkah untuk mempertahankan tradisinya. Maka biasanya mereka mudah sekali menempuh cara-cara tak terpuji sekadar demi mempertahankan diri, dengan mensyiarkan kebencian, menebar fitnah, menyematkan stigma negatif dan sebagainya.
Selain motif agama, di era kebebasan ini motif politik dan ekonomi seringkali juga menjadi pemicu. Faktor itulah yang menyebabkan syiar kebencian terus meningkat, meluas dan semakin ditunjukkan secara vulgar dan berani dari waktu ke waktu oleh para pelakunya.
Berbeda dengan masa Orde Baru, begitu ada syiar kebencian, biasanya pihak keamanan akan langsung melakukan upaya peredaman karena tindakan semacam itu sudah dianggap sebagai perilaku bernuansa SARA yang dapat mengancam stabilitas dan keamanan.
Namun satu hal sangat disayangkan Mayong, pemerintahan yang ada sekarang seakan sudah kehilangan kekuasaan dan tidak mampu lagi mengambil langkah sigap dan metode yang sama untuk meredam aksi-aksi syiar kebencian semacam itu.
Penegak hukum pun dinilainya tidak bekerja dengan serius. Hal itu terlihat misalnya saat LBH Jakarta melaporkan kasus syiar kebencian salah satu ormas Islam yang ditujukan kepada kelompok Ahmadiyah, ternyata pihak kepolisian tidak segera menindaklanjutinya, bahkan sama sekali tak memberikan respon apapun. Padahal kata Mayong, bahaya dan dampak negatif syiar kebencian ini sangatlah besar.
Sesuai maknanya, syiar kebencian memang ditujukan untuk menggalang kebencian. Artinya, syiar kebencian bukan hanya disebarkan terbatas pada kelompok tertentu saja, namun seringkali juga secara sengaja ditargetkan untuk menyasar kelompok masyarakat yang lebih luas. Nah, bahayanya adalah, karena sifat dari syiar kebencian itu mulai meluas ke tingkat populasi yang lebih besar, dari sanalah biasanya bibit-bibit potensi kerusuhan dan konflik horisontal akan muncul. Kecenderungan yang selama ini berlaku, konflik dan kerusuhan semacam itu biasanya akan menjadikan kelompok minoritas sebagai sasaran. Jika hal itu terjadi, maka efek kerusakan yang ditimbulkannya pun cenderung lebih sulit dipulihkan kembali.
Mayong mengambil contoh, kasus muslim Syiah Sampang yang sudah 2 tahun lebih diusir dari kampung halamannya, dan hingga saat ini tetap mengungsi tanpa ada solusi yang jelas dari pihak pemerintah. Begitu juga Ahmadiyah yang sudah lebih dari 8 tahun tinggal di pengungsian Transito. Ada lagi kasus GKI Yasmin dan Jemaat Filadelphia yang tak diijinkan membangun tempat ibadah, dan masih banyak lagi contoh-contoh kasus intoleransi lain akibat hate speech.
Seperti halnya LBH Jakarta, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) juga angkat bicara mengenai hate speech.
Dari sekian banyak laporan yang masuk, pihak KONTRAS menyatakan bahwa memang tidak secara langsung berupa laporan khusus perihal hate speech atau syiar kebencian. Namun setelah diteliti lebih lanjut, ternyata unsur hate speech lah yang kerap menjadi faktor dominan dari tindak kekerasan yang menimpa para pelapor.
Putri Kanesia, Kepala Divisi Hak-hak Sipil Politik KONTRAS menyampaikan kekhawatiran atas makin menjamurnya kasus syiar kebencian yang terjadi di tengah masyarakat. Ia menyontohkan fakta yang terjadi. Misalnya ketika Menteri Agama Suryadharma Ali memberikan pernyataan tegas agar Ahmadiyah dibubarkan. Setelah itu, banyak sekali kekerasan dan penyerangan yang menimpa kelompok Ahmadiyah.
Jika hal semacam itu terus dibiarkan, tak mustahil menurut Putri pada akhirnya akan menimbulkan aksi-aksi kekerasan dan kerusakan yang lebih besar. Bukan hanya terhadap Ahmadiyah, tapi juga bisa merembet ke kelompok-kelompok minoritas yang lain.
Putri juga mengingatkan potensi meningkatnya hate speech menjelang pemilu seperti sekarang. Tanpa perhatian serius dari semua pihak, dampak syiar kebencian atau hate speech ini menurutnya akan semakin mengkhawatirkan dan bertambah sulit dikendalikan.
Kasus terakhir terkait dampak negatif hate speech yang ditangani KONTRAS adalah tentang pembakaran Yayasan Al Mujahadah, di kecamatan Sawang, Aceh Selatan yang terjadi pada 5 Juli 2013 lalu. Pembakaran itu bermula dari keluarnya fatwa sesat terhadap pesantren Al Mujahadah oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, yang kemudian memicu terjadinya upaya penutupan paksa, pengerusakan, dan pembakaran pesantren.
Banyak kasus kekerasan didasari keluarnya fatwa sesat. Dengan kata lain, fatwa sesat yang dikeluarkan seringkali menimbulkan dampak negatif dan memakan korban dari pihak yang disesatkan. Namun, apakah fatwa sesat yang biasanya dikeluarkan oleh MUI juga termasuk kategori hate speech?
Dalam hal ini Abdul Khoir, peneliti Setara Institute angkat bicara. Menurutnya dalam konteks kewenangan ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), sejauh ini memang tidak secara langsung melakukan hate speech. Hanya saja, di tengah masyarakat, ternyata fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI seringkali dijadikan justifikasi hate speech oleh kelompok-kelompok intoleran yang pada akhirnya berujung pada tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas yang menjadi sasaran fatwa.
“Tapi anehnya, terkait hate speech itu, saya kok tidak melihat MUI melakukan upaya pencegahan minimal melakukan koreksi internal bahwa fatwanya sangat berpeluang menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok intoleran untuk menyerang pihak lain yang mereka anggap sesat setelah merujuk fatwa MUI itu,” tandas Khoir.
Menurutnya, harus ada kesadaran bersama bahwa kebebasan menyampaikan pendapat, gagasan, dan pikiran itu bukan berarti memberikan ruang bagi semua orang untuk melakukan hate speech. Jangan hanya gara-gara hate speech belum diatur secara khusus dalam undang-undang, menyebabkan kita bertindak seenaknya karena merasa akan bebas dari tuntutan hukum. Karena konstitusi sudah menggariskan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selain hukum ada etika yang perlu dijaga. Artinya, ketika etika sudah masuk dalam undang-undang dasar negara, maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa hal itu telah menjadi norma hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan. (Malik/Yudhi)